Jakarta berbeda dengan kota lainnya. Dan, Kenduri Cinta mungkin memiliki tantangan yang berbeda dibanding forum Maiyah lainnya. Di ibukota, semua hal menjadi sulit. Apalagi untuk ukuran seseorang karyawan yang bergaji ngepas dan hidup sederhana. Segala kemumetan bisa datang tiba-tiba. Segala kesumpekan selalu betah menghuni kepala. Dan, segala persoalan hidup sulit reda.
Namun, di Kenduri Cinta kota Jakarta bisa tampil berbeda. Ia tampil tidak lusuh, beringas, dan kejam. Wajah-wajah penghuni ibukota yang mampir di Kenduri Cinta terlihat lembut, rendah hati, sabar, dan tidak segan-segan mengubah penderitaan menjadi kenikmatan. Begitulah yang tersaji di halaman depan Taman Ismail Marzuki saban Jumat kedua. Jakarta akan terlihat berbeda dari yang kita kira. Ia tidak lagi berisi manusia-manusia yang mengutuki keadaan ibukota. Sebab, mereka sudah menemukan cara bersyukur yang tidak biasa ketika tinggal di Jakarta. Cara itu didapatkan dari Kenduri Cinta.
Jika ada kota yang membuat orang berbuat baik justru dicurigai. Maka, kota itu adalah Jakarta. Di sana persaingan mencari uang berlangsung ketat. Tidak heran jika bentuk kejahatan kerap menyamar seperti kebaikan. Orang yang merampas handphone atau yang lainnya. Tidak lagi melulu lewat tindakan keras menodongkan pisau kepada korban. Namun, ada acara inovatif yang dilakukan penjahat agar ia bisa dengan mudah mengelabuhi korban. Misalnya, pura-pura memberi pertolongan berupa memberi air minum agar si korban terbius. Atau pura-pura meminta belas kasihan kehabisan uang atau pulsa agar dipinjami uang atau handphone untuk kemudian dibawa kabur. Semua cerita itu lazim terdengar di warung-warung tempat makan karyawan-karyawan di Jakarta. Maka untuk mewaspadai itu di tempat-tempat umum tertera peringatan untuk mencurigai orang menawarkan kebaikan. “Waspadai orang yang memberi minum pada Anda” dan yang jenis-jenis peringatan lainnya.
Seolah dengan kejadian-kejadian seperti itu orang yang berbuat baik secara tulus menjadi sulit. Dan orang yang mau menerima kebaikan menjadi gampang curiga. Di Kenduri Cinta, semua kecurigaan semacam itu tidak berlaku. Di pelataran yang dihuni manusia-manusia lesehan. Kebaikan berjalan dengan nyaman, bertemu dengan orang-orang yang dengan tulus menerima kebaikan itu. Seorang karyawan baru pulang kerja dan baru sampai di Kenduri Cinta tidak segan menawarkan air mineral atau kopi hangat kepada orang yang di sebelahnya. Seorang bapak yang baru duduk tidak segan menawarkan rokok kepada anak muda di samping kirinya. Seorang mbak-mbak yang baru tiba ketika Mbah Nun menjabarkan penjelasannya tidak segan menawarkan cemilan kacang rebus kepada mbak-mbak di sebelah kanannya. Wajah-wajah ibukota yang konon individualistis, egois, dan angkuh sulit tercipta di depang panggung Kenduri Cinta.
Saban sebulan sekali, wajah ibukota yang penuh dengan suasana seduluran tersaji. Dan, semestinya sesama manusia menjaga hubungan baik dan membangun persaudaran yang erat adalah hal yang biasa dan wajar. Namun, ini Jakarta Bung! Ibukota negara yang terdiri tujuh belas ribu pulau. Masalah-masalah yang terjadi di sana tidak selalu sederhana dan biasa-biasa saja. Musuh bisa kau dapatkan di perempatan lampu merah, tetapi teman sejati atau kawan karib sulit kau temukan sekalipun di tempat kau cari makan sehari-hari. Maka dari itulah Kenduri Cinta menjadi penting. Ia dengan gagah dan kepala tegak mengarungi belantara Jakarta tanpa takut dimusuhi karena memang tidak pernah merasa mencari musuh. Di kota ini yang ia tebar cuma satu: cinta. Hanya dengan cinta permusuhan dan kebencian kehilangan tempat.
Selamat ulang tahun Kenduri Cinta. Bersamamu semoga (manusia) Jakarta terus baik-baik saja. Tabik!