Awal 2018 di Indonesia, seniman berguguran satu persatu. Semarang turut “menyumbang” salah satu seniman terbaiknya di musim yang berguguran ini. Darmanto Jatman meninggal pada hari Minggu (13/1) lalu. Beliau sudah mengidap penyakit stroke selama sebelas tahun. Dengan kesehatan yang semakin rapuh. Lalu ditambah kemampuan memori otak yang mulai lemah mengingat wajah dan nama orang-orang yang dikenalnya. Beliau akhirnya berdamai dengan penyakitnya yang menemaninya sampai akhir hidupnya.
Seminggu setelah kepergian Darmanto Jatman. Orang-orang yang mengenal Darmanto secara personal dan karya intelektualnya berkumpul di Beranda Kantor Redaksi Suara Merdeka (20/1). Mereka berkumpul dalam acara bertajuk “Doa untuk Darmanto Jatman”. Banyak penyair yang hadir membacakan puisinya Pak Dar. Atau membuat puisi persembahan untuk Pak Dar. Di puncak acara, Mbah Nun bersama tiga pengisi lain Tanto Mendut, Eko Tunas, dan Prie GS tampil di atas panggung menyampaikan cerita biografis bersama Pak Dar dan pemaknaan terhadap ketokohannya.
Mbah Nun sebelum menceritakan ke inti pembicaraan mengatakan bahwa seniman-seniman yang tinggal di Semarang adalah orang-orang tangguh. “Mereka bisa tinggal di tanah yang tandus secara kebudayaan dan teruji selama puluhan tahun untuk menjadi dirinya sendiri.” Tidak sembarang tumbuhan bisa tumbuh di tanah yang tandus. Tidak sembarang seniman yang bisa bertahan berkesenian di tempat yang kering kebudayaan. Pak Darmanto bisa melakukan hal itu dan setelah kepergiannya kita merasa kehilangan besar.
Tujuh hari setelah kepergiannya bukan untuk memastikan bahwa Pak Dar telah berpisah dari kita. “Mas Darmanto tidak mati, Mas Darmanto tidak boleh mati, Mas Dar harus hidup dalam cinta kita,” Mbah Nun. Pak Dar menurut Mbah Nun adalah orang yang sangat mencintai teman-temannya. Mbah Nun menceritakan pengalaman masa mudanya dulu yang diberkahi kemiskinan. Pak Dar sering hadir dengan kebaikannya membelikan makanan dan memberikan tumpangan tidur. Dan, Pak Dar melakukan kebaikan itu kepada semua temannya. Hampir tidak ada temannya yang tidak tersentuh kebaikan Pak Dar.
“Saya percaya sekarang Mas Dar itu ada di surga. Sekarang dia berada di pavilion surga,” kata Mbah Nun. Sehari setelah melayat ke kediaman Pak Dar. Mbah Nun menulis esai berjudul “Paviliun di Sorga”. Esai itu kata Mbah Nun telah menimbulkan banyak protes dari pembaca. Ada pembaca yang menganggap bagaimana mungkin Pak Dar bisa di paviliun surga kalau cara beliau menyembah Tuhan saja berbeda dengan kita yang muslim. Kepada para pembaca yang memprotes tulisan Mbah Nun. Mbah Nun menjawab,” Saya tidak mempersoalkan agamanya Mas Darmanto karena saya bukan orang yang bikin agama. Yang saya tulis adalah yang indah-indah dari Mas Dar. Saya menghormati manusianya. Saya tidak menilai dia. Saya mengapresiasi cintanya.”
Hal-hal yang indah itu juga diungkapkan Prie GS saat diminta bercerita awal perkenalannya dengan Pak Darmanto. Beliau bercerita ketika diminta Pak Dar menjadi panata cara di acara pernikahan putrinya Pak Dar di Yogyakarta. Perjalanan dari Semarang ke Jogja ditempuh Prie GS dengan menyewa mobil. Bersama Triyanto Triwikromo, Prie sudah tiba di kediaman pengantin saat pagi. Pak Dar tampaknya sudah curiga dengan mobil yang mereka tumpangi. Pak Dar lalu mengambil amplop dan menyerahkan ke Prie GS. “Nyoh, iki kanggo ongkos transport dan ongkos nyewa mobile,” kata Prie GS menirukan Pak Dar saat memberi amplop kepadanya.
Pak Dar langsung yakin kalau mobil yang ditumpangi oleh Prie GS dan Triyanto Triwikromo itu sewaan. Pak Dar pun tanpa diminta langsung mengganti ongkos transoport itu. “Pak Dari itu sudah seperti sufi nyolo wadi.” Beliau berbuat baik kepada siapa pun. Dan, orang yang mengenal beliau secara pribadi akan selalu terkenang kebaikannya. “Cuma sayang kelembutan hatinya Pak Dar disamarkan oleh rambut kribonya,” kata Prie yang langsung disambut gelak tawa hadirin.
Mungkin dari saking seirngnya Pak Dar berbuat baik kepada teman-temannya. Yang membuat banyak orang yang datang menjenguk ke rumahnya saat sakit. Dari teman-teman yang namanya tidak dikenal publik, sampai yang paling dikenal publik. Dari Mbah Nun sampai Deddy Mizwar. Juga banyak seniman-seniman lokal dan nasional.
Bahkan ketika sakitnya belum parah. Pak Dar masih sering dolan ke rumah teman-temannya. Tanto Mendut adalah satu dari sekian temannya yang paling sering dikunjungi Pak Dar. “Sebulan tiga kali, dua minggu sekali, seminggu sekali. Darmanto ke rumah saya. Nangis bareng tertawa bareng. Selama sepuluh tahun terakhir ini. Pertemuan terakhir saya dengan Darmanto, mulutnya tidak bisa berbicara, dan dia tidak bisa membuka mata. Hari itu saya berdoa dan kok saya merasa masuk Kristen. Tetapi menjadi Kristen selama 20 menit. Saya berdoa seperti ini [memeragakan orang membentuk salib], dan hari itu saya rela masuk neraka untuk 20 menit itu.”
Di penghujung acara Mbah Nun menambahkan bahwa Mas Dar saat sakit tidak lagi ingat wajah teman-temannya. Tetapi, kita selalu lihat setiap melihat wajah yang tidak dikenalnya datang menjenguk, Mas Dar hanya senyum dan menangis. “Itu karena memori otak Mas Dar hanya menyimpan yang indah-indah saja. Dia selalu tersenyum bergembira, dan puncak dari kegembiraan itu melahirkan air mata.”
Mbah Nun mengingatkan bahwa harus ada tindak lanjut dari acara ini. Kita harus memaknai Pak Dar untuk kita semua. Mbah Nun menawarkan dua hal yang bisa kita dapat dari Pak Dar. Pertama, kita belajar dari Pak Dar. Kedua, Kita mempelajari karya-karya intelektual Pak Dar. Dua hal itu bisa kita elaborasikan untuk menyadarkan kita bahwa Pak Dar tidak mati. Ia masih memberi arti dari kehidupan yang dijalaninya di alam lain.
Sedangkan Tanto Mendut mengatakan,”Bagi saya Darmanto adalah orang besar di Indonesia, bukan di Semarang.”
Pukul dua belas malam. Acara ditutup dengan pembacaan doa yang dipimpin Mbah Nun. Hadirin pulang dengan percikan kebaikan Pak Dar yang disampaikan teman-temannya. Doa untuk Pak Dar malam itu mengalun dengan merdu. Dan seperti tidak terasa Pak Dar telah pergi seminggu lalu. Selamat jalan Pak Dar… (Yunan Setiawan)