Bulan Ramadhan yang keindahannya tidak perlu diperdebatkan lagi, memberi keistimewaan dan mengubah kondisi kehidupan masyarakat. Tradisi yang mendarah daging bagi setiap insan manusia di bumi pertiwi. Mulai dari keramaian surau-surau, langgar-langgar, masjid-masjid, dan mushola-mushola di manapun berada. Hiruk pikuk sama-sama sibuk mempersiapan berbuka puasa, tadarush bersama dan ibadah berjamaah tentu sudah menjadi hal yang lumrah tetapi indah. Dalam keindahan ramadhan itu ada pula yang menyeka air mata karena mungkin saudaranya sedang dilanda duka maupun ujian dari Allah yang maha sempurna. Namu dari semua yang ada, memang Ramadhan punya cerita yang berbeda dan istimewa bagi mereka yang beriman pribadinya.
Pribadi yang beriman tentu akan semakin berusaha melatih dirinya untuk selalu mendekat kepada Rabbnya. Karena Ramadhan memang istimewa. Istimewa bulannya, istimewa nuansanya, serta istimewa apapun dalam segala hal yang menyelimutinya. Beda dari biasa-biasanya. Jalanan yang lengang menjadi ramai lalu lalang orang. Kendaraan berpacu lebih cepat dari biasanya. Lebih-lebih ketika sudah mendekati Hari Raya. Semua serba berbinar, ramadhan perlahan berpendar untuk berubah suasananya.
Kota-kota yang tanpa tidur setiap harinya kini mulai mengantuk ketika Ramadhan mulai masuk pada tanggal tua. Semua bersiap untuk sejenak bisa menguap dan merebahkan badan menuju desa tanah kelahirannya. Kembali ke udik, merajut rasa saudara antara kakak dan adik, antara paman dan handai taulan, antara saudara dekat dan saudara agak dekat serta tetangga dekat dan tetangga agak dekat juga tetangga yang tidak dekat. Semua menanti perubahan suasana yang berbeda. Ketika dulu jauh dikota kini semua menunggu untuk bertemu dan bertegur sapa. Menuju Ramadhan tanggal tua memang semua serba berbeda.
Tentang dinamika Ramadhan menuju lebaran mari kita nikmati saja prosesnya. Semua kita syukuri dengan hati yang selalu beristighfar. Kenapa kok istighfar? Kok tidak tasbih atau tahmid? Apa keliru nulisnya? Apa lupa mau nulis apa? Tentu tidak demikian. Menggunakan istighfar rasanya lebih pas. Karena dalam persiapan ramadhan berganti lebaran hati kita di jalanan mungkin kurang sabar. Perjalanan kita mungkin mengganggu pengguna jalan yang lainnya. Sikap kita ketika berbelanja mungkin congkak, anggak, dan ladak. Kita tidak menyadari itu sebagai sesuatu yang pantas untuk di istighfari.
Sesampainya tiba pada hari raya busana-busana yang indah dipandang mata menjadi sayatan bagi hamba sahaya dan saudara-saudara yang dhuafa’. Kita berlenggang bagai pragawati dijalanan, mengendarai kendaraan yang rodanya berjumlah lebih dari tiga. Sesampainya dirumah saudara dan tetangga, kadang silaturrahmi berubah skenarionya menjadi ajang berbangga-bangga. Menceritakan kesuksesan yang seakan tanpa jeda, memamerkan gaji serta hasil bekerja dengan sikap yang merasa penuh wibawa.
Terlena dengan nuansa hari raya yang semua serba dimaafkan, kita kadang terjebak pada suasana yang menyayat hati beberapa orang atau saudara. Pertanyaan-pertanyaan yang dirasa sangat berat dijawab, tak peduli kadang meluncur dari mulut begitu saja. Diantara contohnya kami mencoba menuliskannya. 1) Sudah punya anak apa belum? Nikah sudah lama kok belum juga punya anak! 2) Kerja apa nganggur di rumah? Ini lo anak saya sekarang sudah kerja gajinya luar biasa! 3) Sudah nikah belum?loh masak calonnya belun ada? Ntar lama-lama tua gak laku lho! Dst.
Belum selesai pertanyaan berbalas jawaban sudah ditimpali dengan cacian. Bagi saudara-saudara kita yang terganggu hatinya tentu tidak mudah berada pada suasana hari raya seperti itu. Rasanya ingin kabur untuk sekedar menghibur diri yang ingin sendiri. Pertanyaan bagai pedang yang menyayat tanpa memberi kesempatan untuk memberi jawaban.
Tetapi bagi para jamaah maiyah hal tersebut sudah tentu menjadi sesuatu yang lumrah. Karena jamaah maiyah memang istimewa. Pertanyaan-pertanyaan dihari raya yang mengandung kesombongan dan mengarah cacian hanya ditanggapi dengan tertawa. Tak mempan disombongi apalagi dicaci. Kabar dijawab dengan kabar. Pertanyaan mengandung cacian dijawab dengan kejenakan. Dan masih banyak lagi yang lainya tanpa terduga. Karena memang para jamaah maiyah punya cara dan memandang semua dengan sudut yang sangat berbeda.
Disisi lain, jamaah maiyah harus mampu menyelamatkan saudaranya ataupun siapapun untuk tidak berada pada suasana yang bertolak belakang dari hikmah dan keindahan Idul Fitri. Kita harus mampu menjadi pembeda, perdam dan penyejuk dalam setiap suasana manusia yang mulai naik kesombongannya. Mulai congkak tingkahnya, dengan memanfaatkan dan membajak hari raya idul fitri untuk membanggakan diri.
Dengan begitu Ramadhan-Lebaran terjaga suasananya. Semakin indah nuansanya. Dikarenakan jamaah maiyah menyejukkan dan memberi warna yang berbeda. Serta tidak kaku dari yang biasanya. Jamaah maiyah ada dimana-mana, tidak kabur dan selalu bersyukur disertai tafakur.