Seakan merupakan “tugas hidup” yang tak pernah berhenti, malam hari ini Cak Nun dan KiaiKanjeng berada di kompleks Pondok Pesantren Nurul Ummahat Kotagede Yogyakarta untuk Maiyahan bersama para santri dan masyarakat Kotagede. KH. Abdul Muhaimin selaku pengasuh ponpes sengaja mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk menjadi sumur utama dalam acara yang bermaksud memeringati Haul Gus Dur ke-6. Itulah sebabnya, Sinau Bareng malam ini bertema “Belajar Kepada Manusia Gus Dur”. Juga sudah hadir pada malam ini adalah Alissa Wahid, putri Gus Dur.
Kyai Muhaimin tidak salah dengan mengundang Cak Nun untuk membersamai masyarakat belajar kepada manusia Gus Dur, karena Cak Nun dekat dengan Gus Dur dalam sejumlah momen-momen sejarah Indonesia, serta Cak Nun sangat sering bertemu dengan masyarakat Nahdhiyyin di berbagai wilayah di Indonesia dan dari sana Cak Nun mengetahui secara dekat denyut nadi rasa, jiwa, pikiran, dan harapan mereka. Untuk menyebut satu momen saja, Cak Nun adalah orang pertama yang mendatangi Gus Dur saat di-impeachment oleh MPR ketika menjadi presiden dan merayunya agar mau meninggalkan istana dan kembali ke Pesantren Ciganjur.
Ketika Gus Dur meninggal dunia, Cak Nun dan KiaiKanjeng serta jamaah Maiyah sedang mengadakan Haflah Maiyah di Jombang, dan ketika mendengar kabar duka itu, langsung jamaah Maiyah menyelenggarakan shalat ghaib berjamaah. Tetapi paginya Cak Nun dan KiaiKanjeng tidak bisa ikut takziyah, karena harus segera ditunggu acara di Gorontalo. Namun, seminggu kemudian, Gus Sholah dan keluarga, meminta Cak Nun dan KiaiKanjeng hadir di pesantren Tebuireng Jombang untuk memeringati tujuh hari wafat Gus Dur, dan Cak Nun bersama KiaiKanjeng memenuhi permintaan tersebut, hadir di makam Gus Dur.
Berbagai elemen masyarakat Nahdhiyyin ingin menghadirkan Cak Nun setiap hendak memeringati wafatnya Gus Dur, seakan tak ada lagi “orangtua” di negeri ini yang pantas untuk mendampingi dan memandu masyarakat dalam merefleksikan atau mengambil pelajaran dari sejarah Gus Dur selain Cak Nun. Termasuk pada malam hari ini di Pesantren Nurul Ummahat Kotagede.
Gus Dur dikenal sebagai tokoh pluralis, toleran, demokratis dan dekat dengan semua golongan. Tetapi menarik, bahwa malam ini KiaiKanjeng sedari awal, hingga saat ini, membawakan justru nomor-nomor shalawatan yang khas pesantren seakan hendak mengingatkan akan induk sejarah Gus Dur yaitu dunia santri, dunia pesantren, dan bahkan cucu dari Hadhrotus Syaikh Hasyim Asya’ari yang mendirikan NU. Jauh sebelum Gus Dur dikenal dengan berbagai predikat, ia adalah seorang santri.
Sebelum Cak Nun naik ke panggung, Mas Islamiyanto KiaiKanjeng dan teman-teman mengajak seluruh jamaah yang memadati jalan kampung di depan kompleks pondok ini untuk melantunkan Shalawat Nariyah, Syi’ir Tanpo Waton, dan Shalawat Badar. Dan tak lama Shalawat Badar dibawakan, dari arah mushalla, Cak Nun didampingi Pak Kyai Muhaimin, Mbak Alissa Wahid, dan para narasumber lain segera naik ke panggung, dan semua jamaah dengan mata yang berbinar menyambut kedatangan Cak Nun. Tiba duluan di panggung, Cak Nun langsung meminta Mbak Alissa dan lain-lain untuk mengambil tempat di panggung.
