Ini adalah tulisan saya yang sedianya saya sampaikan untuk memprologi Gambang Syafaat edisi Mei 2017, dalam rangka memantik jamaah. Karena satu dan lain hal, saya tidak menyampaikannya, saya memilih bersama-sama dengan Jam’iyah Tasywiqusy Subban dari Kudus melantunkan Sholawat Asnawiyah.
Agar tidak tercecer, maka saya coba abadikan dengan merangkai menjadi tulisan.
Saat tema disodorkan, yakni (ojo) mendem tafsir, saya mencoba menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di sekitar tema. Mengapa Al-Qur’an harus ditafsiri? Mengapa kitab suci harus dipergauli? Dibaca tidak saja teksnya juga kandungan maknanya.
Saya akan mencoba merunut ke belakang dan membuat pilihan kemungkinan kepada kita. Al-Qur’an itu turun dibawa oleh Nabi Muhammad dalam kurun waktu ± 22 tahun. Setelah itu tidak ada lagi wahyu yang turun dan Risalah ditutup. Atas peristiwa itu, ada dua kemungkinan memperlakukan Al-Qur’an. Yang pertama, memperlakukannya sebagai buku catatan harian sebagian hidup Muhammad.
Pilihan ini artinya, kita meyakini bahwa masa edar Al-Qur’an hanya pada kurun waktu saat diturunkan sampai berhenti, yakni hanya pada periode Muhammad. Tetapi sebagai umat Islam, tidak tepat menempatkan Al-Qur’an hanya sebagai catatan harian perjuangan Muhammad. Maka ada pilihan lain, yakni menempatkan Al-Qur’an sebagai semacam buku agenda.
Pertanyaan lanjutannya adalah, jika Al-Qur’an kita tempatkan sebagai buku agenda, agendanya siapa? Tentu kita jawab agenda Tuhan ada di Al-Qur’an, dan lakonnya adalah alam semesta beserta isinya. Manusia berposisi tidak hanya sebagai lakon yang pasif, tapi kita sebagai mandataris Tuhan, khalifah di bumi, justru diharuskan berperan sebagai subjek yang aktif agar agenda Tuhan terlaksana.
Dulu, kita punya Nabi sebagai juru bicara, jika diandaikan Al-Qur’an adalah peta yang berisi simbol-simbol, maka Nabi adalah guide/pemandunya. Sepeninggal beliau siapakah yang berperan sebagai juru bicara Tuhan? Yang melakukan pembacaan terhadap agenda Tuhan dalam Al-Qur’an? Maka bersentuhan dengan Al-Qur’an adalah kebutuhan, sebab hanya dengan iqro'(membaca) kita bisa tahu agenda Tuhan.
Di situlah kemudian tafsir muncul, tafsir adalah produk dari iqro’ (membaca) Al-Qur’an. Lalu siapakah yang punya otoritas tafsir kebenaran pasca Muhammad? Benar bahwa ulama adalah pewaris Nabi, Tetapi ternyata menjadi masalah juga, sebab warisan Nabi ternyata kadang tidak diterima secara utuh. Ulama yang satu bisa berbeda tafsirnya dengan ulama yang lain. Mendem tafsir adalah saat kita, orang-orang yang bukan ulama, mencoba menafsiri Al-Qur’an dan kemudian terjebak pada keyakinan bahwa tafsir kita itu presisi betul terhadap kandungan Al-Qur’an.
Pilihan membaca Al-Qur’an yang lain adalah tadabbur, jika boleh saya mendefinisikan sendiri, tafsir itu membaca Al-Qur’an secara grosiran, tapi kalau tadabbur adalah membaca Al-Qur’an secara ecer. Karena grosiran, maka diperlukan persyaratan-persyaratan yang ketat, tapi tadabbur syaratnya cukup kerendahhatian dan produknya lebih mendekatkan diri ke Allah dan berefek baik kepada sekitarnya. Tadabbur bisa saja hanya mendialogkan satu ayat dengan satu penerapan, peristiwa, kemudian menemukan ‘klik’ akan kebenaran dan kemanfaatan kandungan Al-Qur’an.
Untuk menampilkan kebenaran tafsir Al-Qur’an, ada setidaknya dua pendekatan, yang pertama, beberapa orang melakukan/menunjukan kesalahan dari orang lain sehingga kebenaran tafsir kita mengemuka. Saya menyebutnya kebenaran logis, para akademisi biasanya menyukai ini, sebab kebenaran logis itu mampu memenuhi dahaga intelektual. Efeknya adalah ada pihak yang diperbandingkan dan dijadikan yang salah, untuk memperlihatkan kebenaran.
Yang kedua, ada orang yang melakukan praktik-praktik langsung, terhadap apa yang dia yakini tanpa menunjukan kesalahan dari orang lain, sehingga efek praktek atas keyakinannya bisa dirasakan orang lain. Saya menyebutnya kebenaran praktis. Bisa jadi hanya satu dua ayat yang diyakini kebenarannya dan dipraktekkan secara kontinyu. Ada saatnya memang kita mengedapankan kebenaran logis, tapi ada kalanya kita justru mengutamakan kebenaran praktis. Yang penting adalah kita tidak gampang “mabok”.
Pada akhirnya, kebenaran logis tidak berarti apa-apa jika tidak memberikan rahmat, tidak disertai kebenaran praktis bagi lingkungan penafsir. Cukup njlimet bukan?