Seorang pemuda bernama Afandi (22) menjadi sorotan di Gambang Syafaat (GS) pada edisi 25 Januari 2020. Bukan hanya asalnya yang sangat jauh, Lamongan, melainkan juga dia mengajak ibunya yang sudah menginjak 60 tahun menghadiri acara Maiyahan di GS. Ibu dan anak itu rela menempuh perjalanan jauh demi ikut Maiyahan di Masjid Baiturrahman, Semarang. Afandi berbagi cerita cukup banyak tentang pengalaman menjadi jamaah Maiyah kepada Mbah Nun dan jamaah yang hadir malam itu..
Afandi mengungkapkan, pertemuan pertamanya dengan Mbah Nun terjadi saat 2016 ketika sedang belajar di pondok pesantren. Kemudian tahun 2019 ketika lulus, dia mulai mengenal dan ikut hadir dalam Maiyahan di Lamongan (Semesta Maiyah). Pria muda ini juga beberapa kali hadir Maiyahan di Surabaya dan Jombang. Menurutnya, hanya pengajian di Maiyah yang membuatnya merasa dihargai seperti manusia. Tanpa harus memiliki jabatan atau status penting lain. Ber-Maiyah dijadikan jalan untuk menemukan kesejatian hidup agar bisa bermanfaat untuk orang lain.
Curah hujan yang tinggi malam itu tidak menurunkan antusias jamaah untuk menimba ilmu. Jamaah memenuhi area parkir masjid. Ada beberapa jamaah yang nekad basah terkena guyuran hujan. Mungkin bagi mereka hujan tidak terasa jika sudah mendengarkan para narasumber menyampaikan sesuatu. Suasana cukup syahdu dengan kehadiran Swaranabiya yang membawakan beberapa judul lagu di antaranya; ‘Yang Berhasrat Meminangmu Kekasihku’ dan ‘Ibu adalah Laut’. Dipadukan dengan lagu-lagu khas Wakijo lan Sedhulur. Komposisi sempurna untuk mengawali kehangatan malam.
Sakau Kuasa menjadi tema yang dibahas. Sebagian besar orang sangat familier dengan kata sakau. Sering diartikan sebagai kecanduan dan selalu berdampingan dengan makna negatif. Sakau narkoba, sakau minuman keras dan sakau lainnya. Pernahkah lewat di telinga tentang istilah sakau kuasa? Bagaimana seseorang bisa sakau kuasa?
Di bagian mukadimah, Pak Hajir menjelaskan perbedaan candu dan sakau. Jika candu dianggap sebagai keinginan berlebihan seseorang untuk merasakan/mendapatkan/menikmati sesuatu yang ada. Sakau dinilai sebagai keinginan seseorang untuk medapatkan sesuatu yang jika tidak ada akan berakibat fatal bagi dirinya. Kita bisa melihat cerita orang-orang sakau atas benda-benda yang tidak baik seperti narkoba. Orang sakau yang tidak mendapatkan apa yang diinginkannya akan terasa berat/sakit bahkan bisa depresi.
Gus Aniq berkesempatan menjadi pemantik awal. Banyak orang berlomba-lomba untuk saling mengakui kebenaran atas ilmunya masing-masing. Merasa paling pandai, paling hebat dan paling benar. Sejatinya ilmu lahir dari realitas Allah. Tidak ada ilmu yang datang dari selain Allah. Menyinggung kata kuasa. Beberapa gelintir orang mulai ‘bermain’ mengubah makna konotasi sebuah kata menjadi makna denotasi. Sedikit pengetahuan bahwa denotasi artinya makna sebenarnya dan konotasi merupakan makna subjektif atau singkatnya bukan makna sesungguhnya. Penguasa-penguasa lalim di negeri kita sering mengubah makna kuasa sebagai jalan untuk memutlakkan sesuatu. Pemahaman orang atas sesuatu boleh berbeda, misalnya tentang Allah. Gus Aniq memberi pancingan pertanyaan, “Allah itu Tuhan yang Anda definisikan atau Tuhan yang Anda ciptakan atau produk yang Anda imajinasikan?”
Jamaah menjawab sesuai pengalaman dan pengetahuannya. Tidak ada yang salah. Semua jawaban benar. Beliau menambahkan jika jamaah harus selalu mencari penegasan epistemologis terhadap sesuatu. Dalam Bahasa Yunani dianggap sebagai cabang ilmu filsafat untuk mengetahui asal mula/sumber, metode, struktur dan sahnya pengetahuan. Jika jamaah terbiasa mencari makna sesuatu lebih mendalam maka tidak akan mudah terjebak pada kata. Tidak mudah menyalahkan pendapat orang lain. Era moderen sekarang, kuasa bisa berbentuk banyak hal. Kuasa pengetahuan misalnya, orang kuliah dianggap lebih mendapatkan penilaian baik dibandingkan mereka yang tidak kuliah. Penilaian sepihak yang tidak adil. Kesadaran untuk merasa tidak mampu bisa menjadi alternatif jamaah agar tidak merasa paling hebat yang dikhawatirkan berujung sombong.
