Bahasa Yang Basi
Jika ada yang belum paham tentang tradisi sesepuh nenek moyang itupun karena kita tidak berusaha menggali dengan baik kisi-kisi yang diberikan leluhur secara tersirat di dalamnya. Kalau ada yang terbalik pada jaman ini, pastinya kita belum menemukan mana yang pokok mana yang cabang. Wajar saja, kita kelimpungan menghadapi hidup yang kian hari kian tak menentu ujungnya, media yang bertambah parah beritanya, kondisi politik yang makin tak dewasa keputusannya hingga tafsir agama yang mengkerdilkan pikiran umatnya.
Juguran Syafaat kali ini merupakan pagelaran tepat ke 36. 3 tahun sudah mencoba istiqomah melingkar membuat forum yang tak hanya senda gurau, namun juga diskusi kaya ilmu. Tidak ada donatur khusus dari founding asing, tidak ada donatur dari orang yang berkuasa, semua murni urunan sedikit demi sedikit dari para penggiatnya yang justru terkadang tidak terlihat didepan forum. Meski sebuah bentuk usaha berdamai dengan keriuhan, forum ini tetap menjadi torikoh kesunyian bagi para penggiatnya.
Tema yang diangkat kali ini adalah “Kawruh Basa Basi”. Meskipun bagi beberapa orang tema Juguran Syafaat nampak seperti plesetan saja, tapi para penggiat betul-betul merumuskan tema dengan sungguh-sungguh. Tema yang diambil adalah hasil perenungan masing-masing dielaborasikan dengan kondisi aktual yang sedang terjadi. Tentunya masih dalam kerangka besar arus Maiyah pemikiran Emha Ainun Nadjib. Sebuah sholawat dilantunkan apik oleh Ki Ageng Juguran dengan nomor “Ya Muhammad” sebagai tanda dimulainya acara. Dilanjutkan dengan pembacaan Surat Yasiin yang dipandu secara tartil oleh Aji dan Huda. Suara yang sangat merdu dan khusyuk memasuki ruang-ruang pendopo dan kalbu sedulur yang hadir kali ini.
Pada sesi awal, acara dimoderasi dengan gayeng oleh Kusworo, Hilmy dan Karyanto. Tepat dihari penyelanggaraan Juguran Syafaat edisi Maret ini, salah satu penggiat yaitu Kukuh Prasetiyo yang biasa mengisi sesi awal tengah melangsungkan resepsi pernikahannya di Purwokerto. Sebuah langkah untuk menuju perjalanan yang baru yang ditempuh oleh salah satu penggiat Juguran Syafaat.
Dengan cair dan santai, Kusworo mengawali dengan meminta beberapa sedulur yang tampaknya baru pernah terlihat di Juguran Syafaat untuk ikut memperkenalkan diri. Memasuki mukadimah tema bulan ini, Kusworo mengambil makna kawruh yaitu ilmu. Ini seperti yang terdapat pada idiom ngangsu kawruh, yaitu mencari ilmu. Hilmy menjelaskan bahwa menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), basa basi mempunyai makna ada sopan santun atau tata krama pergaulan. Kusworo kembali menggarisbawahi perlunya kita mempelajari kebiasaan sesepuh kita dahulu seperti dalam hal basa basi karena sekarang banyak hal mengalami degradasi kebudayaan. Menurut Karyanto, basa basi berasal dari kata bahasa yang sudah basi, yaitu seperti menanyakan ‘darimana’ padahal tahu tadi berasal dari sawah. Basa basi adalah bentuk ungkapan sumeh pergaulan terhadap sesama manusia.
Fikry ikut memberikan paparan diawal dengan me-review hasil Juguran Syafaat bulan kemarin dengan tema Ekstrim Tengah. Dalam pendapatnya, Maiyah tidak dapat diidentifikasi dengan warna apapun, karena Maiyah adalah kebeningan itu sendiri dimana ada warna apapun yang masuk kedalamnya, Maiyah bisa ikut menampungnya. Itulah bentuk Ekstrim Tengah dari gerakan dan pola hidup Maiyah. Kusworo ikut menganalogikan bahwa Maiyah itu bukan sayur kangkung, telor, atau tahu dalam gado-gado, tapi adalah bumbu dari semuanya itu, sehingga bisa menyatukan keseluruhan bahan yang lain.