Untuk tema belajar kepada manusia Gus Dur ini, Cak Nun mengambil posisi merendah, “Jangan percaya bahwa ada orang-orang hebat dari Jombang, mulai mbah Hasyim Asy’ari, KH. Wachid Hasyim, Cak Nur, Gus Dur, dan Cak Nun. Aslinya ada dua lapisan. Yang pertama Dewa, dan yang kedua adalah punokawan. Mbah Hasyim, Gus Dur dll itu masuk pada kategori yang pertama. Nah saya masuk ke golongan yang kedua, yaitu Punokawan bersama Cak Durasim, Asmuni, dan Gombloh. Di situlah maqam saya.” Selain itu Cak Nun juga akan lebih banyak melalulintaskan acara dengan memberi kesempatan yang cukup kepada narasumber dan para jamaah untuk mengungkapkan refleksi, pemahaman, atau apa saja yang terkait dengan Gus Dur. Jika ada pandangan yang perlu direspons, Cak Nun akan coba merespons, menggarisbawahi, atau menarik benang merah.
Tetapi Mbak Alissa relatif memahami posisi Cak Nun. Sedari bertemu di rumah Pak Yai Muhaimin tadi, Mbak Alissa sudah curhat dan mengemukakan kegelisahan akan kondisi negeri ini. Juga situasi NU. Cak Nun merespons dengan jelas dan tegas, bahwa NU harus segera berbenah dan diperbaiki. Mendapatkan kesempatan pertama berbicara, Mbak Alissa mengungkapkan, “Saya senang, dalam acara yang sangat cair ini, justru tersampaikan banyak makna. Saya mau menangis, saat Cak Nun mengatakan anak-anak muda mulai bersemi. Karena tadi saya mengeluh kepada Cak Nun sebagai kakak saya dan sebagai orang yang pernah berjuang bersama Gus Dur, mau dibawa kemana negeri ini. Rakyat kalah terus. Kanan-kiri penuh masalah. Doa al-Fatihah yang dipimpin Cak Nun untuk Gus Dur dan para lelulur menurut saya lebih dari gelar pahlawan. Gelar pahlawan adalah gelar materi. Sedangkan al-Fatihah adalah bekal atau sangu di alam barzakh.”
Kemudian mbak Alissa menggambarkan sosok Gus Dur. “Gus Dur tidak membela kelompok manapun, beliau hanya berjuang melaksanakan surat al-Maidah ayat 8. Gus Dur juga tak perlu dipuja-puji. Beliau adalah seorang guru, tetapi juga mengambil dari guru-guru lain. Dan semua ini adalah implementasi dari semangat yang ditanamkan oleh Mbah Hasyim Asy’ari dan Mbah-Mbah lain saat meletakkan aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) sebagai dasar bagi NU, yaitu sikap tasammuh dan tawassuth.”
Terakhir, mbak Alissa mengenang ayahnya yang baginya orang yang selalu merasa kurang, dan karena itu sering melantunkan do’a Abu Nawas “Ilahi Lastu”, dan ia menirukannya, lalu disambut oleh musik KiaiKanjeng. Jamaah pun bersama-sama ikut ber-Ilahi Lastu, apalagi doa ini sangat populer di pesantren dan masyarakat. Do’a yang juga diangkat kembali oleh KiaiKanjeng dalam album Kado Muhammad dan Wirid Padhangmbulan.
“Yang tidak rukun, jadi rukun. Yang seret, jadi lunyu dan lancar. Yang sakit, jadi sehat,” harap Cak Nun menyusul do’a Ilahi Lastu ini.
Karena lokasi yang bukan lapangan atau alun-alun, melainkan di kompleks pondok yang tak terlalu luas areanya, maka para jamaah memanfaatkan setiap tempat yang ada. Selain yang berada di depan panggung, yang di kanan panggung, juga di halaman rumah dari balik pagar, banyak dari mereka berdiri, sejak awal dan hingga saat ini. Tak terasa capek oleh mereka, karena kenikmatan kebersamaan ini memenuhi diri mereka. Para santri Nurul Ummahat lebih banyak menempati depan panggung, dan siap mengikuti shalawatan-shalawatan.
Sangat mengharukan dan menggetarkan hati menyaksikan jamaah, santri, dan masyarakat duduk lesehan. Khidmat, tapi gembira. Suatu komposisi sosial, komunikasi, dan pengolahan yang sangat unik dan tak ada duanya. Apalagi saat mereka bersuara bersama. Salah seorang pemuka agama Katolik yang hadir di malam ini mengungkapkan, “Tak akan saya lupakan sepanjang hidup saya kebersamaan ini. Dan yang paling mengharukan adalah saat anda semua bernyanyi. Rasanya saya ingin menangis. Ada aura dan nuansa yang terpancar sangat kuat. Kebersamaan ini harus dijaga terus.”
