Mbah Nun adalah penulis yang handal, hal itu tidak bisa kita pungkiri. Sampai sekarang menulis masih beliau lakukan. Tapi perlu kita tahu, terutama generasi yang lahir setelah tahun 2000, Mbah Nun memenuhi surat kabar pada tahun 80-90-an akhir saat koran dan majalah menjadi media arus utama. Wajah beliau muncul di majalah-majalah, esai dan puisi beliau selalu ditunggu pembaca. Mbah Nun fasih mengartikulasikan gagasannya melalui tulisan. Sebagaian tulisan bisa kita baca lagi melalui buku-bukunya. Video pendek beliau muncul di tv-tv nasional. Tidak heran jika banyak orang yang menoleh kepadanya. Mereka bertanya-tanya bagaimanakah cara kerja Mbah Nun sehingga bisa seproduktif itu.
Tulisan ini hendak menyampaikan pengakuan seorang penulis buku Mengikat Makna bernama Hernowo, penulis banyak buku yang telah meninggal pada tahun 2018 lalu. Pada sebuah pengantar buku Menulis dengan Emosi-Carmel Bird, Hernowo menyampaikan bahwa dirinya dulu sering mampir ke komunitas 40-an, di Yogyakarta. “Saya belajar banyak hal lewat komunitas patangpuluhan, komunitas Cak Nun yang energik dan kreatif.”
Mbah Nun bercerita kepada Hernowo, waktu itu Mbah Nun sedang mengarap buku Islam sehari-hari. “Cak Nun bercerita kepada saya bahwa untuk mengalirkan ide, dia harus mengetik di lembaran-lembaran kertas HVS yang warna-warni. Waktu saya diceritai Cak Nun ihwal kertas itu, saya belum ngeh bener maksudnya apa. Saya hanya senyum-senyum saja sambil percaya bahwa itulah kiat ampuh seorang penulis.”
Waktu itu Hernowo mengira kertas itu berfungsi agar tidak mengalami kebosanan. Tetapi seiringnya waktu berjalan Hernowo baru sadar bahwa kertas warna-warni itu membuat emosi kita berwarna, kaya raya, dan siap meluncurkan ide-ide yang tidak satu. “Kertas warna-warni-biru, kuning, pink, dan putih – mampu menggairahkan emosi kita (terutama para penulis) dalam mengungkapkan perasaannya.