Kembali ke tema, Kusworo mengambil secuplik fenomena yang terjdi dimasyarakat seperti agen asuransi yang pintar berbasa basi mengambil hati calon nasabahnya. Dalam hal ini, basa basi digunakan sebagai pintu untuk kepentingan pribadinya. Namun ini berbeda dengan kondisi yang terdapat pada masyarakat pedesaan. Menurut Karyanto, basa basi di desa adalah salah satu cara memanusiakan manusia. Hilmy menambahkan bahwa orang desa sudah built in dalam dirinya perangkat internal berbasa basi, sehingga ketika kita berjumpa dengan mereka tidak tampak rasa curiga sedikitpun bahwa basa basinya mempunyai tujuan kepentingan pribadi.
Ki Ageng Juguran mempersembahkan satu nomor sholawat “Alfu Salam” dilanjutkan dengan respon dari sedulur yang hadir. Ifa ikut merespon pernyataan Fikry tadi bahwa warna yang bening dalam percetakan disebut dengan ‘clear’. Warna ini justru makin bisa menonjolkan warna yang lain karena berfungsi sebagai pencerah. Ari dari Sokaraja, merespon bahwa dalam beberapa kesempatan orang berbasa basi sangat tidak enak dirasa, namun ada juga yang ceplas ceplos tanpa tedeng aling-aling, justru enak dirasa. Bisa jadi semua tergantung pada niat pelakunya. Kusworo ikut menambahkan bahwa di dunia profesionalterdapat teori passing dan leading dalam wilayah komunikasi personal. Ini adalah bentuk penguasaan lawan bicara dengan metode basa basi tersebut. Secara hukum metode ini tidak salah, tapi secara akhlak ini rasanya tidak nyaman apalagi digunakan untuk peraihan kepentingan pribadi.
Nael dari Purbalingga ikut merespon diskusi sebelumnya bahwa basa basi adalah bumbu romantisme dalam kehidupan. Seorang sufi Abu Nawas, bahkan berbasa basi dengan Tuhan, bahwa dia tidak pantas tinggal di surga, namun tidak kuat tinggal di neraka. Sebuah filosofi dalam huruf jawa yaitu pangkon, dimana huruf yang dipangkon akan mati bunyinya, itu sama saja seperti orang yang bisa memangku (menghormati) orang lain, maka orang lain itu akan bertekuk lutut kepadanya. Wahib dari Purwokerto, melihat fenomena model warung tradisional yang masih kental basa basinya justru lebih “ngewongke” daripada warung modern yang berjajar sekarang ini. Wahib juga berharap bahwa diskusi nanti adalah menemukan ketepatan cara bergaul dengan sesama manusia dan bermuara pada ketepatan berkomunikasi atau bergaul dengan Tuhan. Hilmy ikut merespon bahwa kalau kita betul-betul memahami diri menjadi manusia disitulah kita akan menemukan Tuhan. Seperti kata Sabrang, sebelum beragama, jadilah manusia sejati terlebih dahulu.
***
Akrab dengan Tuhan
Ki Ageng Juguran memberi jeda antar sesi dengan satu nomor “La Ilaha Ilallah”. Telah hadir pula didepan sedulur-sedulur Juguran Syafaat pengisi tetap Agus Sukoco dan Titut Edi. Kusworo memberi pengantar bahwa tradisi ngendong (silaturahmi) merupakan hal yang lazim dalam bermasyarakat. Sehingga lahirlah idiom ‘wedang’ yang berasal dari kata gawekadang, membuat persaudaraan. Namun sekarang sudah mulai hilang terlebih dengan munculnya gegap gempita teknologi informasi. Titut Edi mengambil contoh bahwa masyarakat Banyumas meski terkenal sebagai manusia blakasuta (berbicara apa adanya) namun masih kental tradisi basa basinya.
