Malam itu (25/2) Mbah Nun memang sudah dinanti-nanti oleh Jamaah Jannatul Maiyah, Gambang Syafaat. Tentunya informasi kehadiran Mbah Nun sudah beredar melalui WA maupun dari informasi lisan bahkan kontak batin. Padahal kehadiran Mbah Nun di Gambang Syafaat terkadang belum bisa dipastikan karena beragam aktivitas yang dijalani secara pribadi maupun bersama KiaiKanjeng. Alhamdulillah Mbah Nun tiba di tengah-tengah para jamaah. Tidak berselang lama, Kang Ali mempersilahkan Mbah Nun untuk menyampaikan berbagai informasi, entah dibilang petuah maupun dawuh tidak dipersoalkan.
“Semoga kita selalu dalam tabung kasih-sayang Allah” tutur Mbah Nun usai membuka salam. Tidak hanya itu, Mbah Nun juga memuji tema “Menimba Pada Cermin” yang dipilih oleh penggerak Maiyah. Temanya absurd berarti sudah ada pemikiran kreatif. Ini secara tidak langsung bersifat perintah atau saran kepada penggerak Maiyah untuk menciptakan tema-tema demikian secara berkesinambungan. Tetapi tidak melulu pilihan tema fokus pada hal yang absurd. Penentuan tema dapat disesuaikan dengan keadaan dan konteks sosial. Sifatnya mengalir.
Membaca tema tersebut, adakah yang keliru. Apa mungkin salah dalam menerapkan kepaduan kata. Ataukah logika pencetusnya yang salah sehingga perlu diluruskan. Jamaknya kata ‘menimba’ disandingkan dengan ‘menimba ilmu’: mengambil, mengumpulkan ilmu. Dikatakan absurd karena tidak bisa dipahami secara harfiah maupun linier. Pilihan tema tersebut mengandung makna yang perlu dijabarkan. Tidak bisa diartikan secara parsial. Arti tekstual tidak akan dapat menemukan substansinya. Oleh sebab itu, pemahaman kontekstual salah satu solusinya agar lebih komprehensif dalam memaknai tema. Menghadirkan tema bukanlah tanpa alasan dan tujuan. Dengan pilihan tema diharapkan mampu memberi pencerahan dan hikmah kepada Jamaah Maiyah dalam sedekah informasi, lebih-lebih mampu dijadikan sebagai menyikapi perubahan dan persoalan kehidupan.
Setiap orang memiliki tafsiran dan tanggapan terkait tema sendiri-sendiri dan tidak harus sama. Jika beragam pandangan bermunculan itulah khazanah pengetahuan yang patut diapresiasi. Kata cermin umumnya digunakan sebagai alat bercermin, ngaca, dan pengelon. Fungsi cermin tidaklah biasa untuk dijadikan tempat menimba. Namun apakah salah menjadikan sesuatu untuk mengubah dan meningkatkan kualitas hidup. Bukankah hidup ini serba mungkin. Apa yang tidak mungkin dalam hidup. Dari kemungkinan menuju kemungkinan-kemungkinan dan suatu saat pasti sampai kepastian. Bukankah itu bagian dari kenikmatan hidup karena kita tidak mengetahui sesuatu yang kita jalani bahkan kejadian berikutnya.
Di antara yang disampaikan oleh Mbah Nun tentang Menimba Pada Cermin adalah dapat diartikan sebagai sarana introspeksi dan evaluasi pada diri sendiri. Berkacalah, maka wajah Anda terlihat. Bercerminlah dan ketahuilah fisikmu. Jangan takut bercermin karena bagian dari cara untuk mengetahui dirimu. Takut bercermin sama halnya tidak berani dengan bayangan sendiri. Atau dapat dikatakan orang tersebut tidak berkeinginan mengetahui dirinya. Bagaiamana bisa mengubah diri, dengan bayangan saja tidak berani. Padahal untuk mengubah diri, kita harus mengetahui posisi diri kita. Dengan diri sendiri saja tidak mampu mengubah maupun menguasai, apalagi merubah orang lain. Merdeka secara pribadi belum bisa, kok memerdekakan orang lain bahkan kelompok.
Jika ada orang bercermin berarti dia melihat pantulan dirinya secara langsung. Alhasil. Cermin tidak berbohong apalagi melakukan manipulasi. Cermin tidak dapat berkompromi soal kebohongan bahkan talbis yang dilakukan seseorang tidak mampu mengelabuhi dan mempengaruhi cermin untuk bertindak serta menampilkan pantulan sesuai yang dikehendaki si pengaca. Jika tampan, ya pantulannya sepadan. Namun jika jelek, ya cermin tidak sungkan dan tidak segan-segan menampakkan apa adanya.
Berlandaskan khasibu anfusakum qobla an tukhasabu, evaluasilah dirimu sebelum kamu dievaluasi. Cermin bukanlah sekedar cermin. Cermin itu konotasi dari kepribadian diri kita. Apa yang kita ucapkan dan lakukan secara otomatis mencerminkan kepribadian. Jadi, denotasinya yaitu akhlak serta kepribadian kita. Hal penting yang harus kita lakukan adalah memperbaiki cermin sehingga secara kepribadian kita baik. Selain itu, dapat menjadi cerminan bagi orang lain. Bukankah tindakan mencerminkan perilaku yang baik bagian dari sedekah.