Surat permohonan (dimuat di Panji Masyarakat 472 dan baca juga tulisan ”Kak Emha Jangan Buat saya Putus Asa”) untuk bergabung di komunitas sastranya Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) mendapat tanggapan dari pembaca lain. Di Panji Masyakarat edisi 1 September 1985, si penanggap menulis:”saya sependapat dengan keinginan Sri Subekti yang mempunyai minat menjadi anggota Klub Sastra-nya Kak Emha Ainun Nadjib. Ini kalau memang ada, dan bagaimana prosedurnya? (Panjimas 472). Untuk itu saya menyarankan kepada Anda untuk mulai dengan banyak belajar/ membaca buku-buku yang ada hubungannya dengan sastra.”
Pada tahun surat pembaca ini ditulis, nama Emha sudah sangat sering tampil di panggung pertunjukan pembacaan puisi dan pentas teater. Juga tidak jarang tulisannya dimuat di majalah sastra dan umum. Di bidang sastra, Emha mengasah diri di Persada Studi Klub (PSK) di bawah asuhan langsung Umbu Landu Paranggi. Sastra dipelajari dengan guru yang dikelilingi oleh murid-murid.
Ilmu-ilmu sastra itu menghuni di lingkaran komunitas yang secara tekun mempelajari dan mencipta karya sastra. Orang-orang yang tergoda untuk paham atau bisa menghasilkan karya sastra kadang menyesatkan diri bergabung ke komunitas-komunitas tersebut ketimbang mendaftarkan diri kuliah di jurusan Sastra. Pilihan itu dipicu oleh beberapa nama sastrawan yang keproduktifannya tidak ada hubungannya dengan tingkat pendidikan atau jurusan kuliah.
Emha bisa dikatakan adalah sosok sastrawan seperi itu. Makanya ketika orang kagum akan keproduktifan beliau menulis puisi, cerpen, esai, beliau kerap mendapat permohonan untuk mengajari orang-orang yang gandrung pada sastra. Namun, orang-orang mungkin agak melewatkan faktor utama ketika belajar sastra. Bahwa keberhasilan belajar sastra tidak sepenuhnya ditentukan siapa yang mengajari kita. Melainkan diri sendirilah yang paling menentukan itu semua.
Dalam hal ini kita tahu Emha Ainun Nadjib adalah sosok sastrawan yang produktif. Tidak ada jaminan dan Emha tidak menjamin bahwa dengan belajar sastra dengannya bisa membuat Anda produktif. Semua kembali pada pribadi masing-masing. Ketahanan mental dan ketekunan tetap menjadi faktor yang paling menentukan kelancaran kita belajar sastra. Tampaknya ini yang disadari oleh Irianto Andri Hakim. Beliau langsung tanggap ketika ada seseorang yang mengajukan permohonan untuk berguru sastra pada Emha. Bentuk tanggapannya adalah peringatan agar orang yang ingin berguru kepada Emha itu ”Banyak belajar/membaca buku-buku yang ada hubungannya dengan sastra. Karena mungkin saja Anda membuang waktu percuma kalau mengharap terlalu banyak dari orang lain agar mau membimbing Anda, sedangkan diri Anda sendiri tidak punya kesiapan menerima bimbingan dari orang lain.”
Ibarat menempuh perjalanan. Kita harus menyiapkan beberapa bekal untuk sampai di tempat tujuan. Seperti itulah gambaran ketika kita hendak berguru kepada seseorang. Percuma kalau kita pergi berguru tapi tidak memiliki persiapan yang cukup. Ini akan membuang banyak waktu dan menyusahkan guru. Persiapan lain tentu harus disiapkan. Agar dalam perjalanan akan selalu siap ketika bertemu hadangan-hadangan di tengah perjalanan.
Berguru kepada siapa pun akan percuma kalau kita tidak memiliki bekal barang sedikit pun. Usaha menyiapkan diri sekecil apa pun mesti ada. Jangan sampai berpikiran cuma berbekal niat saja sudah cukup. Itu sungguh sangat kurang jika tujuan perjalanan kita jauh dan jalannya berliku. Dari surat tanggapan ini kita tahu, orang yang berguru kepada Emha tidak langsung menjadi hebat. Kehebatan tidak terletak di diri Emha. Makanya ketika hendak berguru ke beliau harus menyiapkan bekal yang cukup agar bisa tidak kesulitan mencerna pelbagai macam pelajaran. Selain itu, pemikiran bahwa kalau kita belajar pada Emha pasti menjadi hebat. Itu jelas keliru. Karena, sekali lagi, kehebatan tidak terletak pada diri Emha tapi pada diri masing-masing. Bahayanya dari pemikiran seperti ini adalah apa yang diangankan berbeda dari yang didapatkan. Iya kalau berhasil, kalau gagal? Emha bisa disalah-salahkan karena menjadi biang keladi kegagalan seseorang.
Ingat, kata Irianto, terlalu banyak bergantung pada orang lain untuk mengubah diri anda tidak baik. Diri andalah yang paling berdaulat dan menentukan keberhasilan dan kegagalan mencapai tujuan. Itu kira-kira makna pesan di surat pembaca ini.