“Kalau orang di desa, ada tamu disuguhi dengan gelas cantel (cangkir) bukan gelas plastik, itu adalah sebuah bentuk penghormatan. Ana wong teka gupuh-gupuh ‘selamet mbekayu, mangga mampir mampir?’ ‘ramane waras mbok?’ (Gupuh). Terus kon Lungguh kon njagong. Terus diwei Suguh. Gupuh, Lungguh, Suguh sebuah satu paket bukan basa basi.”, ujar Titut Edi kental dengan bahasa Banyumasannya.
Agus Sukoco merespon dengan pengalamannya sewaktu kecil yaitu tradisi ngendong. Orang bisa datang ke rumah tetangga atau kawan malam hari tanpa sebuah kepentingan pribadi bersifat material. Obrolan yang terjadi bukan sesuatu yang material, tapi sifatnya mendasar dalam kehidupan. Seperti tentang anak dan kehidupan sehari-hari.
“Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya kemanusiaan tidak ada orang ngendong atau ketemu orang pertanyaannya: mobilnya sudah berapa mas? Sudah beli berapa hektar tanah? Tidak, tapi pertanyaan yang sifatnya kemanusiaan murni yaitu berapa anaknya sekarang, sudah besar ya. Nah itu bukan sekedar basa-basi, itu dianggap basa-basi ketika dari awal memang diniati punya kepentingan khusus, misalnya kepentingan yang sifatnya materi tadi ekonomi. Sekarang ada pertemuan-pertemuan di hotel, di lobby, di tampat-tempat yang di situ niatnya sama sekali tidak ada nilai silaturahmi meskipun di situ disebut silaturahmi.”, sambung Agus.
Silaturahmi berasal dari kata rahim yang artinya sifat Tuhan yang membawa muatan cinta khusus yang mendalam. Jadi silaturahim adalah satu komunikasi, interaksi yang didasari atas rasa persaudaraan tanpa batas bukan sekedar basa-basi tadi. Sekarang yang terjadi adalah orang yang datang bersilaturahmi tapi punya motif tertentu ketika menanyakan pertanyaan kemanusiaan itu justru terasa hambar dan pura-pura. Kalau dalam bersilaturahmi kemudian kita mendapatkan rejeki tambahan, panjang umur dan mudahnya urusan itu hanyalah efek saja yang seharusnya bukan itu yang dikejar. Yang nomor satu adalah kebersamaan kekeluargaan.
Agus mengaitkan tema ini dengan bagaimana sebaiknya kita bisa akrab dengan Tuhan. Dalam hal ini, janji Tuhan sudah jelas dalam kitab suci bahwa, “Aku lebih dekat dari urat lehermu”, ini adalah bentuk metafora dari makna “Aku bisa lebih dekat dari sahabatmu yang paling akrab”. Kalau dengan Tuhan, kita berdoa diawali dengan meminta-minta maka hanya rasa butuh yang kita miliki. Kalau berdoa diawali dengan memuji-muji, maka ujung-ujungnya pun tseperti udang dibalik batu. Namun kalau kita mendatangiNya dengan berterimakasih dan mereasa bersalah atas semua pemberianNya dan kita belum memaksimalkannya, maka disinilah keakraban dengan Tuhan bisa terwujud.
“Nah sekarang kita dengan Tuhan masih belum ngerti mana yang substansial mana yang tidak. Yang substansial selama ini datang ke Mekkah juga dalam rangka meminta, sembahyang juga dalam meminta, ingat Tuhan langsung minta sesuatu, bagaimana mungkin itu akan bisa menciptakan keakraban. Dalam rangka apa kita sembahyang, dalam rangka apa kita beribadah, dalam rangka apa kita melakukan apapun, dalam rangka membangun komunikasi setepat-tepatnya supaya pergaulan dengan Tuhan tidak tercederai oleh sifat kita yang selalu gagal memposisikan mana yang substansial, mana yang basa-basi.”, sambung Agus.
