blank

Bertepatan dengan hari keempat belas di bulan Ramadhan 1445 Hijriah, Majelis Masyarakat Maiyah Gambang Syafaat Edisi Maret 2024 kembali digelar di Aula Perpustakaan Lantai 1 Masjid Agung Jawa Tengah. Mengangkat tema “Kasatmata Puasa” yang kembali terinspirasi oleh salah satu tulisan Mbah Nun, rutinan kali ini dimulai lebih malam dari biasanya yaitu setelah berlangsungnya waktu salat tarawih dan tadarus. Pemasangan backdrop, level, dan sound system dilakukan sejak sore hari dan dijeda sejenak dengan para penggiat yang melakukan buka bersama di tengah-tengah persiapan acara.

Tepat setelah Maghrib; level terpasang, backdrop dengan gambar latar belakang semangkuk mie ayam berukuran besar terpampang, sound system juga siap untuk dilakukan pengecekan. Saatnya bagi talent group Rebana Nurul Asatidz sebagai pengisi hiburan pada acara ini mulai untuk mengatur instrumen alat musik dan melakukan sound check. Dengan formasi berisi 15 orang penyanyi dan pemain alat musik, kelompok musik ini siap membersamai Majelis Gambang Syafaat Edisi Maret 2024 melalui banyak nomor lagu dengan aransemen campuran antara gamelan, campursari, dangdut, salawat, dan genre-genre bernuansa kontemporer lainnya.

Sekitar pukul 21.30 WIB, para penggiat Gambang Syafaat yaitu Kang Jion, Mas Ihfan, dan Mbak Anjani membuka majelis dengan lantunan munajat begitu para jamaah mulai memasuki aula. Nuansa Ramadhan pada malam hari menambah kekhusyukkan setiap jamaah yang berada di dalam ruangan tersebut. Acara dilanjutkan dengan sesi mukadimah oleh para penggiat Gambang Syafaat yang dimoderatori oleh Mas Ihfan dan Mas Gunawan. Mbak Diyah turut memberikan sedikit gambaran mengenai materi diskusi yang akan dibahas, yaitu “Kasatmata Puasa”.

Bahwa puasa seharusnya mengajarkan manusia untuk menemukan keseimbangan dan kontrol dalam kehidupannya. Dengan menahan dari keinginan sesaat serta melatih diri untuk menjadi lebih sabar, lebih disiplin, dan lebih sadar akan kebutuhan. Hal ini akan membantu orang-orang agar tidak terjebak dalam konsumerisme berlebihan. Sebab uniknya, ketika seharusnya kebutuhan harian berkurang dibandingkan bulan di luar Ramadhan karena sebagian besar muslimin berpuasa di siang hari, mengapa konsumsi justru menjadi berlipatganda selama bulan Ramadhan? Lalu, apa fungsi puasa jika pada akhirnya tidak ada keinginan yang mampu ditahan?

Sebelum beranjak ke menu utama, kembali satu nomor dilantunkan oleh Rebana Nurul Asatidz. Kali ini lagu Alamate Anak Sholeh menjadi penyemangat bagi para jamaah untuk turut bernyanyi bersama. Bahkan Kang Jion juga memberikan kesempatan bagi salah satu jamaah untuk memegang mic dan bernyanyi dengan diiringi oleh kelompok musik dari UPGRIS yang senantiasa eksis dan konsisten dalam berkarya sejak lama itu. Setelahnya, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi bersama para narasumber yang hadir yaitu Gus Aniq, Pak Saratri, dan Pak Ilyas.