Kyai Muhaimin sebagai memang mengundang sejumlah tokoh dari agama-agama lain, dan hampir semuanya menyatakan kebahagiaannya melihat kebersamaan pada Sinau Bareng ini. Tokoh-tokoh ini diminta menyampaikan pesan, kesan, dan pandangannya mengenai Gus Dur. Tampaknya mereka baru kali ini menghadiri Maiyahan secara langsung. Berbagai ungkapan disampaikan. Ada satu yang mengawali uraiannya dengan menyapa hadirin dengan salam dari beberapa agama. Tentang hal ini, Cak Nun sejenak menarik ke inti dengan menguraikan kandungan makna salam atau assalamu’alaikum arahmatullahi wabarokatuh. Itu adalah komitmen dari yang mengucapkan salam untuk saling mengamankan, serta agar semua bisa menjelma rahmat dan barokah. “Islam itu tatanan dari Allah di antaranya dengan memerintahkan manusia jadi khalifah sehingga mereka harus saling menyelamatkan. Salam itu karenanya relevan diucapkan kepada siapapun saja. Pahami dulu salam tanpa lembaga. Anda mengerti dulu esensinya.”
Merasakan aura dan suasana Maiyahan malam ini, beberapa tokoh agama lain menyatakan, “Dengan cara yang cair, pengajaran iman menjadi bisa diwartakan”. “Saya rasa saya lebih ingin mendengarkan Cak Nun, walaupun ada sedikit yang ingin saya sampaikan mengenai Gus Dur”. Secara umum beliau-beliau ini mengungkapkan apresiasi dan penghargaan kepada Gus Dur sebagai salah satu tokoh bangsa Indonesia. Di akhir memandu para narasumber itu, Kyai Muhaimin sempat menyinggung mengenai pluralisme yang banyak “diplesetkan”.
Mengenai pluralisme ini, Cak Nun menegaskan, “Memang banyak istilah atau kata yang kepleset-pleset. Kata menjadi tidak terdisiplinkan oleh maknanya. Termasuk pluralisme ini. Pluralisme itu milik Allah. Allah yang menciptakan segala sesuatu dengan ciri ‘tidak ada duanya’, hanya ada satu, ya sesuatu itu sendiri yang berbeda dengan sesuatu yang lain. Manusia yang satu beda dengan manusia yang lain. Tidak ada yang tidak ‘tidak ada duanya’. Jadi ragam sekali ciptaan Allah. Karena itu Allah yang punya pluralisme. Kita sekadar menjaga dan merawatnya. Jadi, jangan banyak berbicara mengenai pluralisme, karena pluralisme itu sudah pasti. Dan tak perlu anti-anti-an. Kalau anti, berarti butuh yang di-anti-in dulu. Kalau bisa pro saja paradigmanya. Bukan antikorupsi, tapi pro kejujuran.”
Dalam salah satu responnya atas cerita Alissa mengenai Gus Dur, Cak Nun mengingatkan Gus Dur itu juga sosok yang mblunat atau nakal, “Dan saya punya banyak cerita tentang Gus Dur, yang sifatnya guyon, yang serem, bahkan yang krusial-krusial. Alissa juga tahu, bahwa saya sering pula berbantah-bantahan dengan Gus Dur, berbeda pendapat, bahkan berbeda strategi, tapi itu bukan alasan untuk bermusuhan atau tidak bermesraan. Karena itulah temanya adalah belajar kepada manusia Gus Dur. Jadi, kalau saya beracara malam ini, jangan bilang saya mendukung Gus Dur. Gus Dur tak butuh dukungan. Yang ada adalah setiap orang itu unik dan punya fadhilahnya masing-masing.”
Dari sekian banyak jamaah yang hadir dan memenuhi jalan sehingga tampak lorong panjang manusia, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak muda belia. Mereka usianya sangat terpaut jauh dengan Gus Dur dan Cak Nun. Sesungguhnya merupakan kebutuhan bagi mereka untuk benar-benar mendalami sejarah Indonesia termasuk sejarah Gus Dur, sejarah NU, sejarah Orde Baru, dan lain-lain, tetapi Cak Nun lebih banyak memberikan kunci-kunci agar mereka mencari lebih lanjut. Yang lebih menjadi tekanan pada malam ini adalah kebersamaan, kemesraan, dan kedekatan satu sama lain. Itu sebabnya Cak Nun mengatakan, “Kalau anda ingin merasakan nikmatnya kehidupan, datanglah ke Maiyahan.” Untuk kedalaman ilmu pun, Cak Nun juga mengungkapkan hal yang sama kepada adik-adik generasi muda. Mereka bisa mendalami sesuatu dengan kekayaan perspektif yang komprehensif di Maiyahan. Beberapa prinsip saja Cak Nun cicilkan di malam ini. “Tolong anda bebaskan diri anda dari istilah-istilah, seperti liberalisme dan lain-lain itu. Pada usia 30 tahun ke atas nanti, anda baru tahu bahwa isme-isme itu adalah tipu daya internasional. Jangan berdebat mengenai apa-apa yang ranahnya belum atau tidak jelas. Jangan terlalu fanatik dan menelan mentah-mentah apa yang anda dengar dari buku, media, dan medsos. Juga jangan pernah membayangkan apakah saya menganut liberalisme atau tidak. Saya itu orang desa. Tahunya kata kerja. Saatnya radikal, ya saya radikal. Saya orang kultural, sehingga tidak bisa diikat oleh isme-isme itu.”
