Majelis Gambang Syafaat pada 25 Juli 2016 membahas tema ‘Hari Raya Meria(h). H dalam kurung di judul tema tersebut tentu saja bukan tanpa maksud. Ia seperti anak nakal yang meminta perhatian lebih. Dalam judul tersebut kita diajak fokus dangan kata mer‘ria’, menyombongkan diri. Pesan yang ingin disampaikan adalah adanya kesombongan dalam berlebaran kita selama ini. Seperti biasa majelis diawali dengan tadarus terpimpin oleh Kang Umam dengan membaca surat Al Waqiah, selesai tadarus dilanjutkan dengan munajat maiyah oleh Kang Jion.
Tema itu kemudian dijabarkan lagi dalam sebuah prolog yang disampaikan secara monolog oleh Muhajir Arrosyid. Monolog dengan judul ‘Piye Kudune Lebaran’ itu berkolaborasi dengan kelompok musik gamelan Kidung Syafaat, simpul Maiyah dari Salatiga.
Di dalam prolog, diiceritakan tentang dua orang yang berdebat tentang bagaimana seharusnya berlebaran. Kapit –salah satu tokoh dalam monolog- berpendapat bahwa berlebaran seharusnya tidak seperti yang terjadi selama ini yaitu takbir keliling, membunyikan mercon, membagikan uang saku pada anak-anak, berziarah di makam leluhur, mudik, obor, pakian baru, rumah dicat, hidangan aneka ragam dan segala keribetan lainnya. “Lebaran seharusnya tidak seperti itu. Mercon, menghias patung hewan, uang saku, bukankah itu semua menggunakan uang. Berlebaran seperti itu boros, mubadzir, dan mengandung ria. Harusnya berlebaran itu cukup dihayati di dalam kedalaman hati masing-masing.” Gugat Kapit. Kang Jono –tokoh lawan bicara dalam monolog- menyanggah. “Memang bisa disebut sombong, tetapi bisa dilihat dari sudut pandang lain. Misalnya kemarin Lik Darsono membangun rumah menjelang lebaran dalam rangka ingin memuliakan tamu, ia ingin menyambut tamu sebaik-baiknya. Saya mengenakan baju baru saat lebaran juga bukan karena ingin sombong. Saya hanya ingin mengungkapkan rasa syukur saya saja di bulan istimewa ini.” Di akhir monolog dikisahkan bahwa suatu saat tibalah masa dimana orang-orang sudah menghayati lebaran dikedalaman hatinya masing-masing. Mereka tidak lagi takbiran keliling kampung, membunyikan beduk, menyalakan kembang api, silaturahmi ke sanak saudara, berziarah, dll. Kapit menyesal. Lebaran sepi. Kapit ingin lebaran kembali ramai.
Setelah monolog prolog, Kang Em Ali menyambung diskusi. Katanya, kita tidak tahu tradisi lebaran siapa yang memulai, tetapi intinya bahwa hari lebaran sangat dimeriahkan. Beberapa tradisi lebaran hingga hari ini masih berlangsung tetapi sebagian sudah tidak lagi lestari. Misalnya saja takbir keliling masih dilaksanakan tetapi tidur di masjid saat malam lebaran di sebagaian tempat sudah tidak dilaksanakan. Sekarang ini ada semacam gugatan. “Perilaku berlebaran seperti itu (takbir keliling, tidur di masjid) tidak pas.” oleh pihak-pihak tertentu. Tradisi itu dianggap hanya ria belaka, boros, membuang-buang uang.
Munculnya gugatan tersebut dan munculnya paradigma baru membuat tradisi berlebaran sedikit-sedikit mulai terkikis. Kita harus mengambil posisi yang tepat. Kang Em Ali memperkenalkan istilah peristiwa dan makna. Orang-orang dulu yang menggagas tradisi tersebut pasti menyelipkan sebuah makna dalam peristiwa yang ditradiskan tersebut. Peristiwa digunakan untuk membantu orang-orang tertentu memahami makna. Karena tidak semua orang langsung dapat memahami maknanya. “Orang-orang dulu membuat peristiwa, tradisi, bahkan lagu, mereka menyelipkan makna di situ. adanya gugagatan-gugatan yang melarang dan mentidak bolehkan peristiwa tradisi berlebaran bisa jadi orang yang menggugat tidak paham makna yang diselipkan di peristiwa dan dengan tergesa-gesa melabeli ‘tidak baik’, ‘bid’ah’, dan segala macam tuduhan sejenis.” terang Kang Em Ali. Menurut Kang Em Ali, ada kecenderungan semacam itu. apalagi sekarang ada kecenderungan muncul Islam yang yang menekankan pada penghayatan disamping kecenderungan semangat memurnikan Islam dari tradisi lokal.
