Jika anda bertemu dengan seorang yang pernah memiliki pengalaman belajar sastra di Persada Studi Klub (PSK). Suruhlah ia bercerita barang lima belas atau dua puluh menit. Pasti. Dari cerita itu anda akan menemukan keunikan dan ketakjuban. Memang nama Yogyakarta, Maliboro khususnya, sulit mengelak dari kisah kehadiran PSK di situ. Pada periode akhir 1960-an sampai pertengahan 1970-an, di Jalan Malioboro seniman dan sastrawan menempa diri di bawah bendera PSK. Mereka yang tergabung dalam PSK mendapat asuhan spiritual dan intelektual dari Umbu Landu Paranggi.
Majalah Sabana edisi Februari 2015 menerbitkan edisi khusus berjudul ”Umbu Landu Paranngi: Sang Guru.” Di majalah itu, sastrawan-sastrawan yang pernah berguru kepada Umbu berkumpul berbagi ingatan dan cerita mengenai proses belajar sastra di masa silam. Sastra mereka pelajari di pinggir jalan, di kampung-kampung, dan di tengah-tengah masyarakat marjinal. Mereka yang pernah mengalami belajar sastra di bawah naungan PSK merasa sangat beruntung karena model pembelajaran seperti itu sangat sulit ditemukan lagi.
Apalagi setelah 1975, Umbu memutuskan meninggalkan Yogyakarta. Kepergiannya itu secara tidak langsung perintah kepada muridnya agar lekas-lekas belajar mandiri. Atau Umbu menganggap bahwa murid-muridnya di Yogyakarta sudah sangat mapan belajar sastra sehingga beliau perlu mencari tempat lain dan menemukan murid baru. Dugaan ini tidak terlalu meleset. Pasca perpindahan Umbu ke Denpasar. Murid-murid Umbu masih terus berkarya. Di antaranya Iman Budhi Santosa, Mustofa W. Hasyim, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan lainnya.
Cerita tentang Umbu banyak saya dengar dari Cak Nun. Sebab, beliaulah yang sering menceritakan proses bergetihnya menempuh jalur kesenian semasa muda di hadapan orang umum. Semua orang yang rutin mengikuti pertemuan Maiyah pasti mengetahui masa muda Cak Nun tidak terlepas dari jasa Umbu. Mereka berdua pernah tergabung dalam satu komunitas yang sama. Meski, kebersamaan mereka tidak berlangsung lama. Cak Nun bisa meneruskan model belajar Umbu dalam menampung teman-teman muda belajar sastra.
Di majalah Panji Masyakarakat edisi 1 Juli 1985. Cak Nun mendapat surat pembaca berisi lamaran untuk menjadi muridnya. Kita menduga surat ini ditulis oleh orang yang berjarak ratusan kilometer dari Yogyakarta. Sehingga ketika ingin menyampaikan keinginannya menjadi muridnya Cak Nun. Ia memanfaatkan media surat pembaca. Bahkan dari nada kalimatnya saja kita bisa mengetahui bahwa si penulis sangat sungguh-sungguh hendak mewujudkan keinginannya itu. Simaklah::”Saya sangat gandrung dengan dunia sastra dan puisi. Tapi dasar otak saya ”idiot” susah sekali memahami sastra. Saya dengar Kak Emha Ainun Nadjib punya Studi Klub Sastra (saya pernah membacanya di majalah Gadis). Saya mohon bantuan Kak Emha menerima saya sebagai anggota klub itu. Jangan biarkan saya putus asa. Semua yang saya hubungi tak mampu memberikan bimbingan.”
Tidak ada yang tahu selain si pengirim surat, Cak Nun, dan Tuhan bagaimana kelanjutan surat itu. Mungkin juga Cak Nun malah tidak tahu akan keberadaan surat itu. Namun, surat kadung ditulis dan masih bisa dibaca setelah tiga puluh tahun surat itu dimuat. Dari surat ini kita tahu, wajah Cak Nun yang berkumis tebal dan berambut gondrong masih sulit membuat orang tidak terpesona dengannya. Tampilan fisik yang tidak menarik barangkali mudah dimaafkan ketika orang-orang mendengar Cak Nun membaca puisi dan menyanyi.
Kemerduan suara Cak Nun, konon, sangat tidak pas dengan tampilan wajahnya yang garang. Namun, di balik kegarangan itu kita mengetahui ada kelihaian beliau menulis puisi, naskah drama, esai, dan lirik lagu. Segala jenis tulisan sudah dibabat habis sejak muda. Maka kita merasa tidak heran ketika lamaran-lamaran menjadi murid Cak Nun tidak hanya datang secara langsung, tetapi juga lewat surat. Tentu dari surat ini kita berhak penasaran, apakah Cak Nun telah membuat si penulis putus asa atau malah girang tak kepalang? Kapan-kapan kalau ada waktu ngobrol intim dengan beliau saya dan anda bisa bertanya langsung perihal ini.
Cak Nun memang begitu orangnya. Sulit membuat orang tidak terpesona dengannya.