Semula, Emha Ainun Nadjib itu esai. Bandung M membaca esai-esai dari lelaki sangar itu saat SMA. Episode Bandung M ingin menjadi “kalem”, setelah melu pengajian ben islami dan setahun nakal tak keruan. Di SMP, ia ikut komunitas sregep memikirkan agama. Pada suatu hari, Bandung M kesel. Eh, saat busana berubah menjadi abu-abu dan putih, ia malah mbengkaleng. Uripe mung udad-udud, leklekan, golek welut, mbolos, mblandhangke duit SPP, remi dodokan, dan lain-lain. Remuk! Ia berubah menjadi lelaki keparat dan sekarat. Sekolah berantakan masih belum dalih bertobat dan menempuhi jalan Tuhan dengan iman dadakan. Terjatuhlah ia ke bacaan! Gladak (Solo), “tempat ibadah” mengubah hari-hari buruk menjadi kecengengan dan tawa. Ia membaca novel-novel cengeng Hamka. Bandung M pun mulai bertemu buku-buku Emha Ainun Nadjib. Oh, esai-esai meningkatkan iman dan takwa, meningkatkan tawa dan senang. Resmilah ia menggemari Emha Ainun Nadjib: esail, puisi, cerita pendek, dan lagu.
Emha Ainun Nadjib itu tulisan dan buku. Keranjingan! Tuhan mungkin “menugasi” Emha Ainun Nadjib sebagai penulis sampai mati. Pada saat masih muda, Emha Ainun Nadjib ganteng asal tanpa kumis. Di majalah-majalah lama, muncul foto berkumis dan tanpa kumis. Kita memilih ia tanpa kumis dengan rambut gondrong. Apa dulu ia lelaki idaman sejutan wanita? Pinter menulis dan sregep membaca biasane senang membual. Ah, anggap saja ia pembual tapi beriman dan bertakwa. Di Tempo, 1 Januari 1983, Emha Ainun Nadjib menulis kolom berjudul “Belajar Ngomong Tidak”. Ngagetke untuk dibaca di masa sekarang. Membaca dengan ngempet tawa: “Tuhan, mbok ya saya itu Panjenengan ajari bagaimana bisa ngomong ‘tidak’. ‘Tidak’ yang biasa-biasa saja deh, nggak usah yang pakai tanda seru atau tanda penthung. Soalnya yang gagah kan cuma Panjenengan, buat apa saya ‘nyeru-nyeru’ atau ‘menthung-menthung’. Hanya Panjenengan-lah Yang Maha Tanda Seru. Karena itu saya ingin berguru. Toh tak akan jadi berkurang atau lebih ilmu-Mu.” Tulisan tentang ilmu “tidak” atau “mboten”. Oh, dulu masa itu terlalu lama dengan “nggih”.
Pada edisi awal tahun, Emha Ainun Nadjib tak cuma mengajarkan “mboten”. Di Tempo, pembaca mendapat dua kolom Emha Ainun Nadjib. Wah, masa itu Emha Ainun Nadjib sedang digandrungi pembaca di majalah apa saja. Ia menulis tak cuma untuk Tempo. Eh, ia memberi dua kolom dalam satu edisi. Sangar! Kolom kedua berjudul “Goyang Kiai Sekati”. Ia mengomentari acara-acara berahi dan tampilan-tampilan membangkitkan nafsu di sekian tempat. Emha menulis: “Ayolah jangan bimbang dan ragu. Tak perlu hemat dengan nilai atau badan. Kita tuntaskah kenikmatan sampai habis. Sampai kemanusiaan kita bangkrut. Cuma, kalau ada orang yang absen, saya ikut. Saya memang ada keperluan lain, yang tak kalah menggairahkan.” Begitu.