Majelis Masyarakat Maiyah Gambang Syafaat edisi kedua di awal tahun 2018 dilaksanakan. Sempat hujan turun tipis-tipis menjelang Adzan Maghrib di sekitaran Simpang Lima Semarang. Para penggiat terus bekerjasama saling bantu-membantu mempersiapkan semua peralatan untuk dilaksanakannya acara rutinan di tanggal 25 setiap bulannya.
Meski turun hujan tidak membuat para penggiat patah semangat, demi lancarnya acara Gambang Syafaat pada waktu itu. Para jamaah Maiyah pun juga tidak mau melewatkan acara Majelis Masyarakat Maiyah Gambang Syafaat edisi bulan Februari 2018. Biasanya ba’da Maghrib para Jamaah Maiyah yang datang masih kelihatan sedikit, tetapi pada waktu itu sudah banyak yang berdatangan dari berbagai tempat.
Tampak di halaman Masjid Baiturrahman dipasang layar lebar disebelah depan, kanan dan kiri panggung. Memang para penggiat menyediakannya agar para jamaah Maiyah yang hadir dan duduk jauh dari panggung bisa lebih leluasa melihat yang ada di panggung. Di sebelah samping layar lebar juga disediakan tempat untuk merchandise Gambang Syafaat sendiri. Suasana soundcheck juga terdengar ketika para penggiat menyiapkan semua peralatannya tadi.
Seperti biasanya, disesi awal kita berdzikir dan bermunajat Maiyah bersama-sama, namun Mas Ali membuka awal acara dengan membaca Tahlil untuk Almarhum Pak Ismarwanto Empu KiaiKanjeng dan berdoa untuk beliau, lalu dilanjut dzikir dan munajat Maiyah dipimpin oleh Om Mujiono, Mas Nashir dan Galih, hingga shalawat Indal Qiyam. Kemudian Om Mujiono meminta Mas Monty, selaku yang bikin gambar tema acara Gambang Syafaat edisi Februari pada malam itu untuk hadir ke atas panggung. Mas Monty memaparkan bahwa “Menimba Pada Cermin” seperti yang ia baca pada tulisan Mbah Nun pada Daur-II • 306 “Telaga Maiyah”. Dan Mas Yunan juga turut memaparkan sedikit tentang apa yang menjadi tema saat itu.
Pada diskusi awal, Gus Aniq turut hadir ikut memaparkan, kalau cermin untuk diri kita itu berbagai macam-macam. Belakang bak truk bisa saja kita jadikan cermin bagi diri kita, apalagi di kalangan masyarakat, itu juga merupakan cermin bagi suatu bangsa, kalau masyarakatnya suatu bangsa bobrok sudah jelas bangsa tersebut akan ikut bobrok. Selain Gus Aniq, Pak Fauzan selaku taqmir Masjid Baiturrahman juga turut hadir di atas panggung, beliau terharu merasakan Gambang Syafaat sampai saat ini, karena semua para penggiat bonek, selama bertahun-tahun tetap istiqomah menjalankan perannya masing-masimg di setiap tanggal 25 di komplek Masjid Baiturrahman.
Pak Fauzan juga memberi tahu kepada seluruh jamaah Maiyah kenapa bayi kalau lahir itu menangis kita senang dan kenapa kalau bayi lahir tidak menangis kita malah sedih. Bayi pada saat lahir memang selalu menangis karena bayi itu hidup. Hiduplah di dunia ini untuk berbuat baik dan berbuatlah baik selagi hidup, agar kelak matimu tidak seperti saat lahirmu. Karena segala apa saja baik peristiwa ataupun kejadian di alam ini adalah cermin bagi kita, entah itu musibah maupun rezeki. Selain kita memperhatikan apa yang disampaikan para narasumber, kita juga dihibur oleh grup musik dari Swaranabya berjumlah 3 orang dan grup rebana dari UNDIP Semarang, mereka berjumlah 11 orang, yang masing-masing anggota terdiri laki-laki dan perempuan.
Pukul 22:00 WIB. Pak Ilyas dan Pak Saratri Wilonoyudho dipersilahkan hadir ke atas panggung, diawali oleh pak Ilyas yang berpesan jangan bercita-cita menjadi orang kaya, banyak orang yang gagal kuliah karena materi. Menimba pada cermin itu jangan yang materi, lebih baik yang rohani. Karena kita sebagai mahkluk di bumi ini diberi berupa materi oleh Allah apapun selalu merasa kurang dan tidak merasa cukup. Pak Saratri ikut menambahkan, Seringkali kita salah dalam bercermin. Menempatkan sesuatunya tidak sesuai dengan cermin aslinya sehingga kita mudah tertipu oleh cermin-cermin lain yang kita anggap sebagai cermin.
