Saya ajak Anda membayangkan, di sebuah hingar bingar musik disko dan kerlap-kerlip lampu tiba-tiba ada sosok muda berwajah ndeso berdiri di hadapanmu. Setelah basa-basi sebentar ia membaca puisi. Anda yang datang ke diskotik berniat untuk berpesta, berjoget bergembira tiba-tiba akan mendengar puisi. Apa kira-kira yang akan Anda lakukan? Melempar orang berwajah ndeso itu dengan sepatu, menyuruhnya segera turun, atau meninggalkannya pergi hingga dia sendiri dengan puisinya.
Resiko dilempar sepatu itu diambil oleh Emha Ainun Nadjib (Mbah Nun). Itu dia lakukan ketika masih muda, umurnya masih 30-an. Tepatnya pada tahun 1979. Ia diundang oleh sebuah hotel yang terdapat diskotik untuk membaca puisi. Pihak hotel ingin eksperimen, menjeda hingar-bingar musik dengan renungan berupa puisi. Mbah Nun yang waktu itu biasa dipanggil Cak Nun menyanggupinya, meskipun dia mengaku merasa asing. Mula-mula ia membaca puisi cinta, mereka yang hadir senang dengan puisi cinta setelahnya cinta dalam puisi itu ia bawa kemana-mana dan tidak melulu pada cinta terhadap lawan jenis.
Bukan Cak Nun jika tidak berani mengambil resiko, itulah yang membuat suaranya, ide-idenya terdengar hingga ceruk-ceruk dunia, dari lorong-lorong hitam, hingga didendang menjelang salat. Suara dan pemikirannya tidak hanya terdengar di masjid, kampus, tetapi juga sampai pelosok kampung hingga dunia hitam, ruang bergembira ria semacam diskotik.
Resikonya ternyata tidak hanya dilempar sandal dan sepatu tetapi juga tuduhan dan kecurigaan para temannya sesama seniman yang biasanya bareng-bareng menahan lapar. Mereka menuduh Cak Nun sudah berubah, Cak Nun sudah elit, pentasnya di hotel, bergaulnya dengan orang-orang berduit.
“Puisi telah dibacakan, tugas-tugasku lewat, dan aku toh tetap kere seperti ini. Aku di Ambarukma, tetapi aku bukanlah ia, aku sekedar tamunya.” (Nadjib, 1984:107).
Begitu pembelaan Cak Nun atas tuduhan teman-temannya yang menganggap Cak Nun sudah ngelit, sudah jauh dari rakyat kecil, dan tidak konsisten. Pembelaan itu ia tulis di sebuah buku berjudul Sastra yang Membebaskan. Cara berpikir sederhana, gampangan sudah terjadi sejak dulu. Ketika seseorang berkumpul dengan kambing dianggap sama dengan kambing, begitu pula ketika seseorang berkumpul dan hadir di acara disko, ia dianggap sama dengan orang-orang itu. Cara berpikir begini masih terjadi hingga kini.
Nyatanya Cak Nun adalah manusia yang sangat konsisten. Itu telah terbukti hingga puluhan tahun setelah kejadian itu. Beliau masih menemani manusia-manusia pinggir seperti kita. Menyapa masyarakat bawah tanpa lelah sepanjang hari. Bepindah-pindah tempat berjarak ratusan kilo meter. Tidak terhitung lelahnya, tak terhitung energi yang dikeluarkannya. Pengorbanan yang dipertaruhkannya, juga pengorbanan keluarganya. Demi cintanya kepada kita semua. Kita tidak perlu bukti lagi.
Sekarang, beranikah Anda meniru, di antara pementasan musik dangdut koplo dengan biduan bertubuh seksi, Anda menjeda membaca puisi? Jika berani lakukan saja.