Seperti malam-malam yang lalu, pelataran Masjid Baiturahman Semarang, tempat dilaksanakannya Gambang Syafaat dipenuhi jamaah yang datang dari berbagai wilayah. Kali ini musik Kidung Syafaat menghangatkan suasana. Beberapa lagu membuat jamaah semakin asyik menikmati malam tersebut, apalagi ditambah dengan ger geran khas MC Kocak Kang Dur. Suasana malam itu tambah gayeng dengan kehadiran teman-teman dari UNNES, Mbak Nanik menyumbangkan sebuah lagu Patmonolo, Dandang Gulo. MC kocak Kang Dur, memberikan kesempatan kepada juara karawitan tersebut berkolaborasi dengan Musik Kidung Syafaat.
Suasana kembali kepada diskusi, Kang Em Ali mempersilahkan Mas Zudi Setiawan, dosen Unwahas membahas tentang tradisi berlebaran. Berlebaran tidak terlepas dari penggunaan pengeras suara yang digunakan ekstra yaitu semalam suntuk. Zudi mengajak jamaah untuk berdiskusi apakah tradisi tersebut merupakan tradisi yang positif atau negatif. Tradisi menggunakan pengeras suara yang sepanjang malam itu meluai digugat. Bahkan yang menggugat bukan orang biasa. Gus Mus adalah salah seorang yang mengingatkan penggunaan pengeras suara tersebut agar sound tidak berdampak negative tetapi justru positif. Menurutnya kita perlu mencontoh masjidil Aqso menara kudus. Di masjid tersebut pengaturan sound system sangat diutamakan sehingga tidak mengganggu pendengarnya. Menurut Mas Zudi ada tradisi yang perlu dilestarikan dan ada tradisi yang perlu direvisi. Mas Zudi juga menyayangkan beberapa Masjid yang tertutup, bahkan beberapa diatur sangat ketat misalnya aturan yang melarang tiduran di masjid, hanya muslimah yang boleh masuk dan sebagainya. Mas Zudi memancing jamaah dengan statement dari Mbah Nun tentang makna idul fitri, tentang seribu idul fitri dan tentang setiap hari idul fitri.
Kang Em Ali menyambung lagi, bahwa peristiwa adalah sebagai pengingat sebagai jejak untuk masuk pada pemaknaan. Misalnya sekarang ini anak-anak mengalami takbir keliling, kelak ketika mereka dewasa dan tua mereka akan mengingat peristiwa tersebut, setelah ingat mereka baru merenunginya, mencari pemaknaannya.
Mas Ali Romdoni menambahkan bahwa merayakan hari raya adalah merayakan persaudaraan. Perayaan kangen terhadap masa lalu. Orang kota yang belajar, bekerja di kota pulang untuk menemui masa lalunya. “Saya termasuk orang yang optimis dengan perayaan dengan kebudayaan, tradisi, dan peradaban.” Kebudayaan tidak pernah terbentuk tanpa ajaran, nilai dan keyakinan. Keyakinan inilah yang akan menjadi energy bergeraknya tradisi, termasuk idul fitri. Ada tradisi yang akan langgeng dan memerangi tradisi ini bunuh diri. Karena tradisi ini ditopang energy yang kuat yang dibenarkan yaitu ganjaran dan agama. Dalam lebaran terdapat tradisi memberi, kita juga susah melarang orang memberi. Orang Jawa bilang aweh iku sugih. Melarang orang bersedekah itu absurd. Sekarang ini banyak kalangan menyelenggarakan festival, dibiayai ratusan juta tetapi karena itu tidak atas keyakinan masyarakat maka hal tersebut hanya menjadi budaya yang pura-pura. Tetapi jika itu murni budaya maka masyarakat tidak bisa di penggak. Berpendapat masalah mrecon, kembang api, Mas Ali Romdoni berpendapat bahwa mrecon adalah bahasa kegembiraan, ia sebagai tanda bahwa lebaran telah dimulai. Takbir di masjid juga demikian. Jika. Ada budaya yang berenergi yang akan langgeng, yang ceremonial akan hilang. Bahwa kita selektif itu wajib sebagaimana Gus Mus mengingatkan memang tugasnya Gus Mus sebagai orang tua mengingatkan agar kita tidak kebablasan.
