Tak perlu mencari laba dengan nafsu sebab ia akan datang dengan sendirinya. Ketika pagi buta sudah ke pasar, menunggui dagangan sampai senja menjelang, tak mungkin tidak laba akan didulang. Selain sudah menjadi hukum alam atau sunnatullah, juga bentuk ganjaran Allah pada makhluk-Nya yang mau membuka pintu rezeki. Tanpa meniatkan diri mengejar untung pun sudah pasti tak buntung.
Ketika dikaitkan ada rugi yang tak bisa ditolak, itu sudah lain soal. Bisa jadi bahan ujian dari Allah atau malah sekadar siklus kehidupan. Bukankah sudah dimaklumi bahwa kadang hidup di atas, sering juga di bawah? Mbah Nun berulangkali menegaskan bahwa Allah tak tega menyakiti manusia yang ridho pada tiap keputusan-Nya. Bukan berarti pasrah bongkokan tapi sabar dalam menggenggam niat, melaksanakannya, sampai menunggu hasilnya.
Misal saat reklamasi pulau-pulau di Utara Jakarta yang sebenarnya sudah dimulai sejak era Orde Baru. Mbah Nun menyoroti ia dan beberapa kejadian yang tengah menggegerkan masyarakat hingga akar rumput barulah dua lembar kertas di antara ratusan lembar. Program penjajahan tertata rapi yang tak ada bagian ibu pertiwi yang belum terkapling. Hingga gunung pun siap diperkosa untuk penuhi kerakusan dunia industri mengeruk pundi-pundi materi.
Kesepakatan sejenis yang sudah terjadi sejak puluhan tahun silam itu pada hakikatnya mengkhianati Pancasila. Inti dari Pancasila itu sendiri ada pada sila kelima yaitu keadilan sosial. Keempat sila sebelumnya ditujukan untuk yang terakhir tadi, pemerataan pembagian apapun saja. Tak hanya sekadar kesejahteraan yang seringkali dijadikan sebagai patokan keberhasilan oleh mereka yang menyembah materi. Pun dari Pancasila tadi tak mentolerir adanya kapitalis atau liberal. Adanya hanya keadilan untuk bersama.
Pengejawantahan dari nilai keadilan sosial tadi hadir di maiyah dengan keterbukaannya pada apapun. Bahkan Mbah Nun bertahun lalu sudah sering mengatakan jangankan politisi Senayan yang sering umbar janji tanpa pembuktian, sedangkan setan pun dipersilakan hadir di maiyah. Maka tak heran jika Mbah Nun menyatakan bahwa maiyah adalah kaum liberal selibera-liberalnya di seluruh dunia. Berperan bak samudera yang menampung segala. Siapapun dianggap sama .
Lihatlah jendela-jendela tapi tak usah langsung cari kesimpulan. Membuka diri pada berbagai informasi agar bisa adil sebisa mungkin, meski mendekati mustahil. Sama halnya dengan mencari materi dunia pun diperbolehkan saja. Apalagi diniatkan sebagai alat mempermudah hidup dan sarana berbagi manfaat sebanyak-banyaknya. Tak mengejarnya untuk memuaskan nafsu pada dunia terutama mengumpulkan untuk hari-hari ke depan. Akhirnya yang hadir adalah kapitalis-kapitalis pemuja modal dan laba, bukannya keadilan sosial sebagaimana konsep zakat dihadirkan.
Pada dasarnya penjemputan rezeki tadi bukanlah untuk motif balas dendam pada kemiskinan. Bisa dikatakan dendam semacam itu selayaknya ditiadakan agar manusia bisa merdeka niatnya. Bahkan yang diutamakan seyogyanya adalah akhlak baik yang muncul dari pembiasan-pembiasan yang sering dilakukan. Pada akhirnya nanti akhlak itu tadi yang menjadi patokan baik-buruknya manusia, bukannya harta yang jadi pedoman. Sebab saat ini banyak orang kaya yang mendapatkannya dari mencuri harta milik negara.
Pada satu titik akan lebih baik menikmati maiyah daripada tahu kenyataan tentang Indonesia. Sangking busuknya sampai-sampai bisa muntah hanya karena melihat kenyataannya. Jika aksi burung pemakan bangkai saat mencabik mangsanya terlihat menjijikkan, bagaimana dengan sesama manusia yang memakan saudaranya bahkan saat masih hidup? Itulah kenapa niat mengikuti forum seperti maiyah hanya untuk menghibur hati pun diperbolehkan. Jika efek sampingnya adalah ilmu dan kebaikan tentu akan lebih bermanfaat lagi.
