Manusia yakin dengan dialektika hidup yang seakan buntu, sampai ke ujung cakrawala, ke langit ketujuh bahkan sampai terbitnya matahari, karena ada bekal ridho dalam hatinya, itu justru berasal dari sebuah proses yang kumuh dan sebuah ketidakadilan yang panjang dan selalu menimpa dalam hidupnya.
Ada terminologi di maiyah yaitu ada tiga langit yang bisa ditempuh manusia. Langit pertama yaitu harapan, bisa bersifat lemah, halusinasi, angan-angan, dan juga mimpi. Jika harapan itu kita kerjakan dengan kerja keras, akan sampai pada langit yang ke dua yaitu dengan bentuk apapun yang kita merasa bahwa semua sudah kita lakukan dengan kerja keras dan itu akan menjadi sebuah keyakinan bahwa ini akan bermanfaat bagi semua orang. Mungkin bisa jadi keyakinan itu kurang tepat sehingga harapanpun sirna dan tidak sampai pada langit ke tiga yaitu langit kepastian. Ini menitikberatkan bahwa kepastian bukan wilayahnya manusia dan alangkah baiknya kita tidak meloncat ke wilayah kepastian. Pesan mbah Nun adalah “manusia tidak bisa memastikan apapun dalam hidup ini, karena langit kepastian hanya milik Allah dan otoritas kekuasaan Allah”.
Ini bisa menjadi kacamata pandang kita bahwa nafsu dunia, harapan, keyakinan yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan jika kerja keras dan istiqomah dilaksanakan secara penuh ridho. Tapi dalam hal ini juga harus ada kuda-kuda dalam diri kita dengan segala daya tarik itu bisa membawa ke dalam jurang keputusasaan kalau hati kita lalai dan sudah memastikannya.
Dari aransemen itu bisa kita lihat “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan (kehidupan) itu, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami,” (Q.S Yunus: 7).
Memang manusia mengembangkan ilmu dengan akalnya sampai ke tahap-tahap yang menggiurkan dan mengagumkan sendiri. Namun, sesungguhnya skala prioritas manusia keliru.