Bulan agustus adalah bulan kegembiraan bagi rakyat indonesia. Berbagai ritual kegembiraan tahunan menyambut hut proklamasi dilakukan. Masyarakat, dengan atau tanpa dana desa/pemerintah, memasang umbul mbul, mengadakan lomba-lomba, tirakatan, festival dan sebagainya.
Masyarakat, sudah tidak perlu lagi bertanya perihal kemerdekaan. Baik kemerdekaan yang sedang dirayakan ataupun kemerdekaan kekinian. Perang hybrid, eksploitasi sumber daya alam, atau apa saja yg menjadi tema pinggiran, bukan alasan untuk tidak bergembira.
Yang penting hore… Kalo ada yang ngrasani, apa kita sdh benar benar merdeka sehingga pantas merayakan, dijawab dengan lugas, apa kalo kita kere ndak boleh bergembira?
Kegembiraan mestinya kesenangan yang dipantul-pantulkan kepada orang lain. Kegembiraan tidak semestinya hanya menjadi parade getir kesenangan pribadi pribadi.
Apakah kegembiraan memerlukan alasan-alasan jika itu menjadi pilihan sikap hidup? Atau justru kegembiraan menjadi alasan untuk menjalani hidup? Yang jelas dalam hidup, kita tidak selalu melihat fenomena/peristiwa yang menggembirakan.
Gambang Syafaat, edisi agustus 2015 menawarkan pilihan kegembiraan orang kecil. Pada batas seberapa kegembiraan dinyatakan? Kapan saatnya kegembiraan menjadi ketangguhan? Efektifkah perlawanan terhadap himpitan hidup dengan kegembiraan “aku rapopo”?