Disuatu hari kau akan menemukan sebuah momen yang seolah-olah pernah terjadi dikehidupanmu, biasa orang menyebutnya DE JAVU. Sehingga ada semacam perasaan yang menunjukkan bahwa kita sedang mengalami perulangan peristiwa, perjumpaan dan waktu.
Tak jarang kau dipertemukan dengan sosok orang yang baru kita kenal yang namun seolah-olah dia adalah SAHABAT KECIL mu dulu.
Rasa rindu, akrab dan saling mengisi sudah melekat diantara kita walaupun baru saling jumpa, dan perasaan seperti itulah yang aku alami saat singgah tak lebih 2 tahun di Semarang. Berjumpa dengan sosok-sosok tangguh dengan romantika yang mereka punya. “Celakanya”, aku dibawa dalam dimensi keakraban dan rindu yang amat sangat tak bertepi, seperti bertemu SAHABAT LAMA yang sudah sekian puluh tahun atau bahkan ratusan tahun tak pernah berjumpa. Mereka adalah dulur-dulur MAIYAH Semarang. Perjumpaan yang dibumbui oleh kecanggungan budaya antara Surabaya dan Semarang tak menjadi penghalang bagi tumbuhnya rasa saling mengerti dan perasaan klik atau kecocokan diantara kami.
Keberadaan mereka tak ubahnya sebagai teman bermainku dahulu. Mungkin hal ini jugalah yang membuat keberadaanku di Semarang mengantarkanku menemukan keheningan diri untuk semakin jernih. Dari seorang arek Suroboyo yang cenderung temperamental berangsur berubah untuk lebih sabar dan jeli dalam melihat setiap persinggungan yang kualami. Sebuah penyelarasan komposisi nada hidup dipadukan dengan karakterku sendiri berikut perwatakan “sahabat-sahabat kecil” yang kujumpai di kota dengan Simpang Lima sebagai penandanya, “sahabat-sahabat kecil” itu pastilah mempunyai tarekat komposisi nada hidup mereka sendiri, Paduan ini menambah merdu musikalitas kehidupanku.
Semarang punya mendung yang menghangatkanku
Dia biarkan matahari memuaikan kepenatanku
Kebisingan mendidik & menghardik kelembekan kita, ternyata
Ada keheningan yang mampu mendewasakanku
Diperaduan ini aku mintakan maaf sebesar dan setulus apa yang aku bisa
untuk sahabat sahabat-sahabat kecilku
Bersama mereka kutemukan resapan itu
Berada di tengah mereka, carut marut hidup bisa kuendapkan
Mereka lah resapan yang mengendapkan residu
Karena mereka pastilah kekasih Allah-ku
Perantauanku ke kota pesisir dengan sebuah gedung berpintu seribu itu menjadi catatan penting di tonggak kesekian perjalanan nafasku. Di hujan yang hampir selalu disertai banjirnya, kutemukan arti berhuruf tebal dari pertemanan, ikatan, tujuan-tujuan bersama yang tentu saja ada pula intrik-intrik yang indah, percik kecil nyala kompetisi dan tangis diam-diam di kesehariannya. Kesemua unsure itu membuatku semakin mengerti makna sebuah jeda dalam kalimat panjang bertajuk pembelajaran.
Meski mungkin sangat hiperbolik bila permukiman sekian bulan itu kusetarakan dengan perintah Tuhan ke Musa, namun ijinkan aku mengaku bahwa hikmah, pekerti luhur atau penyadaran bisa kudapat dari lelakuku keluar rumah.
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas” (Surah Al-Baqoroh ayat 61)
Allah Maha Besar;
اَللّه maha agung dan tidak membutuhkan apa-apa dari kekerdilan kita;
اَللّه maha besar dan tidak memerlukan manfaat apapun dari kelemahan kita;
اَللّه maha tak terhingga dan sama sekali tidak memiliki ketergantungan apapun kepada ketololan kita.
(Emha Ainun Nadjib)
Dipenghujung hitungan tahun ini, tak banyak yang hendak kutuliskan mengenai perolehan dua belas bulan selain impianku agar kata “kita” lebih mengemuka ketimbang “aku”. Kesadaran melingkar serta keikhlasan harusnya sudah menjadi esensi perjalanan hidup kita. Terus berjalan, menebar manfaat, sedekah, sedekah dan sedekah tanpa harus berpikir apa rewardnya untuk kita. Dulur-dulurku jamaah Gambang Syafaat, yakinlah bahwa yang menautkan hati kita hingga menjadi saudara seperti sekarang ini ALLAH sendiri, sama sekali bukan kepentingan duniawi belaka. Di bertambahnya usia moga Masyarakat Maiyah Gambang Syafaat dinaikkah derajatnya oleh ALLAH, serta menjadi tarekat tersendiri bagi jasad, isim dan sifatnya untuk terus bersama-sama istiqomah hanya untuk ALLAH tanpa tendensi material apapun dan seberapapun.
(Oleh: M. Aminullah 22 Desember, 2015)