blank

“Li, sido pindah Bogor? Nek wis neng Bogor, langsung mrene.”
Kira-kira begitu kalimat Gandi kepada saya, saat saya mengabari bahwa saya pindah tugas ke Bogor.
Teman-teman saya di Kudus dan Semarang mengira bahwa karena saya dekat dengan Gandi, maka informasi A1 perihal Cak Nun dan Maiyah bisa saya dapatkan. Padahal Gandi sangat paham, siapa- siapa ahlul info yang pas. Dia bukanlah orang yang secara serampangan berbagi informasi yang tidak diperlukan.

Tentu saja kami ngobrol banyak hal, karena sejak saya bekerja di Bogor, saya cukup sering menemani Gandi makan mie ayam, saya sampai hafal pesanan Gandi dan tempat mie ayam andalannya.
Tema obrolan juga macam-macam, tentu saja “kalimat motivasi” dari Gandi sering saya terima. Entah, apakah Gandi tahu bahwa dia lebih muda dari saya dua tahun, mungkin dia nggak akan memakai “kalimat motivasi” jika tahu saya lebih tua. Tapi, itulah Gandi, tas-tes, sat-set, semua yang dia katakan tidak punya niatan apa-apa kecuali percakapan antar teman yang saling menumbuhkan.

Saya selalu memberikan contoh sosok Gandi dan penggiat kenduri cinta secara keseluruhan , kepada penggiat maiyah di Kudus, Tegal ataupun Semarang. Saya bilang, bedanya penggiat Kenduri Cinta dan kita adalah definisi penggiat. Penggiat bagi kita adalah para penggerak komunitas yang berkokitmen sukarela. Kita tahu dan sadar bergiat di Maiyah harus sukarela, karena tidak akan mendapatkan “barokah yang cash”, tidak bisa dijadikan portofolio untuk berkarir sebagai misalnya aktivis yang mentarget menjadi anggota dewan. Sikap sukarela menjadi inti dari definisi penggiat di beberapa simpul yang saya bersilaturohim.
Nah, penggiat di Kenduri Cinta, dan melihat sosok Gandi, saya mendefinisikan penggiat adalah sukarelawan penggerak komunitas yang berkomitmen. Jadi, komitmen menjadi inti dari definisi, tidak cuma sukarela.

Saya melihat komitmen Gandi dan penggiat Kenduri Cinta secara umum adalah energi yang mampu menjaga forum kenduri cinta menjadi forum yang mungkin Cak Nun impikan. Totalitas, tidak sekadar paruh waktu, tidak sekadar kalau pas luang. Entah bagaimana sukarelawan yang berkomitmen ini mengatur dan menjaga tanggung jawab, baik di komunitas, tempat kerja dan rumah. Inilah bedanya Gandi dan saya, meski sama-sama penggiat maiyah.
Komitmen itu adalah kunci. Sampai hari-hari terakhir Gandi, dia masih sempat WA dengan saya, menanyakan kabar. Saya tahu bahwa dia masih menjadi “penjaga komitmen” kepada para penggiat maiyah di sekelilingnya di hari-hari terakhirnya.

Gandi telah mendahului kita, tapi namamu akan kami kenang sebagai panutan, sebagai seorang sukarelawan yang berkomitmen.
“Tenang Gand, di Surga mie ayamnya boleh request tidak pakai sayur.”
Selamat jalan kawan.