Dalam ayat ‘kunfayakun’ Allah menyuruh manusia untuk menyesuaikan kehendak sesuai dengan-Nya. Dianjurkan manusia meniadakan keinginan-keinginan manusiawi yang lumrah hadir. Keburukan lingkungan pun harus dicari hikmahnya kira-kira di mana Allah menitipkan hikmah. Termasuk mencari posisi di mana kita mengisi peran. Maka ruang-ruang ijtihad terbuka luas untuk menjadi pertimbangan. Utamanya untuk niat dan tujuan melakukannya apa. Harapannya nanti ‘kunfayakun’ tadi bisa betul-betul ditangkap maksudnya oleh manusia.
Akibat memaksa kehendak manusia pada Allah terlihat saat pembangunan infrastruktur diutamakan daripada pembangunan manusia. Selain menunjukkan bahwa materialisme atau bendawi didahulukan daripada spiritual termasuk mental, juga menjadi alasan kenapa manusia belakangan ini seolah rusak. Kriteria menilai sesama manusia amburadul, dikira malaikat ternyata setan berjubah, disangka iblis rupanya manusia mukhlis. Terbolak-baliknya penilaian semacam itu dilahirkan dari tak beresnya pendidikan berpuluhtahun ke belakangan.
Maiyah menjadikan dirinya sebagai penyedia atmosfer yang nyaman bagi siapa saja. Mengisi yang selama ini seharusnya sudah lama diperankan oleh negara. Menampung keluh-kesah-gelisah rakyat di bawah. Termasuk saat di Maiyah Gresik kemarin di mana ratusan orang bertahan duduk di atas kubangan lumpur. Padahal 80% di antaranya tidak kenal apa itu maiyah tapi rela khusyuk di tengah situasi dan kondisi yang bagi manusia lainnya sungguh tidak nyaman. Jika bukan Allah yang membolak-balikkan hati, bagaimana menalar fenomena semacam itu yang tak terjadi sekali-dua-kali itu?
Bisa dikaitkan juga semua berasal dari niat. Akad yang penting bukan ucapan di lisan maupun kata di atas kertas. Terpenting justru getaran dalam hati juga tindak lanjut seterusnya saat istiqomah melakoni apa yang diakadi. Dalam akad nikah misalnya, akad hanya sekadar deal-deal-an ala jual-beli pun tak mengapa asalkan pada keseharian diwujudkan dengan mencari nafkah lewat berbagai cara bekerja.
Produk maiyah bukanlah organisasi yang dimulai akad atau ikatan formal lainnya. Hasilnya lebih seperti atmosfer yang dibawa tiap manusia yang tercelup di dalamnya. Individu-individu yang bersikap seperti halnya pohon, mampu memberi banyak manfaat ke berbagai arah. Terutama hadirkan rasa nyaman pada siapapun, bahkan terhadap yang dihina dan direndahkan oleh dunia.
Tak heran jika maiyah bukanlah santri, abangan, komunis, kapitalis, atau liberal. Campuraduk seperti gado-gado. Sulit dipetakan jika tak lama tinggal di dalam atmosfernya. Ia seperti lidi-lidi yang diikat menjadi satu oleh kecintaan pada Kanjeng Nabi untuk menuju Gusti Allah. Bukan kepentingan yang meng-ika-kan kebhinnekaan itu, melainkan semata kebaikan yang menghantarkan pada ketenteraman yang sejati.
Jika kemudian tunaikan kebaikan dimaknai sebagai menghutangi Gusti Allah juga sah-sah saja. Bagaimanapun, Ia sendiri mengabadikannya dalam Quran. Tertuang bahwa ia berjanji akan balas utang kebaikan yang makhluk-Nya lakukan. Jadi tak masalah jika manusia menagih hutang seperti halnya kisah tiga pemuda yang terkurung di dalam gua. Usaha fisik mereka tak mampu menggeser batu penyumbat lubang gua. Lantas masing-masing menyebutkan kebaikan yang pernah ditunaikan. Akhir ceritanya mudah tertebak, pintu terbuka.
Melihat keadaan di Indonesia ini memang terlihat seperti ketiga pemuda tadi. Terhimpit dalam kegelapan yang bisa berakibat terjebak dalam lingkaran keputusasaan. Tekanan yang makin besar bisa berbuah letusan seperti halnya gunung-gunung api yang siap memuntahkan batasan. Maka maiyah harus mencari posisi guna mengurangi himpitan tadi. Jika memang dikehendaki Allah dengan berbagai metode ‘diperjalankan’, sekalian menambah tekanan agar terjadi reset total via letusan pun harus dipersiapkan.