Pada abad-abad yang berlalu, pelaut-pelaut dari Negeri Atas Angin bersaing menjadi pelaut tangguh seantero dunia dengan patokan: siapa yang bisa mencapai Negeri Bawah Angin, maka ia akan menjadi paling tangguh, paling kaya, dan menguasai perdagangan dunia. Terjadilah rombongan-rombongan pelaut dari benua Eropa bergiliran menuju ke Timur mencari asal mula pusat rempah-rempah yang saat itu harganya lebih mahal dari emas. Di saat para pelaut dari Negeri Atas Angin berusaha keras bagaimana caranya agar bisa sampai ke Negeri Bawah Angin. Pelaut-pelaut dari Negeri Bawah Angin justru sudah sampai ke seberang benua Afrika, menjelajah samudera, membuat hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan di Timur Tengah dan membuka jalur perdagangan ke pelbagai negeri.
Pendek cerita, lewat persaingan yang sengit. Pelaut-pelaut Eropa bisa sampai Negeri Bawah Angin setelah bertarung secara sengit memerebutkan peta pelayaran ke sana. Dan, apa yang disebut Negeri Bawah Angin itu kita ketahui kemudian bernama Nusantara. Konon, Nusantara atau Negeri Bawah Angin telah menjadi cerita yang bertabur misteri. Lewat cerita bisik-bisik di pergaulan antar pelaut, pedagang, dan pengusaha Eropa, di Nusantaralah kekayaan itu berada. Dan, di sanalah penghuninya berisi pelaut-pelaut yang mengarungi samudera hanya berbekal kemampuan membaca rute peta dengan cara mengetahui arah angin dan mengetahui rasi bintang. Cara ini telah membuktikan bahwa leluhur-leluhur kita pernah, pinjam judul buku AA. Navis, “alam terbentang jadikan guru.”
Di saat pelaut-pelaut Eropa berlayar mengandalkan ilmu navigasi dan peta di kertas. Dan, kita tahu dengan peralatan itu mereka butuh bertahun-tahun bisa sampai di Nusantara. Pelaut-pelaut kita hanya dengan ketajaman akal dan batin mendengar suara angin dan melihat rasi bintang, benua Afrika bisa mereka sambangi. Ini mirip cerita epos. Cerita-cerita kebesaran di masa lalu yang begitu gagah saat kita baca sekarang. Tentu kebesaran di masa lalu itu tidak untuk membuat kita menjadi orang yang terbius oleh romantisme sejarah. Tetapi sebuah cara bagaimana kita mengenal kembali identitas kita, asal usul kita, dan leluhur kita. Sebelum kita semakin jauh melupakan dan terasing dari tempat dan kebudayaan yang melahirkan kita.
Indonesia yang kita lihat hari ini. Hampir tidak ada miripnya dengan Indonesia yang dulu bagi pelaut-pelaut Eropa disebut Negeri Bawah Angin. Laut hampir kita punggungi, kebesaran dan kemegahan negeri ini cuma bisa kita rasakan lewat cerita babad, epos, atau teks sejarah. Seakan-akan kalau kita meluruskan garis sejarah dan kebudayaan sekarang maka garis itu sudah putus. Kita seperti tidak melanjutkan tradisi leluhur terdahulu–bahkan ada kelompok tertentu yang secara terang menyangkal warisan tersebut– dan secara pelan-pelan membunuhnya. Memang ada sebagian tradisi yang dirawat dengan baik dan terus lestari sampai sekarang. Tetapi, mereka yang melakukan itu hanya orang-orang yang tinggal di desa. Dan seolah untuk urus mengurus dan menjaga tradisi hanya orang desa saja. Orang kota tidak! Maka kita tidak heran jika sampai hari ini masih banyak acara ruwat desa tapi tidak ada ruwat kota (negara).
Desa dan kota sedari dulu memang sulit berangkulan. Yang satu identik dengan pertanian, yang satu identik dengan gedung perkantoran. Yang satu identik dengan kebodohan dan kemiskinan, yang satu identik dengan kepintaran dan kekayaan. Mereka berdua dibangun tidak untuk saling melengkapi satu sama lain tetapi malah yang satu menindih yang lain. Dan, pada saat zaman melaju ke modern. Desa ditinggalkan, pemudanya pergi ke kota.
Duh, keadaan kok semakin ruwet saja.
Tapi kita sadar, kita ini rakyat. Jangan serius-serius memikirkan hal-hal yang seharusnya dipikirkan pemerintah. Nanti kita lupa kalau kita ini “cuma” rakyat. Sedangkan pemerintah nanti semakin ayem melupakan rakyat. Keadaan bisa tambah gawat dan kacau nantinya. Melupakan hal-hal yang berbau kewajiban memang gampang. Apalagi sebagai penguasa, itu tentu bukan pekerjaan yang sulit. Dan, soal pelajaran melupakan rakyat. Penguasa adalah jagonya. Lihat saja kalau seorang pejabat datang. Mengapa rakyat yang disuruh repot-repot menggelar penyambutan. Bukankah yang akan datang itu batur (pembantu) kita? Dan, pejabat malah tidak merasa pakewuh atau isin tetapi malah nyengir menikmati penghormatan itu. Masak pemerintah lupa, yang menggaji seharusnya lebih berkuasa dari yang digaji. Lha ini justru sebaliknya.
Kita prihatin saja dengan keadaan ini. Kita semakin mudah saja melupakan. Nusantara yang begitu agung kita lupakan. Pemerintah yang berkuasa lupa kalau sebenarnya ia pembantu. Rakyat yang memberi gaji pejabat malah lupa kalau ia juragan sebenarnya. Atau, jangan-jangan kesemrawutan ini disebabkan satu hal: bahwa kita lupa kalau kita manusia.
Kalau keadaan menjadi begini bagaimana langkah selanjutnya? Kalem saja. Kita cicil sedikit-sedikit untuk memerbaiki hal-hal yang sudah kadung semrawut. Kita mulai saja dengan mengingat hal-hal yang kita lupakan. Termasuk juga mengingat apa saja yang kita lupakan sebagai manusia. Apa tugas-tugas, fungsi, dan peran manusia di dunia yang sudah kita lupakan. Hal-hal yang dilupakan itu mungkin yang jadi penyebab kita bablas jadi juru penentu kebenaran, pemberi vonis hukuman, dan si pengutuk akan kesalahan-kesalahan orang lain.
Gambang Syafaat edisi 25 Oktober kali ini akan “merayakan” musim lupa sebagai manusia.