Sekitar pukul 23:00 WIB, Mbah Nun disilakan menemani Jamaah Maiyah yang semakin malam yang datang semakin bertambah. Pelataran komplek Masjid Baiturrahman dipenuhi oleh Jamaah Maiyah yang rindu pada seseorang yang tidak pernah berhenti memberikan benih-benih ilmu-ilmu, yang nantinya akan mereka bawa pulang sebagai bekal hidup para Jamaah Maiyah. Diiringi oleh grup musik UNDIP (Rebana Diponegoro University) disingkat Ready dengan shalawat Hasbunallah, alhamdulillah Mbah Nun hadir dihadapan semua Jamaah Maiyah.
Mbah Nun mengajak kita semua berdoa untuk Pak Ismarwanto Empu Seruling KiaiKanjeng, yang tadi pagi (25/2) dipanggil oleh Allah. Mbah Nun menambahkan, semoga dengan keikhlasan doa kita kepada Allah untuk Pak Is, Allah mengabulkan doa kita semua. Al fatihah. Amin. “Segala sesuatu yang kita lakukan ini harus selalu ridho dengan ketentuan Allah, sehingga Allah selalu ridho kepada kita. Irji’i Illa Robbika Rodhliyatan Mardliyyah. Maka lebih berimanlah kepada Allah agar selalu diridhoi oleh Allah, dengan beriman kita akan mengetahui apa yang tidak kita ketahui yang diberikan oleh Allah” tutur Mbah Nun.
Pukul 23:30 WIB telah hadir Kyai Muzammil pengasuh Pondok Pesantren Rohmatul Umam Bantul. Kemudian dilanjut oleh Mbah Nun memaparkan tentang Sabil, Syar’i, Thoriq dan Sirath. Sabil berarti Sabilillah adalah arah hidupnya. Syar’i berarti Syariat adalah ketentuan Allah atas jalan yang ditempuh. Thoriq berarti Thoriqoh adalah dinamika ijtihad dalam menempuh jalan dan Shirathal Mustaqim adalah penempatan diri dalam perjalanan fana menuju baqa’. Semua itu bermakna yang sama yaitu jalan kita.
Mbah Nun menyebut Maiyah bukanlah bikinannya, beliau menemani para Nahdliyin, masyarakat dan anak cucunya dari desa ke desa, kota ke desa dari dulu hingga sekarang karena diperintah oleh Allah. Jadi Maiyah ini bukan ciptaan Mbah Nun melainkan ciptaan Allah, kita bisa duduk berjam-jam dari bada’ Isya kadang sampai jam dua atau jam tiga karena rahmat Allah. Rahmat Allah itu bisa datang kapan saja, kita tidak akan pernah tahu kapan datangnya, yang pasti rahmat Allah itu luar biasa. Bahkan apa pernah ada keamanan saat acara Maiyahan hingga akhir acara selesai, bukankah semua orang di Maiyah sudah mengamankan satu dengan yang lainnya.
Selain mendengarkan apa yang disampaikan oleh Mbah Nun, Kyai Muzammil juga turut memaparkan tentang peristiwa hijrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan “Barang siapa berhijrah untuk Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan dapatkan Allah dan Rasul-Nya, tapi barang siapa berhijrah untuk dunia, dia akan memperolehnya. Muhajir adalah orang yang berhijrah dan orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Dalam hadist beliau memberikan makna yang paling mendasar dari hijrah, yakni “meninggalkan larangan Allah”.
Menurut Yi Muzzamil di sinilah hijrah kita sepanjang zaman. Hijrah adalah niat, tekad, dan perjuangan untuk meninggalkan tempat atau keadaan yang membahayakan iman menuju tempat yang menyuburkan iman. Hijrah adalah perubahan ke arah yang lebih baik. Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia”. (Al-Anfal 74).
Semakin malam menjelang bergantinya hari, para Jamaah Maiyah semakin menunjukan keistiqomahan mereka, tidak ada yang beranjak dari tempat duduk mereka. Bahkan sempat gerimis tapi mereka semua tidak ada yang beranjak dari tempat duduknya masing-masing. Mbah Nun juga berpesan kepada kita semua. Jadilah diri sendiri, temukan bakatmu lalu kembangkan, jadilah pakar atau ahli dari sesuatu apa yang kamu sukai, kecuali jabatan dan harta jangan dikejar. Temukan nikmat apa saja yang kamu punyai, maka disitulah kebahagiaan akan kamu temukan. Karena dunia ini hanya bisa dinikmati kalau tujuannya adalah akherat. Pandanglah Allah dan kagumlah pada ciptaan-Nya, Insya Allah engkau akan menemukan betapa indahnya akherat.
Menjelang pukul 03:00 WIB, diiringi shalawat Nariyah oleh grup rebana dari UNDIP bernama Rendy (Rebana Diponegoro University), acara Majelis Masyarakat Maiyah Gambang Syafaat edisi Februari ditutup lalu dilanjut jabat tangan dengan Mbah Nun, Kyai Muzammil, para narasumber lainnya dan seluruh Jamaah Maiyah yang hadir pada malam itu. (Redaksi-Galih Indra Pratama)