Ia adalah guru yang membimbing kita untuk tetap waras di tengah-tengah keahlian ahli nujum mempermainkan tongkatnya untuk mengelabui mata kita. Ia juga telah membangun sebuah kapal untuk kita berangkat ke perjalanan panjang penuh kesabaran.
Pertama-tama yang wajib diselamatkan dari para pemuda adalah kewarasan. Ia diperkenalkan cara berlogika yang benar, membedakan mana sebab mana akibat, mana jalan mana tujuan, mana sampah mana emas. Tentu, bagi tatanan mapan ini menakutkan. Jika harta benda telah dirampok menjadi petak-petak kepemilikan entah, maka janganlah kewarasan juga ikut tergadai. Generasi yang waras membuat kita memiliki harapan. Ia akan terus berjuang mencari celah cahaya hingga ditemukanlah zaman waras.
Jika waktunya harus pindah kita musti pindah. Karena peradaban yang maju bagi kita adalah pergdaban yang membersamai dan dibersamai Allah.
“Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Hijrah kita lakukan karena kita yakin akan menyongsong kemenangan. Ada beberapa alasan yang mengharuskan kita hijrah. Pertama tempat yang kita tempati ini sudah tidak aman, kewarasan jiwa, akal, dan aktifitas kita terancam. Ruang gerak kita tertutup, beku, buntu. Sebuah peradaban akan hancur ketika dia lalai dan tidak sempat mengambil langkah hijrah pada momentumnya.
Sajarah mengajarkan kita tentang sebab-sebab kehancuran dan kita tidak tepat waktu untuk hijrah. Pertama ketidaksiapan kita untuk membaca fenomena alam. Kita berhenti di atas kenyamanan yang mebahayakan. Kita gagal membaca tanda-tanda, atau abai dan baru terkesima saat kerusakan di depan mata. Hijrah jenis ini mengharuskan kita hijrah secara fisik. Kedua adalah ketidakmampuan mengendus bau busuk dari Barat. Bau busuk itu kita cium wangi. Definisi, tatanan dijungkirbalikan sedemikian rupa. Baik menurut kita buruk menurut mereka dan kita ikut gelombang mereka. Tentang ini kita mesti berhijrah pola pikir. Ketiga adalah jebakan nafsu kekuasaan. Kita hancur karena diadu domba, kita diadu domba karena menghamba kepada penghormatan diri. Para pemimpin berebut kekuasaan dan rakyat dijadikan pertaruhan. Poin ketiga ini mengharuskan kita berhijrah ketetapan hati, melihat posisi, dan menempatkan diri. Bahwa tidak semuanya harus di posisi penguasa. Kemulyaan seseorang tidak ditentukan pada harta dan kuasa. Pembagian posisi dan saling menghormati sangatlah penting. Kanjeng Sunan Kalijaga adalah orang yang memiliki kemampuan di atas rata-rata tetapi dia tidak mau menjadi raja. Ia mengatur para raja.
Ikhtiar harus diupayakan termasuk ikhtiar rekontruksi sejarah dan bahasa. Kita ini generasi baru bukan generasi penerus, jika kita generasi penerus akan meneruskan kegagalan. Untuk apa kita menengok sejarah kalau hanya untuk menghancurkan kepercayaan diri kita? Maka sejarah harus untuk membesarkan hati generasi hijrah.
Sebuah cerita, seorang anak di sekolah dia selalu terkena perundungan dari teman-temannya. Orang tuanya mendapat cara, ia tidak memberi bekal anaknya sebuah senjata tetapi ia membekali anaknya dengan sebuah cerita. Ia bilang kepada anaknya. “Nak, kakekmu itu dulu pendekar yang hebat. Ia mengusai ilmu kanuragan.”
Kemudian anaknya berangkat ke sekolah, ada temannya yang memalak di sekolahan. Atas dasar keyakinan bahwa kakeknya adalah seorang pendekar, ia tantang si pemalak itu. Si anak memenangkan perkelahian. Kasus ini menunjukkan antara gerak dan keyakinan. Sejarah itu mempengaruhi keyakinan kemudian berefek pada pola pikir dan gerak kita. Oleh si bapak, sejarah digunakan sebagai strategi untuk menumbuhkan kepercayaan diri anak. Dengan sejarah pula kita selama ini dihancurkan kepercayaan dirinya. Kita bisa menyontoh si Bapak yang menggunakan sejarah (kadang bohong) untuk membuat anaknya tegak dan maju. Selama kita tidak percaya diri maka selama itu kita diinjak-injak. Mari kita berhijrah.
Gambang Syafaat pada edisi 25 September 2017 ini akan mencoba mengangkat tema “Menyongsong Zaman Waras” untuk mencari berbagai kemungkinan dan jalan untuk ikhtiar-ikhtiar menjejakkan kaki. Kita mesti bertahan untuk tetap waras dan menularkan kewarasan. (Redaksi/hjr).