Gus Aniq mengawali sesi dengan menjelaskan bahwa puasa merupakan ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah SWT. Sebab tidak ada satu pun pihak lain yang dapat mengetahui apakah seseorang benar-benar berpuasa kecuali Allah SWT. Sesuai dengan frasa la allakum tattaqun, puasa memiliki tujuan agar manusia memiliki tingkat ketaqwaan yang lebih mendalam. Secara etimologi, puasa mencakup dua aspek, yaitu aspek “visible atau kasatmata” dan “invisible atau tidak kasat mata”. Syiam merupakan aspek puasa yang visible, di mana syiam lebih menekankan pada upaya-upaya untuk mewujudkan tindakan tidak makan, minum, serta menahan hawa nafsu saat berpuasa. Sedangkan shoum lebih menekankan pada aspek nilai-nilai di balik ibadah puasa.

Orang-orang zaman dulu memang memiliki kebiasaan menyisihkan uangnya untuk bulan Ramadhan dan bulan Syawal. Sebab pada kedua bulan tersebut, kebutuhan manusia menjadi semakin banyak. Bahkan menurut pemberitaan media, rata-rata konsumsi umat Islam mengalami peningkatan sebanyak 17% saat berpuasa. Bagaimana tidak? Lihat saja iklan-iklan sirup, sarung, kue lebaran, dan komoditas lainnya yang menjamur menjelang dan selama bulan Ramadhan serta Syawal. Wajar saja, karena manusia telah dididik oleh media menjadi insan yang konsumtif. Manusia dicetak untuk merasa rendah bahkan merasa tidak berpunya jika tidak mengikuti tren yang sedang berlangsung. Belum lagi adanya kebiasaan lapar mata dan ajakan berbuka bersama yang mengantre untuk didatangi setiap malamnya. Tentu saja hal tersebut menambah daftar panjang pengeluaran yang sebelumnya tidak ada.

Sayangnya, sekarang ini puasa banyak memberikan contoh terhadap terjadinya degradasi makna kata. Gus Aniq mengajak para jamaah untuk senantiasa menjaga “Islamisasi kata” agar tidak mengalami degradasi makna. Misalnya pada istilah “membatalkan puasa”. Batal merupakan istilah yang lekat kaitannya dengan sesuatu yang sia-sia atau percuma. Bukankah menjadi hal yang aneh ketika orang-orang menggunakan istilah “membatalkan puasa” yang justru merujuk pada ajakan untuk “menyiakan-nyiakan puasa”? Kemudian mengenai waktu dalam mengucapkan doa berbuka puasa. Di mana apabila ditilik dari artinya, doa berbuka puasa seharusnya diucapkan setelah seseorang melakukan aktivitas berbuka puasa seperti berikut ini.

اَللّٰهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ

Allaahumma lakasumtu wabika aamantu wa’alaa rizqika afthortu birahmatika yaa arhamar-roohimiina.
Artinya: Ya Allah karena-Mu aku berpuasa, dengan-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah dan dengan rezeki-Mu aku berbuka (puasa), dengan rahmat-Mu, Ya Allah yang Tuhan Maha Pengasih.

Setelahnya, Pak Saratri melanjutkan untuk mengelaborasi tema dengan mengatakan bahwa puasa merupakan ibadah yang dapat diimplementasikan pada aspek sosial. Sebab pada intinya, puasa merupakan kondisi mengetahui batas diri terhadap hawa nafsu. Contohnya adalah ketika seorang pemegang kekuasaan melakukan korupsi atau pengrusakan lingkungan, artinya dia tidak menerapkan aspek puasa dalam kesehariannya. Namun, jangan jadikan pula bulan puasa menjadi sekadar bulan gencatan senjata dengan mengendalikan diri pada saat itu saja lalu lupa setelahnya. Pak Saratri menginginkan agar para jamaah maiyah mampu menjadi manusia yang merasa senantiasa diawasi oleh Allah SWT dalam setiap tindakannya serta mampu menjunjung tinggi harga dirinya, sebab ada rasa malu ketika melakukan sesuatu yang melanggar aturan.