Kang Em Ali membenarkan apa yang dikatakan Mas Ali Romdoni, bahwa tradisi kampung justru menjadi trend di kalangan perkotaan, semisal ODOJ –One Day One Juz-, padahal sebelum ada trend ODOJ, di kampung-kampung sudah jamak bahwa setiap hari nderes quran satu juz, tanpa ada judul ODOJ.
Giliran Kang Aniq melengkapi pembahasan tentang merayakan lebaran. Ada satu prinsip dasar dalam islam bahwa “laisal islam aqidatan wa syariatan, bal huwa dinul ilmi wa faqofah wal hadoroh wal adab” Islam itu tidak saja berisi tentang akidah/teologi dan fikih saja,melainkan juga keilmuan, peradaban, kemajuan. Di Nusantara ini islam berkembang dengan sangat baik utamanya tradisi dan kebudayaan yang sangat kaya jika dibandingkan dengan Islam di Negara lain. Menurutnya kita berada dalam krisis kesalehan sosial dan kearifan budaya. Kang Aniq mengajak agar kita tidak menjadikan lebaran sekedar uforia tanpa nilai yang melatarbelakangi. Menurutnya lebaran merupakan kesalehan kultural Negara kita sebab, di Negara lain tidak ada halal bi halal, tidak ada juga takbir keliling. Tentang takbir keliling yang oleh sebagian orang dianggap buruk menurut Kang Aniq lebih baik dilestarikan karena menurutnya memang kita dalam keadaan perayaan. Lebaran adalah saat untuk srawung sebagai tanda guyup. Tradisi itu harus kita omahkan, dan omah tersebut adalah nusantara. Menurutnya jika kita menyaksikan kasus mudik maka kita melihat betapa berharganya kampung. Orang-orang rela berjuang demi melihat kampung. “Saat ini kampung malah banyak dijual. Misal banyak rumah makan yang menggunakan idiom-idiom kampung seperti cuek ireng,” tutur Kang Aniq. Tentang ria, menurut Kang Aniq memang ada yang pulang kampung dipaksakan membawa mobil meskipun mobil sewaan, tapi apa bisa bertahan jika dipaksakan?
Setelah MC Kang Dur berkeliling ke tengah tengah kerumunan, beberapa jamaah mengajukan pertayaan. “Kok lebaran menimbulkan pamer dan iri hati?” tanya jamaah bernama Kang Nur. Jamaah bernama Bahtera mempertanyakan tradisi haji dan setelah pulang mendapat gelar. Jamaah bernama Akhyar bertanya tentang tradisi mabuk-mabukan saat lebaran, ia menceritakan pengalamannya di kampungnya di Demak, memang ada orang mabuk saat lebaran tetapi itu bukan tradisi, mereka melakukan dengan sembunyi-sembunyi. Menyambut narasumber lain yang akan bergabung, Musik Kidung Syafaat melantunkan Duh Gusti dengan apik.
Tiba saatnya Pak Saratri menjawab tentang lebaran hingga mudik. Ia menerangkan bahwa saat ini yang terus dibangun adalah pulau Jawa. Nantinya Jawa akan menjadi pulau kota. Menurutnya Jawa hanyalah delapan persen dari bagian keseluruhan wilayah Indonesia tetapi menampung 60 persen penduduk Indonesia. Melihat mudik maka kita tidak lepas dari sarana transportasi. “Mengapa saat ini yang melulu dibangun adalah jalan tol bukan rel kereta api? Meskipun kita tahu, pembangunan jalan tol memakan berhektar tanah-tanah produktif?” tanya Pak Saratri. Dia jawab sendiri pertanyaannya. Karena ini ada kaitannya dengan mobil. Jika kereta api dibangun dan lancar, memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat maka mobil tidak laku.