Mas Agus dari majlis maiyah Gugur Gunung ikut memberikan penjabaran tentang tema. Sakau kuasa seolah hanya dimiliki oleh makhluk dalam hal ini manusia. Kita lupa bahwa Allah memiliki banyak kuasa tanpa sakau. Beliau menjelaskan jika manusia juga memiliki kuasa untuk menakhlukan empat elemen atau unsur (api, angin, air dan tanah) yang ada di dalam dirinya. Empat unsur tersebut bukan tunduk pada manusia melainkan pada Allah. Kuasa dalam Bahasa Jawa disebut, kawasesan yang bermakna; kekuatan, kejayaan dan keselamatan. Jangan terjebak pada kata/ ukara. Orang Jawa bisa berkaca pada peninggalan leluhur; aksara Jawa yang memiliki makna luas berkaitan dengan kuasa. Manusia hanya berkuasa pada sedikit hal dan hanya Allah yang Maha Kuasa. Kita harus tepat meletakkan akhlak pada tempatnya dalam rangka mengawal kekuasaan.
Mas Helmi menilai bahwa ekologis yang ada dalam Gambang Syafaat semakin kuat. Pendapat tersebut dilandasi oleh tercapainya beberapa indikator yang menunjukkan sinergitas antara para pegiat, jamaah dan narasumber. Kemesraan yang terjalin antara para jamaah menjadi point penting. Kerelaan jamaah untuk kedinginan karena terpaan angin dan hujan demi bertahan di area Masjid Baiturrahman menjadi bukti nyata betapa asyiknya jamaah menikmati kegiatan bermaiyah. Mereka secara ikhlas duduk berjam-jam sampai dini hari. Jamaah juga berkontribusi aktif atas pelaksanaan kegiatan di GS. Membeli produk-produk ‘Mbah Gambang’ menjadi salah satu bentuk dukungan kongkrit jamaah. Selain itu jamaah juga tidak sungkan memberikan bantuan langsung berupa uang shodaqah, tenaga serta pemikiran untuk keterlaksanaan kegiatan GS agar lebih baik lagi. Bentuk kepedulian jamaah bukan retorika melainkan ketulusan nyata yang datangnya dari dalam lubuk hati terdalam.
Dalam kesempatan tersebut, Mas Helmi mengulang beberapa hal yang sudah didapatkan dalam maiyah di antaranya; 1. Perspektif tentang bagaimana menilai dan memilih apa yang berlaku di dunia dengan pendekatan altruism (empati, kerelaan untuk memberikan apa yang dimiliki kepada orang lain) dan selfish (egoisme/keserakahan untuk diri sendiri). 2. Pentingnya memahami agama atau sesuatu dengan pendekatan yang bisa disebut, ‘mengenali ayat-ayat yang tidak difirmankan’. Mencari apa yang tidak tampak di depan mata. 3. Muroja’ah. Mempelajari atau menimbang kembali apa yang telah dipahami tentang sesuatu kejadian/pandangan/perspektif. Mencari yang kurang pas sehingga nantinya perlu pengembangan yang lebih jauh lagi. 4. Pandangan baru mengenai iman. Tidak hanya bagaimana kita percaya pada Allah namun mencari cara bagaimana agar Allah bisa percaya pada kita, 5. Dunia sekuler berjalan dengan sistem kompetensi. Sementara ada hal yang jauh lebih penting yaitu kebermanfaatan. Semakin besar kebermanfaatn seseorang maka semakin bagus. Seseorang yang memiliki kompetensi baik tidak selamanya memiliki tingkat kebermanfaatan yang tinggi. 6. Metode pembelajaran Mbah Nun di maiyah penuh dengan pendekatan simulatif. Banyak hal yang diungkapkan/dipelajari kemudian disimulasikan, termasuk pemahaman terhadap sebuah ayat tertentu. Pancingan-pancingan tersebut diharapkan mampu untuk menjadi bahan agar jamaah menggali lebih dalam lagi. Baik melalui Mbah Nun atau marja’ lain yang hadir.
Mengawali perjumpaan dengan jamah, Mbah Nun melakukan flashback terhadap pengalamannya saat masih aktif di dunia teater. Ada pedoman ‘tiga T’ yang dipegang para pemain teater yaitu; tepuk, tawa dan tangis. Beliau kemudian bertanya pada jamaah, “Hidupmu sekarang ini selama satu bulan terakhir, banyak tangis atau tawanya? Banyak mana? Prosentasenya berapa?”