Beberapa kisah tentang dan bersama Gus Dur dituturkan oleh Cak Nun sejak di masa Orde Baru hingga saat Gus dur diimpeachment oleh MPR. Ketika dalam sebuah acara di masa Orde Baru, Cak Nun, Gus Dur, Cak Nur, dan Bu Mega berada dalam satu forum. Di tengah acara didatangi gabungan dari Polres dan Kodim untuk dibubarkan. Melihat situasi itu, lalu Cak Nun sebagai yang paling muda di antara ketiga tokoh tersebut, lalu mengambil langkah, menemui bapak-bapak Kodim untuk pada akhirnya bisa dibubarkan dengan aman, tapi dengan diplomasi yang halus sekaligus acara tetap dilanjutkan. “Bapak-bapak acara sudah dibubarkan. Mari kita mulai acara yang baru. Namanya Mauidhoh Hasanah. Gus Dur yang memberi nama, dan sejak itu sering dipakai nama tersebut. Jadi kalau ada apa-apa, jangan langsung marah dan tegang, pakailah diplomasi, siyasah, dan strategi…,” pesan Cak Nun.
Pukul 00.41, acara sudah melewati tanya-respon dengan Mbak Alisa dan Cak Nun. Suasana berganti dengan meriahnya lagu One More Night-nya Maroon 5 yang dibawakan Mas Doni. Tepuk tangan membahana, anak-anak muda itu ceria tertawa dan mengikuti musiknya dengan gerakan-gerakan kepala, tangan, atau badan dengan sederhana tapi asik. Bahkan Mbak Alissa turut menikmati, menoleh ke belakang, melihat gerak dan tingkah mas Doni dalam bernyanyi, dan sesekali mengabadikannya dengan gadget-nya.
“Kalau berbicara mengenai Gus Dur akan sampai ke Mbah Hasyim, ke sejarah NU, ke samping: Muhammadiyah, dan perkembangan terakhir NU, ada Aswaja TV dan TV9, juga ada pertanyaan misalnya NU saat ini apakah memiliki PKB atau PKB memiliki NU. Juga beberapa ulama NU, ada yang riyadhoh dan di dalam vision/mimpinya didatangi Mbah Hasyim Asy’ari di mana Mbah Hasyim menyampaikan keprihatinannya akan kondisi NU saat ini dan berpesan agar NU benar-benar dibenahi,” papar Cak Nun. Lebih jauh, merespon salah satu narasumber yang mengungkapkan kebahagiaannya bisa hadir di Maiyahan ini dan kemudian menceritakan peran dan perjuangan Gus Dur, Cak Nun menegaskan, “Gus Dur sudah tidak ada. Dan tidak adanya Gus Dur ini harus Anda ganti secara kolektif dengan semangat-semangat Gus Dur. Jangan berharap kepada saya. Saya berbeda dengan Gus Dur dalam banyak hal. Jadi Anda semua harus mengisinya secara kolektif.”
Giliran Kyai Muzammil diberi kesempatan oleh Cak Nun. Kyai muda asal Madura dan saat ini menjabat sebagai ketua Bahtsul Masail di PWNU Yogyakarta dan santrinya Kyai As’ad Syamsul Arifin Asembagus Situbondo. Kyai As’ad sendiri adalah sesepuh ulama NU yang meminta Gus Dur untuk mau jadi ketua PBNU saat Muktamar NU di Situbondo pada waktu itu. Kyai Muzammil langsung mengemukakan statement-statement, “Dari tadi saya melihat dan mendengar betapa luar biasa Cak Nun merendahkan diri. Padahal Cak Nun ini orang yang sangat cerdas. Sejauh yang saya tahu dan berdasarkan pengalaman saya, hanya ada tiga orang cerdas di Indonesia. Gus Dur, Gus Miek, dan Cak Nun. Yang kedua pertama sudah meninggalkan kita. Pelajarilah perjalanan hidup ketiga tokoh ini, anda akan tahu bagaimana cerdasnya beliau-beliau. Cak Nun ini tokoh reformasi 1998, dan dari semua tokoh reformasi itu, hanya Cak Nun yang tidak ambil jatah kekuasaan sesudahnya. Jadi Indonesia punya hutang sama Cak Nun,” tegas Kyai Muzammil.
