/1
Orang tidak mungkin menjalani hidup enak terus, tercapai selalu harapan dan cita-citanya. Juga rasa-rasanya sesusah-susahnya orang, tidak mungkin tidak pernah merasakan kesenangan. Bahwa yang berbeda adalah setiap orang punya kesenangan dan kesusahan masing-masing. Anak zaman now tidak dibalas WA pasangannya dalam hitungan jam, mungkin bisa bunuh diri. Orang dulu, tidak ketemu pasangannya berbulan bulan, tetap tegar dan tangguh.
Sudah menjadi tabiat hati, ia rentan. Dia labil. Suasana hati bisa berubah-ubah, bolak-balik dalam waktu yang singkat. Berubah-ubahnya hati bisa beralasan, bisa juga tanpa sebab yang jelas. Tentu, pada umumnya saat kondisi tertekan, fisik lelah, capaian-capaian meleset, hati menjadi nglokro, dan down. Orang yang berharap kepada negara dengan kesungguhan pengharapan, kemudian tidak mendapatkannya, bisa saja ngamuk atas kerapuhan hatinya.
Maka, atas dasar pemahaman bahwa hati memang “rapuh” dan sangat mungkin nglokro, seyogyanya harus ada sandaran hati. Sandaran hati sebagai benteng terakhir tatkala hati sepi, gundah, dst. Anda boleh saja menyandarkannya pada apa saja yang menurut Anda bisa menjadi penawarnya. Pilihan sandaran hati, menentukan sikap mental dalam menghadapi gebyar kehidupan yang terkadang menguras emosi.
/2
Hati adalah sesuatu yang tersembunyi. Kau tidak akan mengetahui, jika si pemilik hati tidak mengatakannya. Ada juga ungkapan, lain di mata lain di hati. Apa yang tampak tidak sesuai dengan yang di dalam. Itulah mengapa kemarin sebelum melakukan ibadah nyoblos kita dianjurkan untuk berdoa oleh Mbah Nun: “Wahai Allah di tangan Engkaulah segala kebaikan. Ya Tuhanku tempatkanlah aku pada tempat yang berarti. Dan Engkaulah sebaik-baiknya yang memberi tempat. Dia mengetahui mata yang khianat dan apa yang disembunyikan dalam hati.”
Ketika memilih dan berikhtiar mencari kemudian menetapkan pilihan, maka bersamaan dengan itu adalah menyerahkan kepada Allah. Allah yang mampu melihat yang tersembunyi di dalam hati. Karena diri kita lemah, penglihatan kita terbatas, biarlah Allah menjadi tempat bersandar. Selain kepada Allah, kita harus menyisakan ruang ragu, sehingga kita masih memberi mungkin atas kebenaran di luar diri kita. Yang terjadi pada hari-hari ini adalah ruang mungkin itu kita hilangkan. Kita teramat yakin atas penglihatan kita yang lemah itu dan tidak menyisakan pada kemungkinan benar pada pihak lain.
Hati yang bersandar. Bersandar pada siapakah hati kita? Pada nafsu? Pada guru? Pada gengsi dan reputasi? Benarkah Allah sandaran hati kita?
Alangkah pentingnya pada kondisi kita yang panas seperti saat ini, hati kita bersandar. Bersama-sama meletakkan kedirian kita. Ia pemilik hati. Karena jangan-jangan sumber masalahnya muncul bukan yang rumit-rumit , tetapi karena kita masih-masing tidak menjadi makhluk yang bersandar. Atau bisa jadi kita keliru sandaran bersandar. Allah tempat bersandar.
Bagaimana cara menyandarkan hati agar bersandar pada sandaran yang tepat? Kita secara tulus bertanya pada hati kita sendiri. Leluhur kita punya semacam tutorial untuk menyandarkan hati yang dikenal dengan Tombo Ati: membaca dan menghayati Al-Quran, bercakap-cakap dengan Allah melalui salat malam, berkumpul dengan guru-guru yang jelas keikhlasannya, menjaga perut kita tidak kenyang, dan terus mengingat Allah.
“Siang dan malam yang berganti
Sedihku ini tak ada arti
Jika kaulah sandaran hati”, kata Letto.