Mayoritas jamaah menjawab, “Banyak tangis!”
Berdasarkan jajak pendapat tersebut, Mbah Nun mulai membangun konsep muroja’ah. Menimbang kembali apa yang sudah terjadi agar bisa mengambil keputusan yang tepat ke depannya. Ada jamaah yang mempermasalahkan sulitnya mencari jodoh, terlilit hutang dan keprihatinan terhadap keadaan negara Indonesia. Mbah Nun mengajak jamaah untuk berpikir ke belakang dan mencari sumber inti permasalahannya dengan konsep sebab-akibat. Misalnya jamaah yang terlilit hutang.
Kenapa berhutang? Salah spekulasi.
Kenapa bisa salah spekulasi? Salah rumus.
Kenapa rumusnya bisa salah? Kurangnya pengetahuan tentang ilmu bisnis/benda yang dijual.
Dari interaksi tersebut, simbah memberikan pertanyaan terakhir, “Berarti apa yang harus dikembangkan sekarang? Mencari pinjaman nomor satu atau memperbaiki kemarin yang membuat kamu keliru?”
“Memperbaiki apa yang keliru, Mbah,” jawab jamaah tersebut.
Seseorang tidak akan pernah besok kalau tidak tahu kemarin. Kita tidak akan pernah sampai tiga kalau tidak dari dua. Tidak akan tahu akhirat kalau tidak tahu dunia. Jika tertipu dunia maka akan tertipu akhirat.
Mbah Nun kembali mengangkat teori yang diutarakan Mas Sabrang di mana manusia memiliki empat pandangan; 1. Deklaratif, lombok itu pedas, garam itu asin dan gula itu manis. 2. Kumulatif, gula itu manis tapi ada lagi yang manis yaitu mangga, madu dan tebu. 3. Serial, Tidak harus memakai gula untuk mendapatkan manis. Jika begini maka begitu. Contohnya ketika di warung membeli kopi, kita tidak perlu mengatakan manis untuk mendapatkan gula. Penjual akan secara otomatis memberikan gula pada kopi yang disajikan. Lain cerita jika kita memang tidak menginginkan gula, maka harus bilang tidak pakai gula. 4. Paralel, ada banyak macam dalam satu jalan yang sama. Misalkan ketika seseorang membaca sebuah ayat, maka dia juga harus membaca dan tahu ayat yang lain. Dalam ayat, ud’uni astajib lakum. Di mana Allah menyuruh manusia untuk berdoa dan Dia akan mengabulkan. Faktanya tidak semua doa bisa dikabulkan dengan cepat bahkan ada doa yang tidak dikabulkan. Maka kita harus mencari ayat lain untuk mengetahui kenapa sebuah doa tidak dikabulkan. Seseorang harus punya simulasi paralel-paralelnya. Kenapa perintah Allah untuk memanggil seseorang ke dalam islam memakai metode bil-hikmah bukan bil-khaq, bil-syariah, bil-ilmi atau yang lain?
Tidak berhenti di situ, Mbah Nun kembali melakukan simulasi agar jamaah paham secara detail sesuatu yang ada di belakang dan di depannya. “Kamu harus belajar di depan dan belakag. Aku minta satu atau dua kata paling banyak. Misalnya lesu, depannya?”
“Makan.,”
“Ngantuk.,”
“Tidur.,”
“Mimpi.,” jawab jamaah secara bergantian.
Ada juga jamaah jahil yang menambahkan, “Basah.,”
Ditutup dengan guyonan Mbah Nun, “keramas!’
Semua jamaah tertawa kompak.
Jawaban jamaah menunjukkan ritme atau satuan langkah seseorang ke depan. Bisa 1, 2, 3, langsung 10. Bisa juga 1,0; 1,01; 1,02; dan seterusnya. Semakin detail maka semakin lembut pemikiran seseorang. Mbah Nun juga kembali mempertegas pengantar yang disampaikan Mas Helmi. Jamaah maiyah diminta untuk melihat dan memikirkan apa yang tidak dipikirkan orang lain.
Mbah Nun juga mengajak jamaah agar berpikir secara rangkaian. Saat seseorang melihat hidung maka seharusnya dia juga harus ingat pipi, mata, dan mulut. Malam yang indah dan pertemuan yang penuh dengan ilmu bermanfaat. Simulasi demi simulasi berpikir diberikan Mbah Nun agar jamaah terbiasa berpikir secara rangkaian dan nantinya bisa mengambil keputusan terbaik dalam hidup. Gambang Syafaat edisi Januari ini juga dihadiri oleh Pak Ilyas dan Toto Rahardjo (Kiai Tohar). Pertemuan diakhiri dengan doa bersama oleh Gus Aniq.