Jamaah mendapat kejutan dengan kehadiran Mbah Sudjiwo Tedjo yang khas dengan memakai topi koboi. Dia mengatakan, “Keyakinanku saat ini Gusti Allah tan keno kinoyo nopo, ada dalam surah al-ikhlas, tan keno kinoyo ngopo berarti Gusti Allah itu, bersifat bahwa manusia cuma menduga-duga tentang Allah. Sepintar apapun manusia, Alah tidak bisa dibayangkan. Kalau bisa dibayangkan, itu berarti bukan Gusti Allah. Kita manusia cuma bisa grayah-grayah.
Lanjut Mbah Tedjo, “Aku dulu percaya kalau sebab itu menyebabkan akibat, saya percaya itu. Makin ke sini saya ndak makin percaya. Bahwa kalau rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya, dan bersih pangkal sehat. Karena banyak orang yang usahanya sama tetapi berbeda hasilnya. Jadi antara sebab itu bisa beda-beda akibatnya, ndak harus gandeng. Karena sebeb itu makhluk Gusti Allah, begitupun dengan akibat”.
Dalam istilah pedalangan, sampeyan kerja, macul, ngarit, utawa dadi dokter, iku adalah usaha, menciptakan sebab. Orang kalau tidak mau berusaha tidak punya harga diri. Ibu saya dulu berpesan saat saya masih sekolah, “Kamu lulus sekolah bukan karena puasa, puasa itu untuk harga diri”.
Kemudian Mbah Sudjiwo Tedjo membawakan satu lagu untuk membersamai jamaah dengan judul “Pada Sebuah Ranjang”. Dilanjutkan kembali dengan menggali repon dari jamaah. Salah satu jamaah yang bernama Aziz asal Kabupaten Pati bertanya, “Syekh Ibnu Attahillah mengatakan bahwa akal adalah pelita hati, akal menjadi penerang. Tapi ternyata akal pun sendiri masih memiliki jebakan-jebakan, masih memiliki kecacatan-kecacatan. Maka dari itu akal itu masih perlu dikembalikan. Pertanyaannya, dengan cara apa lagi kita mengatur akal? Kalau kata Mbah Tedjo, “Kalau kamu ingin mengenal Tuhan, letakkan kakimu diatas kepalamu”. Tapi adakah alternatif lain selain “kaki”, karena yang namanya pengendali pasti derajatnya harus lebih tinggi. Ada nggak selain kaki?”
Jawab Mbah Tedjo, “Tangga menuju langit adalah kepalamu, cara menuju Tuhan adalah tentang cara berpikirmu, karena itu letakkanlah kepalamu di bawah telapak kakimu, injak-injaklah rasionalitasmu. Contohnya ialah riya, pamer. Ada yang bilang riya itu pengen ditonton sakliyane Gusti Allah. Merasa lebih dari apa, itu sudah riya. Kalau riya sudah pernah dilakukan, mendingan itu dilupakan, wes mending kowe nyemplungo urip. Sudah hilang teori-teori, sudah kuinjak kepalaku”.
Lanjut Mbah Tedjo mensimulasikan, “Orang yang berantem dengan berandal, yang bisa pencak silat dan yang tidak bisa itu beda. Orang yang punya jurus pasti beda dengan yang tidak. Begitupun jika kamu baca teori naik sepeda, mau naik sepeda, lalu jatuh, itulah hidup. Tetapi karena kamu mikir teori, tetap lebih baik orang yang berteori (punya bekal)”.
Respon selanjutnya datang dari Arif dari Teater Beta. Ia bertanya, “Ketika tadi Mbah Tedjo mengalunkan lagu, nada-nadanya membuat saya gregel, merinding. Kenapa nada-nada itu bisa membuat seseorang gemetar?”
Jawab Mbah Tedjo, “Segala hal yang kita tumbuhkan dari nada-nada wayang, tangis-tawa itu jadi satu dan bisa membuat gemetar”. Lanjut Mbah Tedjo menembang, “Loro-loro, loro ning ati, ora koyo aku. Barang kalir wis nglakoni kabeh, loro-loro kang durung nglakoni, sugih karo mukti, bejane awakku.Kekarane wong ngakrami, dudu bondo dudu rupo, nanging ati pawitane, luput pisan keno pisan, yen gampang luwih gampang, yen angel, angel kalangkung, tan keno tinumbas arto. Iku rasanya apa, tapi sedih, tapi tidak bisa merasakan kaya, tapi kok beruntung? Orang Jawa itu campur aduk.
Lanjut Mbah Tedjo menjelaskan, “Maiyah Gambang Syafaat ini sudah 18 tahun diusahakan Cak Nun karena Cak Nun ingin nguri-uri kabudayan, karena orang Jawa itu komplit. Senang dan susuah sudah nyawiji. Seneng anggebyur aning madyane tangis, tangis wis luber aning madyane samudra guyon”. Kemudian Mbah Tedjo menembang lagi, “Sugih tanpa bondo, digdaya tanpa aja, trima mawi pasrah, sepi pamrih tebih ajrih. Lenggeng tanpa susah, tanpa seneng , anteng manteng, sugeng jeneng. Tanpa susah, tanpa seneng kowe siap ndak?” (Redaksi – Maulana Malik Ibrahim).