Kronologi kenapa ketika mudik macet. Karena konsentrasi pergerakan uang di Indonesia itu terjadi di Jakarta. 70 persen uang beredar di Jakarta. Di kota begitu mudahya mencari pekerjaan, mulai dari tukang sayur, tukang parkir, polisi cepek, dan lain sebagainya. Sedangkan di desa susah mendapatkan uang. Sawah-sawah sudah tidak lagi menjadi daulat petani. Tanah-tanah telah terwariskan menjadi petak-petak kecil, yang mengolah hasil-hasil sawah juga perusahaan-perusahaan besar dan yang menjual hasilnya juga toko-toko besar. Mereka semua ke kota dan pulang serentak saat lebaran. Inilah mengapa macet terjadi.
Mengapa mudik? Pak Saratri kembali bertanya. Karena di kota terdapat kesepian. Orang pulang ke kampung, bernostalgia, bertemu teman angon wedus. Mudik adalah kembali sangkan paraning dumadi. Ingat dari mana berasal. Meskipun terdapat juga ekses pamer dan itu wajar. Karena yang pamer hanya sebagian, yang mabuk-mabukan itu juga hanya ekses dan hanya dilakukan oleh sebagian kecil.
Mudik harusnya pulang dari mana kita berasal, kembali kepada yang punya hidup. Selama ini ketika kita berlebaran seolah-olah kita sudah merdeka. Setelah puasa seolah-olah kita boleh melakukan apa saja. Puasa adalah latihan dan puasa yang sesungguhnya adalah sebelas bulan selanjutnya. Selama ini sering terdengar antara ibadah mahdhoh (sholat, puasa, zakat) tidak nyambung dengan ibadah muamalat. Contohnya setelah naik haji malah korupsi, dll.
Pak Ilyas menjawab beberapa pertanyaan. Tentang mudik. Dia mencontohkan di Jepang jarang orang memiliki mobil karena angkutan umum beres. “Pada lebaran kemarin, tidak ada menteri yang bicara dan menghubungkan antara kemacetan dan kepemilikan motor.” kata Pak Ilyas. Setiap minggu ribuan motor, mobil di jual, bagaimana tidak macet. Mau dibangun jalan sepanjang apapun jika kepemilikan sepeda bermotor tidak diatur maka akan macet juga.
Masalah mabuk di Idul Fitri jangan disalahkan Idul Fitrinya, salahkanlah orangnya. Menjawab masalah haji Pak Ilyas menerangkan, mengapa haji ada gelarnya? Karena ada biayanya. Maka berpotensi ada pamer di sana. Kalau sesuai logika, orang berhaji berakhir setelah towah wadha dilaksanakan, setelah itu tidak lagi disebut haji.
Tentang lebaran Pak Ilyas berpendapat bahwa setiap hari harusnya kita berlebaran. Riyoyo adalah saat kita dalam keadaan apapun ariyoyo kepada Allah. Pak Ilyas memberi contoh, seseorang yang sedang dalam keadaan erhimpit keuangan, anak sakit, angsuran motor belum dibayar kemudian ia ingat Allah, sholat khusuk, maka sesungguhnya ia sedang ber riyoyo. Dan saat manusia dalam keadaan lapang dan kemudian lupa kepada Allah, sesungguhnya ia sedang tidak ber riyoyo. Artinya kapanpun sebenarnya kita berkesempatan ber riyoyo kepada Allah.
Kang Em Ali menyela, ia bercerita bahwa pelabelan haji juga bisa berdampak baik. Temannya yang mulanya setiap hari karoke menjadi malu setelah memiliki gelar haji, gelar haji menjadi control social bagi yang sadar akan betapa gelar haji adalah berat konsekuensi moralnya.
Mas Agus menjelaskan tentang pelabelan haji. Sejarahnya pelabelan haji dilakukan oleh pemerintah kolonial. Setiap orang selesai beribadah haji maka kegiatannya dipantau, dicurigai karena orang yang berhaji biasanya memiliki harta, memiliki ilmu, dan memiliki pengikut. Pelabelan itu berfungsi untuk memudahkan pemantauan. Ketika ada terjadi geger di sebuah daerah maka tinggal dipanggil, ‘Kajine sopo?”