Lebih jauh lagi, kemudian Kyai Muzammil berbicara lugas mengenai kondisi NU saat ini, di antaranya jangan mengaku pengikut Gus Dur atau Gus Durian kalau tidak mengikuti sikap hidup dan semangat perjuangan Gus Dur.
Melihat Kyai Muzammil penuh semangat, akhirnya Cak Nun mengajak dan meminta Kyai Muzammil bercerita lebih jauh sejarah berdirinya NU sejak Syaikhona Kholil Bangkalan Madura. “Yang kita bicarakan dari tadi sifatnya ruhiyah, dan sekarang waktu jasadiyatus syajaroh (jasad sejarah). Tolong dipelajari bagaimana umpamanya Gus Dur menjadi presiden. Siapa yang memproses dan mengawalnya. Juga bagaimana sebenarnya yang terjadi pada reformasi, asal-usulnya, dan bagaimana riilnya yang terjadi. Gus Dur sendiri punya nasab. Gus Dur dan Jombang adalah juga sebuah sejarah tersendiri untuk memahami Gus Dur,” ujar Cak Nun yang lalu mempersilakan Kyai Muzammil meneruskan peta, pemahaman, dan sejarah berdirinya NU sejak dari Bangkalan hingga proses-proses bagaimana Kiai As’ad menerima perintah dari Syaikhona Kholil untuk menyampaikan pesan kepada Kyai Hasyim Asy’ari, dan Kyai Muzammil mendengarkan langsung dari Kyai As’ad sebagai salah satu santrinya.
Terakhir melengkapi paparan sejarah Kyai Muzammil, Cak Nun menjelaskan bahwa Syaikhona Kholil memberikan wasiat kepada tiga orang santrinya: pisang (kekuasaan) dan dua kitab (ilmu dan organisasi umat). Jika diproyeksikan ke masa sekarang, era sejarah pisang dan kitab sudah berlalu, dan sekarang tiba pada era santri keempat yang diberi juga wasiat oleh Syaikhona Kholil, yaitu santri yang menerima cincin. “Kekuasaan sudah, ilmu juga sudah. Sekarang adalah eranya amanat cincin. Dan itulah yang kita hadapi bersama. Jika ini bisa berlangsung segera dan dengan baik, nanti ilmu juga akan bangkit. Acara malam ini adalah khataman mengenai manusia Gus Dur. Malam ini adalah S2-nya Indonesia, khatamannya Indonesia, dan malam ini adalah awal kebangkitan. Malam ini adalah sebuah contoh. Tak masalah bahwa masing-masing masih punya kelemahan. Karena para Nabi pun dalam perjuangannya juga dikelilingi dengan berbagai kondisi, tantangan, dan kekurangan,” tegas Cak Nun.
Menjelang pukul 02.00 selepas Bapak Kapolsek Kotagede mendapatkan kesempatan berbicara yang rupanya fasih, mirip ustadz, dan penuh semangat dalam retorikanya (Cak Nun menyebutnya gabungan Bung Tomo dan Kyai Zaiunuddin MZ), Cak Nun mengajak semua hadirin menata hati, khusyuk, dan membangun optimisme melalui dua rangkaian shalawat yang mendalam dan sublim. Musik KiaiKanjeng mengantarkannya. Dalam hati dan konsentrasinya masing-masing, jamaah berdoa sepenuh harap dan keyakinan. Dan doa penutup dibawakan oleh sohibul bait, yaitu KH Abdul Muhaimin, yang sangat bangga dan bersyukur atas kebersamaan ilmu dan hikmah di malam hari ini.
Sampai detik terakhir doa penutup, para jamaah tak tampak berkurang sedikit pun jumlahnya. Suatu pemandangan yang kerap mewarnai Maiyahan. Mereka berdiri, saling memandang, dan sepertinya enggan meninggalkan majelis ini.