Dalam sebuah riwayat: Konon setelah para tentara mukmin berjuang dalam perang besar dan memperoleh kemenangan, Nabi berkata : Kita telah melalui sebuah perang kecil, para sahabat kaget, padahal perang begitu dahsyat, lalu apa ada perang yang lebih besar? Nabi menjawab ada: perang melawan dirimu!.
Sesekali kita pergi ke tempat paling sunyi, paling sepi yang kira kira tidak seorang pun punya akses untuk mengetahui apa pun yang kita perbuat. Kemudian kita tes diri kita sendiri; misale dengan membawa pacar kita. Kita pastikan bahwa tidak ada candid camera, tidak ada wartawan, dan media apa pun yang memungkinkan meliput kejadian antara kita dan pacar kita.
Apa yang akan terjadi? Tidak perlu dijlentrehkan, yang jelas dalam hidup ini, selalu terjadi proses memilih dari berbagai kemungkinan dan kecenderungan dalam diri kita.
Sebagaimana disinyalir oleh Nabi, perang sesungguhnya adalah perang melawan dirimu. Apa maksudnya? Di bagian mana terjadi perang?
Manusia memang makhluk ”bipolar”, manusia bukanlah makhluk ruhani, tetapi juga bukan semata-mata makhluk jasmani. Bisa jadi jiwa manusia memang terjadi karena pertemuan antara ruh dan jasad, sehingga manusia memiliki kemungkinan akibat ”ruang antara” tersebut, karena tarikan keburukan dan dorongan kebaikan.
Hati manusia bagaikan wadah yang baik tidaknya tergantung potensi mana masuk kedalamnya. Saat potensi buruk yang lebih banyak masuk dihati, tentu yang terjadi adalah pilihan keburukan. Juga sebaliknya ketika potensi kebaikan yang masuk ke hati, maka hati mendorong ke hal hal baik. Disinilah peran akal untuk kemudian melakukan pilihan pilihan yang disodorkan oleh dua potensi tadi.
Setiap hari kita melakukan pertarungan, pertarungan meredam tarikan keburukan dan memenangakan dorongan kebaikan. Adakalanya kita keliru melakukan pilihan karena pertimbangan yang salah, saat itulah kita sebut kita berbuat khilaf. Adakalanya kita sengaja melakukan pilihan buruk dengan pertimbangan tertentu, saat itulah kita sebut kita berbuat dosa. Tidak ada orang baik, juga tidak ada orang jahat, yang ada adalah orang sedang baik, orang sedang jahat. Sebab keadaan hati memang selalu berubah-ubah tergantung ”konstelasi potensi baik dan buruk” dalam peperangan setiap dalam diri.
Saat kita terlalu melekatkan/tergantung dengan hal hal yang bersifat jasadiah saja, maka hati kita akan terisi potensi keburukan. Kita merendahkan derajat kita lebih rendah dari materi, maka saat itulah terjadi gerhana, gerhana matahati.
Mungkin untuk bisa menjelaskan istilah gerhana matahati, kita perlu menyederhanakan ”keruwetan bipolar” tadi kedalam sebuah diagram.
Akal mempunyai kemampuan memahami, mengambil hikmah. Maka manusia semestinya semakin matang dan bisa menggunakan akalnya sejalan dengan pengalaman hidupnya. Semua manusia akan lulus, yang berbeda adalah berapa semester lulusnya. Adakalanya melewati semester ”gerhana matahati” dahulu untuk kemudian mencapai semester ”purnama”.
Memaknai peristiwa gerhana dalam perspektif manusia sebagai makhluk bipolar, gambang syafaat edisi maret 2016 mencoba mengangkat tema gerhana matahati. [GS]