Rizky menyambung dengan rasa syukur karena forum Juguran Syafaat ini adalah forum yang sungguh-sungguh dimana orang yang datang tidak mempunyai kepentingan yang pendek. Rizky mengutip quote dari Cak Nun yang mengatakan ‘Kalau ranting dipahami secara pohon ruwetlah kehidupan. Kalau maghdoh dinilai sebagai muamalah silang sengkarutlah kehidupan beragama. Kalau kasus lokal tidak diketahui oleh konteks nasional dan latar belakang globalnya bertengkar-tengkarlah rakyat suatu negara. Kalau tokoh-tokoh umat manusia tidak mampu memilah antara lautan dengan ombak, antara Kitab Suci dengan tafsir, antara Tuhan dengan berhala, antara api dengan panas, antara gula dengan manis, antara manusia dengan kemanusiaan, antara fungsi dengan robot dan seribu macam ketidakpahaman yang lain. Maka sesungguhnya peradaban sedang bergerak menuju jurang untuk bunuh diri bersama-sama’.Dalam pandangannya, silaturahmi sekarang yang seharusnya subtansi malah hanya digunakan sebagai bungkus dari sebuha kepentingan saja. Kalau bicara mengenai komunikasi, orang akan bertanya kepada orang lain mengenai identitas-identitas sosialnya saja, belum sampai pada pertanyaan-pertanyaan yang universal yang bisa diterima oleh seluruh manusia. Ini yang harus kita pelajari bersama sehingga rasa kemanusiaan tetap terjaga bersama.
***
Khalilulah Ibrahim
Dijeda antar diskusi kali ini, Ki Ageng Juguran membawakan nomor lagu “Negeri Para Pengungsi” dan “Tuhan Itu”. Sebuah nomor yang pernah dipopulerkan oleh Sawung Jabo. Hilmy juga ikut mempromosikan CD Album Tahta Cinta yang sudah diproduksi oleh sedulur Maiyah Juguran Syafaat. Dalam CD tersebut terdapat 5 lagu karya sendiri yang dikreatifi secara independen sebagai bentuk rasa syukur atas pemahaman Maiyah yang diterima hingga saat ini. Imron dari BURMA Purbalingga, menanggapi dengan ikut bertanya bahwa kalau dalam berdoa kita merasa tidak butuh apa-apa, itu seperti layaknya Tuhan, bukan manusia biasa, lalu sikap yang tepat harus seperti apa.
Agus merespon dengan bahwa basa basi adalah kesungguhan manusia dalam membangun kepatutan sosial. Hal yang hilang saat ini adalah keharusan manusia dalam membina hubungan alamiah antar manusia melalui basa basi. Terkait pertanyaan dari Imron, Agus merespon bahwa titik tengah antara doa yang meminta kebutuhan diri dengan ‘tidak meminta apapun tapi seperti Tuhan’ adalah dengan mengganti kebutuhan kita dengan yang utama adalah hubungan baik dengan Tuhan. Jika hubungan kita dengan Tuhan sudah baik, maka kebutuhan yang lain menjadi sepele.
“Intinya kita hanya salah berfikir tadi seperti ‘apa tidak minta itu berarti tidak butuh’, kebutuhannya malah lebih tinggi. Saya ngapain ke Tuhan cuma minta mobil, ngapain ke Tuhan cuma minta rumah, ngapain ke Tuhan cuma minta uang. Masa ke Tuhan kita datang dengan hal-hal sepele. Nah sekarang dunia sedang menganggap tinggi yang materi dan menyepelekan yang rohani, ini dibalik saja. Jadi ketika saya berkomunikasi dengan Tuhan saya sedang sangat membutuhkan satu jenis pergaulan yang proporsional supaya harmoni pergaulan saya dengan Tuhan, itu kebutuhan utama saya tiap hari sangat butuh itu sehingga kebutuhan tinggi dan dan besar itu tidak ingin saya ganggu dengan kebutuhan remeh- emeh hanya minta mobil, rumah atau uang.”, ujar Agus Sukoco.
