”Tolong Anda catat, dari 30 buku yang saya buat, yang saya dapatkan royaltinya cuma 3-4 buku. Selebihnya wallahualam,” kata Cak Nun kepada si wartawan yang menanyainya soal pendapatannya dari royalti buku-buku yang ia tulis. Secara hitungan wajar, Cak Nun bisa menjadi orang kaya raya hanya dengan menikmati hasil penjualan bukunya. Setiap judul bukunya selalu terjual ribuan ekslempar. Markesot Bertutur (1993) terjual 15.000. Markesot Berutur Lagi (1994) terjual 12.000. Dari Pojok Sejarah (1986) terjual 10.000. Suluk Pesisiran (1989) terjual 7000. Seribu Masjid (1990) terjual 16.000. Secangkir Kopi (1992) terjual 15.000.
Informasi penjualan buku sering menjadi sasaran pertanyaan para wartawan. Tidak terkecuali wartawan Gatra yang sedang mewawancari Cak Nun di edisi ini. Pada edisi November 1995, majalah Gatra menerbitkan suplemen InfoBuku. Cak Nun menjadi tokoh pertama yang dikorek informasi tentang buku-buku yang ia tulis dan kisaran honor royalti yang didapatkannya. Sepertinya, urusan isi dompet si penulis yang bukunya laris mesti diketahui oleh publik. Tetapi, penulis di Indonesia yang karyanya kerap laris dibeli sering meratap kalau bicara urusan honor. Penerbit sering bertingkah parasit. Memeras daya kreativitas penulis tetapi tidak mau menghargai tenaganya. Yang sering terjadi hubungan antara penulis dan penerbit timpang. Penulis sering menjadi korban dari relasi bisnis dagang yang tidak adil. Sebagai seorang penulis esai, puisi, prosa yang produktif, Cak Nun juga pernah mendapatkan perlakuan demikian. Beruntung beliau mau legowo, mengikhlaskan rezekinya dikemplang penerbit-penerbit yang tidak bertanggungjawab.
Namun, dari sekian penerbit yang mengemplang honor tulisan Cak Nun. Penerbit Mizan bisa disebut menjadi penerbit yang tertib melaporkan hasil penjualan dan membayar royalti. Menurut Hernowo—editor Buku Utama Penerbit Mizan saat itu—mengatakan hubungan Mizan dengan Cak Nun adalah hubungan sejarah. Mizan menjadi penerbit pertama yang menerbitkan karya Cak Nun. Tentu saat awal-awal menerbitkan bukunya Cak Nun, Mizan tidak langsung merasakan larisnya buku Cak Nun. Dari Pojok Sejarah buku pertama Cak Nun yang diterbitkan Mizan tidak langsung diburu pembaca. Perburuan buku-buku Cak Nun semakin masif setelah kelarisan buku Slilit Sang Kiai yang diterbitkan Pustama Utama Grafiti. Setelah Slilit Sang Kiai laris, baru buku-buku yang lain ikutan laris.
Cak Nun sendiri enggan menganggap penulis sebagai profesinya. Beliau sudah memasang kuda-kuda tidak mau menggantungkan diri dari menulis. Sebab, kata Cak Nun, jika sewaktu-waktu beliau dilarang menulis, beliau tidak khawatir. Di halaman biodata penulis, Cak Nun kerap menyampaikan,”menulis bukanlah untuk menempuh karier sebagai penulis, melainkan untuk keperluan-keperluan sosial.” Menulis menjadi kewajiban untuk memenuhi tanggung jawab sosial. Dalil ini membuat Cak Nun tidak merasa rugi atau dirugikan jika tulisan-tulisannya yang tampil di media massa tidak diganjar honor yang pantas. Beliau sudah memenuhi kewajibannya sebagai penulis. Urusan media massa tidak memenuhi haknya, kata Cak Nun, biar menjadi urusan Allah.
Meski kerap kali dipermainkan oleh sistem kerjasama yang tidak adil. Toh, itu tidak mengurangi keproduktifan Cak Nun dalam menulis. Ada tiga macam motivasi yang membuat Cak Nun menulis. Pertama, karena diminta oleh media massa tentang suatu tema tertentu. Kedua, karena ada realitas di dalam masyarakat yang urgen untuk direfleksikan, diantisipasi. Ketiga, kadang-kadang memang secara pribadi ada keinginan untuk menulis.
Barangkali hanya tiga alasan itu saja kita bisa tahu mengapa Cak Nun produktif sekali melahirkan tulisan. Dan tiga alasan itu sama sekali tidak menyinggung pamrih materi berupa honor atau royalti. Pantas saja di laporan edisi ini, dari semua pernyataan Cak Nun, Gatra hanya mengutip ”Semua Honor Buku Saya Sumbangkan” sebagai judul. Pilihan yang tepat!