Menurut Mas Agus, Haji, bisa dijabar menjadi pengajian, aji. Aji yang baik itu bagaimana? Ketika kita datang ke masjidil haram adalah bentuk yang bisa diidentivikasikan kita masuk ke dalam tanah suci. Masuk ke tanah suci itu penghuninya harus mensucikan diri. Harus menanggalkan pakaian-pakaian keduniaan. Bukan malah untuk mencari pakaian dunia. Jika orang sudah mampu menanggalkan pakian keduniaan maka dia layak menjadi penghuni tanah suci. Bagi yang tidak punya uang untuk ke makkah maka ayo mencari makkah dalam dirinya masing-masing. Menjawab pertanyaan tentang ria, meri. Sikap itu diri kita sendiri yang menghadirkan. Bukan karena orang lain berpakian bagus kemudian menyebabkan diri kita iri. Iri itu pilihan. Ada orang pamer tetapi kalau kita tidak iri, maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Ketika kita iri maka jangan dilihat yang diluar diri kita karena iri itu menandakan diri kita yang punya penyakit. Jangan kita membuat musuh dalam diri kita sendiri. Berpendapat tentang yang mabuk di Idul Fitri, Mas Agus berpendapat bahwa kita harus member perimbangan tetapi tanpa harus nyinyir dan memperolok mereka, atau bersikap nyinyir kepada mereka. Jika kita bersikap nyinyir maka mereka akan berusaha memerdekan dirinya dari sikap nyinyir tersebut.
Menjawab pertanyaan Akhzar tentang mabuk yang seolah dibiarkan, bahkan boleh ikut takbiran, Kang Zudi yang mulanya bercerita tentang peristiwa di kampungnya yang tidak melarang orang mabuk untuk ikut makan nasi hidangan yang ada di Masjid, bersama dengan orang yang sedang melekan takbiran. Bahwa tradisi dilawan dengan tradisi. Masjid dalam konteks ini menjadi terbuka bagi siapa saja, maka siapa saja itu menjadi nyaman. Mereka tidak berhadap-hadapan. “Tidak seperti di kota-kota yang sudah menolak bahkan sebelum masuk masjid dengan tulisan “Yang tidak berbusana muslim dilarang masuk”. Bukan berarti menghalalkan mabuk di masjid, tetapi masjid hendaknya terbuka bagi siapa saja agar terjadi “efek masjid” kepada semuanya.
Pak Budi Maryono menjelaskan hubungan antara puasa dan lebaran. Katanya sebenarnya kita bisa berlebaran setiap hari jika kita mampu berpuasa setiap hari. Puasa adalah menahan diri, jika kita mampu menahan diri, menjaga diri kita setiap hari maka sebenarnya kita akan berlebaran setiap hari pula. Pak Budi Maryono bercerita apa yang dilakukan oleh Nabi saat lebaran. Diceritakannya, setiap masuk lebaran Nabi mengungkapkannya dengan takbiran, berangkat dan pulang ke masjid. Takbiran dilaksanakan tidak secara berjamaah tetapi sendiri-sendiri. Nabi pada saat itu juga mengenakan baju terbaiknya. Mengenai pakian ini Pak Budi menjelaskan bahwa pakaian yang paling baru harusnya adalah pakaian taqwa. Jika kita puasa setiap hari dan berlebaran setiap hari maka kita mengenakan pakaian taqwa setiap hari pula.
Dibuka lagi pertanyaan sesi kedua. Pertanyan pertama oleh Agus dari Jawa Timur, jika ada kebaikan dan ketidak baikan, kalau orang jawakan dimong terus dijadikan harmoni. Lantas peran agama di mana? Mas Aziz bertanya bagaimana cara membaca ayat-ayak kauniah yang dibutuhkan kepekaan. Ketiga, tentang bagaimana meninjau masa lalu. Terakhir tentang ria khasanah, pengalaman menulis status di fb tentang pengajian dan dianggap ria oleh temannya.
Mas Zudi menjawab pertanyaan pertama. Jika ada kemungkaran lantas peran agama dimana? Agama harusnya mengayomi. Seperti nasihat Sunan Drajat, jika ada orang yang lapar dikasih makan, jika ada orang kehujanan dikasih tempat bertedu, dll. Agama harusnya merangkul dengan cara yang bijak.