Arif dari Purwokerto mengambil simpulan kecil bahwa basa basi bisa diartikan sebagai strategi komunikasi untuk keakraban dan juga bisa diartikan pernyataan obrolan kosong. Arif menceritakan pengalamannya di dunia kerjanya cara-cara menggaet konsumen dengan teknik komunikasi yang sekarang bisa diartikan sebagai basa basi. Merespon penjelasan Agus Sukoco, Arif ikut memaparkan apa yang dia pernah baca di buku sufiistik bahwa ihsan adalah sebuah zero mind process ketika kita sudah meleburkan diri maka saat itulah kita mulai akan akrab dengan Tuhan. Hardi ikut merespon dengan mencoba mendefisini ulang kawruh dan basa basi. Kawruh menurut Hardi adalah sebuah penataan batin manusia, sedangkan basa basi adalah hal yang berkaitan dengan tata krama pergaulan. Selama ini orang mendegradasikan makna dari basa basi sehingga hanya berarti obrolan omong kosong belaka. Yang harus kita lakukan adalah mengembalikan nama baik ‘basa basi’ ke arti sebenarnya.
Ifa ikut mendukung apa yang Hardi sampaikan, bahwa yang harus kita kembalikan adalah makna awal dari ‘basa basi’. Ibarat kata, mensucikan makna dari kata basa basi. Togar dalam hal ini merespon dengan bercerita bahwa basa basi dilakukan baik asalkan empan papan. Tahu mana letak basa basi maupun tujuan utama, ini dalam konsteks bertamu.
Rayung ikut menyumbangkan suara emasnya dengans atu nomor lagu “Perjalanan” karya Franky Sahilatua dilanjutkan dengan “Serani Dinoda” karya Bimbo. Sebuah suara lembut mengalun merdu disela-sela diskusi. Rizky mulai me-resume sedikit demi sedikit hasil diskusi tadi. Merangkai satu persatu hasil respon dari sedulur yang ikut urun rembug. Agus menambahkan sedikit bahwa fitrah manusia menjadi manusia sejati adalah masih memiliki kepatutan sosial dalam dirinya. Dan salah satu torekoh yang dianjurkan agama agar kita kembali fitrah adalah dengan puasa ramadhan.
Mengenai kedekatan hubungan dengan Allah, Agus mengambil refleksi dari Nabi Ibrahim yang oleh Allah diberi gelar Khalilullah yang artinya sahabat karib Allah. Mengapa diberi gelar ini, karena Ibrahim merelakan dirinya terserah keinginan Allah ketika dirinya dibakar oleh Raja Namrud. Padahal sudah ditawari oleh hujan dan angin untuk dipadamkan apinya, naum Ibrahim menolak. Disitulah Allah bekerja ‘Qulna ya naru ku-ni bardanw wa-salaman ‘ala ibrahim’, api disuruh dingin dan selamatlah Ibrahim bahkan sampai kedinginan. Itu analoginya sama seperti ketika kita mempunyai karib Kasatlantas, ketika kita kena tilang pada saat operasi polisi, kita tidak langsung telepon atau pamer bahwa kita sahabat Kasatlantas, tapi dibiarkan saja, nanti akan ada mekanisme yang lebih indah yang terjadi kemudian.
“Nah temukan hubungan personal berdua dengan Allah, Allah sudah bersama kita, kita juga dari Allah, kita punya sejarah dari Allah sebagaimana tadi saya punya sejarah bersama teman SMA saya yang sekarang jadi Kasatlantas.”, ujar Agus.
