Ia masih pemuda, 22 tahun umurnya saat tulisan pertamanya berbentuk esai yang berjudul “Perkembangan seni hanya perkembangan bentuk?” dimuat di majalah sastra Horison edisi Maret 1975. Pemuda itu bernama Emha Ainun Nadjib, jika ia kuliah maka ia semester enam kala itu. Tetapi remaja ini hanya menengok sebentar kelas Ekonomi UGM itu. Ia kembali ke kelas yang telah diikutinya yang lebih luas di trotoar Malioboro dengan perguruan tinggi bernama Persada Studi Klub. (PSK).
Entah di mana yang membentuk perkembangan wacananya tumbuh subur. Mungkin karena bapaknya yang memiliki perpustakaan, atau mungkin saat dia di Gontor bertemu buku-buku dari pengarang-pengarang mumpuni, atau mungkin saat di Yogya, di sekolah SMA nya atau bergaul pada lingkungan belajar yang memadai, atau saat di PSK, yang menyediakan ruang diskusi yang intens sehingga ia memiliki kemampuan pengucapan yang lugas.
Pada esai pertama (ini yang dapat saya lacak) yang dimuat di Majalah Sastra Horison itu bertaburan tokoh-tokoh besar dunia, juga nama-nama penyair, cerpenis, juga perupa dunia yang mahasiswa semester akhir pada masa sekarang belum tentu sudah memegang bukunya apalagi membacanya. Tahun 1970-an tidak sudah mendapatkan bacaan itu apalagi yang berbahasa Indonesia.
Pada esai yang ditulis di Yogya pada tahun 1972 dan baru dimuat pada tahun 1975 ini bertaburan nama-nama seperti Farau, Hitler, hingga Mussolini menunjukkan penguasaan wawasan pemuda ini. Ia sebut sastrawan sekelas Shakespeare, Albert Camus, Anton Chekov, hingga Kawabata. Ia juga menyebut penulis cerpen sekelas Edgar Allan Poe, dll. Ia juga sebut para penyair semacam Robert Frost, Rainer Maria Rilke. Masih banyak nama yang ia sebut dari berbagai bidang seni yang saya sendiri pada tahun 2022 ini baru mengetahuinya dari membaca esainya itu. Pengarang Indonesia ia sebut H.B. Yasin, Rendra, Budi Darma, Taufik Ismail, dll.
Saya angkat tangan. Saya menyerah. Saya akui kalah bacaan jauh. Jadi saat kita sering mendengar di banyak kesempatan beliau tidak membaca apa-apa selain Al Quran, maka saya tidak percaya. Saya tidak menuduh beliau bohong, tapi menurut pandangan saya, menurutnya segala yang di abaca adalah ayat Allah yang keluar dari pemikiran para pengarang. Bukankah Allah mengejawantah pada semua makhluknya?
Disampaikan berbagai pandangan dalam esai itu, seperti pandangan tentang materi seni yang cenderung tidak berubah. Materi seni berkisar tentang cinta kasih, kebencian, nostalgia, kerinduan, dll. Perkembangan seni terletak pada sejauh mana penggarapan para pekerja seni terhadap objek. Lalu pemuda Jombang yang menetap di Yogya ini mengutip yang disampaikan oleh Budi Darma, “Mengapa orang tak berhasil mengungkapkan isi dengan bentuk yang semula, karena bentuk hanyalah milik pengarang sendiri.” Bentuk adalah personal milik pencipta, sedangkan isi adalah belum tentu personal. Isi bisa ditemukan pada karya-karya seniman sebelumnya tetapi yang menjadi beda adalah cara pengungkapan, gaya yang menjadi nilai. Karena inilah maka ada pendapat bahwa perkembangan seni hanyalah perkembangan bentuk. Apa yang dilakukan oleh Chairil Anwar hanyalah pendobrakan bentuk, juga dalam seni lukis berkisar pada bagaimana pelukis menyampaikan idenya mulai dari realisme sampai abstrak.
Dalam artikel itu, Mbah Nun menyangkal sinyalemen itu. Ia berpendapat isi juga berkembang. Isi berkembang karena impresi pengalaman pengarang. Pandangan seorang pengarang tentang ketuhanan tidak parallel dari saat dia muda sampai tua. Dia bergerak menurut pengalaman yang dialaminya.
Pengalaman, keadaan sosial yang melingkupi seniman. Di mana pengarang berada, kemudian di berpikir, menanggapi dan bersikap sampai pada kesimpulan atas keadaan yang melingkupinya inilah yang disebut dengan isi. Jadi isi dalam seni juga mengalami perkembangan dari kesimpulan atas pengalaman sosiologis, psikologis, individu, spiritual. Begitu tangkapan saya atas esai Mbah Nun yang ditulis pada usianya yang sembilan belas tahun dan dimuat saat usianya dua puluh dua tahun. Agar mendapatkan gambaran yang utuh lebih baik Anda membaca tulisan aslinya.