Maksudnya begini: Manusia mana saja rentan mengalami fenomena yang dikenal sebagai terseret arus pemadatan diri seperti ikan dalam kolam yang airnya diobok-obok, oleh sebab istilah ini merujuk pada tekanan untuk memenuhi standar yang seringkali tidak realistis. Tekanan itu bisa datang dari luar tapi juga bisa muncul dari dalam, fenomena ini melintasi berbagai aspek kehidupan. Yang bagus tentu ikan dalam kolam yang airnya tidak diobok-obok, Kalau menenangkan, ikannya betah, kita pun yang duduk di tepi kolam juga ikut betah duduk berlama-lama menikmati ketenangan.
Begitu pula halnya ajaran agama yang menenangkan akan menuntut setiap penganutnya untuk mengamalkan ajaran keagamaannya secara menenangkan pula. Tolok ukur dari pengamalan ajaran agama yang menenangkan dapat diketahui dari seberapa jauh kemampuan seseorang mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran tersebut, keluarlah paradigma supaya memahami agama secara kaffah. Paradigma namanya, tentu disongsong sebagaimana mestinya. Seorang penyair saja perlu memahami bahasa secara kaffah, apalagi ajaran agama. Dan, apalagi seorang muslim, seperti Syaikh Nursamad Kamba itu, yang menganggap bahwa hikmah ialah kebijaksanaan dan kearifan. Maksudnya, persepsi tentang Tuhan dan penafsiran ayat-ayat-Nya haruslah bermuara kepada kebijaksanaan dan kearifan.
Maka, pemahaman dalam memaknai ajaran agama dan menangkap pesan keilahian idealnya harus secara komprehensif dan utuh sehingga ajaran tersebut memberikan dampak positif, sebagaimana wayuzakkihim wayu’allimuhumul kitaba wal hikmah, yakni mencerna pesan keilahian secara objektif dengan hati yang bersih hingga mampu mentadabburi, mendapati hikmah yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, titik puncak kesempurnaan beragama seseorang terletak pada kemampuan memahami ajaran dan menyelaminya sehingga bersikap bijaksana dan arif dalam segenap perilakunya. Di sini pentingnya memahami aspek esoteris Islam yang mengedepankan qoulan kariman, qoulan ma’rufa, qoulan maisura, qoulan layyinan, qoulan baligha dan qoulan tsaqila sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an.
Sementara Al-Qur’an dan Hadits itu bersifat umum dan global, dan terkadang normatif sehingga untuk memahami sebuah ayat seringkali memerlukan penjabaran ayat lain, metode interpretasi bahkan ijtihad para ulama. Alangkah keringnya jika pemahaman ajaran agama dimaknai secara sempit dan kaku maka dampaknya bisa jadi ekstrem dan mengerikan. Tidak sedikit yang memahami hanya sebatas legal formal dan tekstual semata, hal ini tentu berimplikasi akan adanya perbedaan yang sarat dengan klaim pembenaran. Jika Islam dipahami dengan cara mainstream, jangan-jangan memang belum atau bukan Islam yang sesungguhnya, jangan sampai jadi senjata makan tuan, bisa kapiran.
Agar seperti yang tertuang dalam dasar pedoman dari Pepakem Angaskara Basa bahwa suatu kesalahan tentu akan dinyatakan kalah dan tidak bisa dibenarkan lagi, sekalipun bertele-tele bagaikan watang dawa sinambungan atau watang cendhek tinetekan, yakni sesuatu yang tidak utuh dan sempurna akan tampak terlihat bentuk artifisialnya; manipulasinya; tipu dayanya. Manusia diminta dengan hormat mengingat-ingat bentuk kearifan dan kebijaksanaan: putarlah akal supaya tidak terseret arus pemadatan diri.
Dan, tatkala kita semua mengingat tentang kisah dari kelompok orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim Al-Najdi, seorang yang berdiri tegas memprotes Nabi Muhammad untuk berlaku adil ketika berlangsung pembagian harta rampasan perang di Ja’ronah, mereka yang merasa pendapatnya lebih baik dari Nabi hingga berani menuduh Nabi tidak adil, yang kalau rasa kesal Nabi Muhammad atas protes itu direspon oleh para sahabatnya, bisa konyol. Sahabat Umar misalnya, sampai meminta izin pada Nabi untuk memenggal batang lehernya, tentu Nabi tidak berkenan dan membiarkan kelakuan Dzul Khuwaisirah yang kelewatan itu. Kita semua tercengang, oleh sebab kelakuannya yang merasa puas terhadap pendapatnya sendiri yang andai ia diam berpikir tentu ia mengerti bahwa tidak ada pendapat yang lebih tinggi dari pendapat Nabi Muhammad. Setelah Dzul Khuwaisirah berlalu pergi, Nabi bersabda, sayakunu ba’di min ummati qaumun yaqra’unal Qur’an, wala yatajawazu halaqimahum, hum syarrul khalq wal khaliqah.
Berhubung sayakunu ba’di atau suatu hari nanti itu bisa dianggap sekarang, di zaman yang serba terbalik yang bahkan muncul terma ro’aa munkaron ma’ruufan, wa ma’ruufan munkaron yakni, yang buruk terlihat baik, yang baik terlihat buruk. Di era destruktif ini menunjukkan bahwa dalam tataran implementasi seperti dipraktikkan oleh sejumlah kelompok tertentu sebagaimana yang telah disabdakan Nabi masih terus berlangsung hingga saat ini. Masalahnya sekarang tinggallah kita, kita pun mesti bermuhasabah. Tentang apakah kita sendiri ternyata menjelma Dzul Khuwaisirah kontemporer itu, perlu kiranya kita meninjau dan mengoreksi diri. Sekedar buat bahan mengeksplorasi, tidak jarang seseorang yang secara formal mengaku sebagai penganut agama yang taat dan memahami norma-normanya, namun perilakunya bertolak belakang, justru ada orang yang tidak mengaku beragama secara formal malah memiliki moral yang lebih baik. Ringkasnya, kita sedang menempuh jalan agar supaya kita bisa sampai pada laa khawfun ‘alaihim wa laa hum yahzanuun, bahwa orang yang dekat dengan Allah pasti akan bahagia, tidak akan merasa takut dan sedih, puncaknya sampai pada keharibaan yang menenangkan. Lantas, bagaimana dengan kita yang duduk berlama-lama di tepi kolam? Bukankah selama ini kita hanya sekedar memenuhi ambisi untuk mencari ketenangan yang bersifat sementara? Maka, terus ber-Maiyah-lah.
Tentang penulis: Jamaah maiyah asal Kabupaten Cirebon, manusia peziarah yang senang menggeluti kajian sejarah.