Sebuah sholawat “Shalallahu Ala Yasin” dilantunkan apik oleh Ujang diiringi akustik Ki Ageng Juguran. Sebagai jeda diskusi yang melangit, tentunya padu padan jika turur diselingi dengan sholawat kepada Kanjeng Nabi. Kusworo merespon bahwasalah satu integritas Tuhan menepati janjinya ketika dalam hadits qudsi disebutkan ‘Jika hambaku mendekatiku satu jengkal maka aku akan mendekatinya satu depa dan ketika hambaku mendekatiku satu depa maka aku akan mendekatinya satu hasta dan ketika hambaku mendekatiku dengan berjalan maka aku akan mendekatinya dengan berlari’. Artinya yang kelihatannya usaha kita hanya datang ke sini kemudian duduk dimana waktu orang lain sedang enak beristirahat tidur pulas, Allah membalasnya dengan memperkenalkan dirinya dengan sangat dekat.
Menurut Rizky bahwa kawruh disini sama seperti yang sampaikan Cak Nun kemarin dalam Daur yang berjudul ‘Aktivasi Akhirat di Dunia, kawruh itu ngaw-ruh. Jadi itu adalah bentuk pemaknaan kualitatif. Kita harus sudah tidak memateri lagi tapi sudah sampai cara pandang ruh atau yang substansi.Lutfan merespon tentang yang disampaikan Mbah Nun tentang denotasi dan konotasi, dan kita harus mengembalikan denotasi dari basa basi itu. Lutfan turut menyumbang sebuah tembang karyanya sendiri terkait pencarian jati diri. Ki Ageng Juguran turut menyambung dengan satu nomor “Padhang Bulan”, yang dipopulerkan oleh Franky Sahilatua.
Rizky memungkasi dengan mengambil simpulan kecil bahwa sekarang jaman yang serba terbalak balik dalam menempatkan sesuatu. Jadi kalau ada pertanyaan yang masuk ke Cak Nun yang disampaikan di tulisan beberapa hari ini kan mungkinkah kita tidak basah kuyup dibawah hujan deras?
“Kalau cara berpikir kita masih terbolak-balik, kalau cara berpikir kita masih materi ya jelas tidak mungkin, wong hujan deras koh kita tidak basah kuyup, ya jelas kebasahan tapi kalau kualitas kita sudah membaik, cara pandang kita sudah tidak terbolak-balik bahkan kualitas kita sudah meng-Ibrahim jangankan hujan deras tidak basah kuyup, dibakar api saja apinya dingin. Asalkan hubungan kita dengan Allah sudah akrab.”, sambung Rizky.
Agus menyambung dengan pernyataan bahwa Maiyah ada karena Indonesia membutuhkan Maiyah. Dalam analogi gerhana, justru yang ditutupi adalah yang disebut-sebut. Maka apabila Maiyah sekarang sedang ditutupi, justru nantilah yang akan disebut dalam sejarah.Di ujung sesi terakhir, Kusworo menyampaikan bahwa kita harus bersyukur karena sudah masuk diterima di Universitas Maiyah, dimana orang lain merasa sangat bersyukur apabila sudah bisa masuk UI, UGM dan lain sebagainya. Berikutnya adalah, kita juga dipersambungkan hidup bersama dengan Cak Nun, dipertemukan entah jasad atau sekedarlewat pertemuan batin tapi yang pasti ini sebuah keberkahan luar biasa.
Ki Ageng Juguran memuncaki acara dengan sholawat ‘Ya Rabbibil Mustofa’, dilanjutkan dengan bersalaman melingkar semua sedulur yang hadir. Tepat pukul 02.30, Juguran Syafaat edisi Maret 2016 berakhir. Diskusi yang panjang, saling saur manuk yang menarik, tidak hanya meluas namun juga mendalam. Meski mungkin kelelahan dalam mencerna diskusi, cerah sumringah tetap terlihat dari raut wajah sedulur yang hadir. Mereka sudah berupaya setidaknya menjaga konsistensinya untuk saling bersilaturahmi dalam forum Juguran Syafaat yang diselenggarakan rutin tiap bulan ini.
Verbatim : Hirdan Ikhya
Editing : Hilmy Nugraha
Fotografi : Anggi Sholih