Mas Agus berkisah tentang seorang shabat yang melakukan yang bertentangan dengan agama, tetapi dia sangat cinta kepada Rosullullah. Sahabat tersebut datang ke Rosul dan mengungkapkan keadaannya. Ia menyatakan dia masih maksiat, masih berbuat dosa tetapi ingin sekali di barisan Rosul. Rosul membolehkan dengan satu syarat, jujur. Sahabat tersebut harus jujur kepada Rosullulah. Lama-kelamaan, sedikit demi sedikit, sabahat tersebut mengurangi maksiatnya dengan kesadaran sendiri. Hingga dia tidak lagi bermuat maksiat. Cara yang dilakukan Rosullulah begitu luwes. Karena setiap orang akan melakukan atau tidak melakukan perbuatan atas kesadarannya sendiri. Cara yang luwes juga dilakukan oleh Sunan Kudus dengan masjid menaranya, dengan tidak menyembelih sapi, hewan yang dihormati umat Hindu. Mas Agus mengenalkan istilah titik wirang yang ada pada setiap orang, yang merupakan salah satu pintu hidayah Allah. Orang sebenarnya secara default/fitrah, tidak ingin malu, sehingga dari pintu itulah orang akan peka jika melakukan hal yang buruk yang membuat dia wirang.
Menurut Mas Aniq, tidak semua disebut ria. Semua tergantung dari niatnya, jadi jika orang lain menggangap ria, asal niat kita tidak ya biarkan saja. Karena oleh agama kita dianjurkan untuk menunjukkan nikmat yang telah diberikan oleh Allah sebagaimana ada di ayat terakhir surat Adduha. Mas Aniq menambahkan bahwa ulama itu pewaris nabi, jika kita bingung atau tidak peka dengan ayat2 kauniyah, kita boleh ikut ulama, ulama yang bagaimana? Ulama yang akhlaknya terpuji. Terhadap kemajuan zaman yang mungkin sangat banyak hal hal baru, kaidah almukhafadhotu ala qodimis sholih wal akhdu bil jadidil aslah bisa dipakai, artinya kita mempertahankan hal yang baik dari masalalu dan memakai hal baru yang lebih baik. Berbagai tradisi jawa, mungkin sepertinya tidak terlihat islam tetapi esensi nya sering kali sudah islami. Jikapun ada mafsadah/kerusakan yang tidak bisa dihilangkan, setidaknya di minimalisir.
Pak Ilyas merespon tentang bagaimana cara memahami ayat, untuk bisa peka kita harus belajar dan butuh proses. Belajar bisa dimana saja dan kepada siapa saja, setiap peristiwa bisa ditadabburi, dicari baiknya untuk kita ambil pelajaran. Mengenai status fesbuk apakah termasuk ria, Pak Ilyas dengan bercanda memberi saran, sekiranya statusmu membuat efek yang tidak baik, ya sudah tidak perlulah berstatus. Terhadap pernyataan dari penanya bahwa tradisi lebaran membuat repot keluarga, Pak ilyas memberikan tips, dibuat mudah saja, tidak perlu terlalu analitis, kalau ndak kuat bertradisi ya sudah, ndak masalah, luwes sajalah agar hati kita luas.
Sebelum Kang Em Ali mempersilahkan om Budi Maryono merespon, Kang Em Ali menambahkan bahwa semua orang akan lulus pada waktunya, semua orang pasti akan mengakui bahwa yang baik itu baik, yang jelek itu jelek, bedanya adalah berapa semester yang dibutuhkan untuk sampai pada lulus dalam artian tersebut.
Di akhir sesi, Om Budi menceritakan beberapa pengalaman-pengalamannya bersama dengan teman temannya, yang intinya bahwa untuk bisa menangkap pesan Tuhan sesungguhnya baik di ayat qouliyah maupuan kauniyah caranya adalah pasrah/taat, sebab nanti dengan sendirinya akan terbuka ilmu ilmu baru setelah perintah Allah dilakukan dengan baik. Senada dengan perespon sebelumnya, om budi juga berpendapat bahwa ria atau tidak tergantung niat awalnya. Di era medsos sebaiknya apa yang akan dipublish diperhitungkan dulu kemungkinan-kemungkinan persepsi dari public agar tidak menimbulkan komentar/respon yang keliru. Menjawab pertanyaan tentang ayat kauniyah, om budi bercerita tentang rejeki yang tidak selalu berupa uang, tidak punya uang juga rejeki, jika ketika mempunyai uang malah berbuat buruk.
Gambang Syafaat ditutup dengan persembahan terakhir dari sedulur kidung syafaat dengan nomor lir-ilir dan dilanjutkan sohibu baiti dan doa.