Menurut Pak Saratri, terdapat 3 kriteria manusia, yaitu manusia fiqih alias yang melakukan kebaikan karena terpancang pada aturan. Lalu ada manusia akhlak atau moral, yaitu manusia yang tetap melakukan kebaikan meskipun tidak ada aturan. Dan tingkatan selanjutnya adalah manusia taqwa, yaitu orang yang senantiasa eling lan waspada, terutama berhati-hati terhadap duri-duri sosial yang merupakan istilah untuk berbagai bentuk penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan komunal. Pak Saratri juga mencontohkan melalui sebuah cerita yang menggambarkan bahwa selayaknya manusia benar-benar harus bergantung pada Allah SWT dalam mengendalikan dirinya.

Seperti cerita tentang seorang pria saleh yang telah beribadah dengan tekun selama 500 tahun. Ketika dia meninggal dan tiba saatnya untuk diperhitungkan amalannya, Allah SWT akan memberinya surga sebagai hadiah atas rahmat-Nya. Namun, pria tersebut lebih memilih untuk menghitung bobot ibadahnya sendiri, padahal ibadahnya tidak sebanding dengan rahmat Allah SWT yang begitu besar. Kisah ini menggambarkan betapa pentingnya pengertian akan kebesaran Allah SWT dan kerendahan hati di hadapan-Nya. Pria tersebut menyadari bahwa meskipun ia telah berusaha keras dalam beribadah selama bertahun-tahun, tidak akan dapat menyamai kebesaran dan kemurahan hati Allah SWT. Oleh karena itu, dia memilih untuk mengandalkan rahmat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat itu dia bisa memperoleh surga.

Senada dengan penjelasan narasumber lainnya, Pak Ilyas juga berpendapat bahwa orang Indonesia mengalami kegagalan dalam meng-ijtihad-i makna puasa. Meskipun sebenarnya wong cilik telah terbiasa untuk berpuasa pada dimensi sosial, namun para pemegang kekuasaan malah banyak yang gagal berpuasa. Pak Ilyas mencontohkan upaya menahan diri melalui analogi membeli sepeda motor dengan harga puluhan juta, namun orang-orang memiliki kesadaran untuk tidak memakainya dengan kecepatan maksimal yang disediakan. Berkaca juga pada rukun Islam, Pak Ilyas mengutarakan bahwa manusia juga harus menyesuaikan diri ke dalam beberapa aspek yaitu menjadi manusia syahadat dengan terbiasa melakukan diskusi dan musyawarah, manusia salat yang senantiasa beristiqomah, dan manusia zakat dengan memiliki kepedulian sosial yang kuat.

Tidak lupa sesuai dengan ciri khasnya, di tengah-tengah pemaparannya, Pak Ilyas melontarkan sebuah candaan yang berisi sentilan terhadap sikap para jamaah dalam menghadapi kewajiban puasa. “Seandainya malaikat Jibril turun ke bumi dan memberitakan bahwa dikarenakan situasi politik yang tidak stabil, khusus orang Indonesia tidak diwajibkan untuk menjalankan puasa. Kiro-kiro neg ngono iku, atimu dadi susah opo malah seneng, Cah?”. Benar-benar guyonan yang membuat para jamaah mau menilik ke dalam dirinya sendiri apakah ibadah puasa yang dilakukan tekah didasarkan pada sikap keikhlasan atau justru paksaan.

Akhirnya, majelis ditutup pada pukul 00.30 WIB dengan shohibu baiti serta doa bersama yang dipimpin oleh Gus Aniq. “Kasatmata Puasa” memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang makna puasa di kehidupan sehari-hari. Pembahasan ini tidak hanya memberikan wawasan tentang aspek keagamaan puasa, tetapi juga menyentuh dimensi sosial dan moralnya. Dengan menerapkan prinsip kesederhanaan, kepatuhan terhadap aturan, dan kesadaran akan nilai-nilai spiritual, diharapkan para jamaah dapat membawa manfaat yang berkelanjutan dalam kehidupan serta pemahaman yang lebih luas tentang makna dan nilai-nilai puasa dalam Islam.