Sebagai manusia yang hanya mencicipi dunia pendidikan agama melalui Madrasah Diniyah, tentu saya masih kalah dengan para alumni pondok-pondok pesantren. Ilmu agama mereka kaya dan luas. Saya sendiri hanya bisa membaca Al-Qur’an, itupun jauh dari fasih. Menafsirkan Al-Qur’an tentu saja saya tidak bisa karena memang tidak mampu. Para Kyai, Alim Ulama , Habaib atau Ustadz tentu memiliki ilmu cukup untuk menafsirkan Al-Qur’an dan nantinya menyampaikan kepada umat bodoh seperti saya ini.
Beberapa ulama tentu memiliki perbedaan dalam hal menafsirkan. Manusia pasti berbeda dalam memandang hal. Lumrah saja jika terjadi perbedaan dalam pemikiran. Bukan masalah jika terjadi perbedaan dalam penafsiran. Masalahnya adalah ketika tidak menerima perbedaan penafsiran itu sendiri. Jika ada salah satu yang memaksakan kebenaran maka perpecahan bisa saja terjadi. Kerugian yang paling terdampak adalah umat itu sendiri. Umat yang tidak cukup memiliki ilmu agama merasa bingung harus memilih mana yang benar.
Lagi-lagi kebenaran menjadi barang dagangan. Orang-orang begitu cepat mengambil keputusan akan kebenaran. Kebenaran tak memiliki definisi yang pasti. Manusia hanya bisa belajar mendekati kebenaran namun tak bisa menyentuh kebenaran itu sendiri. Kebenaran adalak milik Sang Pencipta Kebenaran. Meski tak berlatar dari keluarga dengan agama kuat, aku sungguh beruntung mengenal Gambang Syafaat.
Gambang Syafaat (GS) mendefiniskan diri sebagai perkumpulan jam’iyah. Saya sendiri susah mendefinisikan. Entah pengajian, diskusi atau pentas seni. Kita sebenarnya dibebaskan mengartikan perkumpulan ini. Meski tak rutin tanggal 25 setiap bulan saya hadir, namun saya selalu senang jika bisa datang dan sekadar melihat para jamaah tertawa lepas. Seperti tak pernah terbebani masalah hidup.
GS selalu memberikan tema beragam. Di Bulan Mei kemarin saja ada tema (Ojo) Mendhem Tafsir. Sebagai orang awan tentu saya sedikit paham sebenarnya apa yang mencoba diinginkan penggiat GS kepada para Jamaah. Hidup di era digital dan akses informasi cepat dan mudah berimplikasi akan lalu lintas informasi dengan deras. Siapa saja boleh mengobrolkan apa saja. Masalah ekonomi, politik, pendidikan sampai agama menjadi sajian informasi yang berlalu lalang di lalu lintas media sosial.
Tafsir menjadi kata kerja paling berbahaya akhir-akhir ini. Dengan tafsir, seseorang menjadikan orang lain semacam musuh. Mereka bisa mengolok-oloknya atau bahkan mengancam. Tafsir benar-benar menyusahkan. Tafsir bisa merusak sisi kemanusiaan, memecah persaudaraan umat bahkan menjadi alasan sebuah permusuhan. Oleh sebab itu tafsir jangan dibawa kemana-mana jika kalian sendiri tak menerima sikap ketidakterimaan orang lain atas tafsir kalian sendiri.
Sebagai seseorang yang belajar agama dari madrasah diniyah ini dan sesekali mengunjungi GS, tentu sedikit melegakan. Saya semakin lebih memikirkan tentang tafsir atas seseorang. Apakah sesuai dengan nurani saya atau tidak. Apakah berdampak positif atau negatif terhadap umat. Karena saya yakin nurani manusia memiliki kebaikan dalam memandang kebenaran.
GS adalah tempat terbaik untuk belajar. Tidak ada sekat antar yang bicara dan mendengarkan. Artinya yang berbicara di depan tidak memosisikan diri sebagai guru atau ahli. Jangan juga mennganggap yang mendengarkan itu murid yang perlu dicekoki. Sipa saja berhak berpendapat. GS sangat terbuka akan segala hal. Karena prinsip GS membuka keran sebanyak-banyaknya agar ilmu yang diserap semakin kaya.
Kalian tidak usah terlalu memikirkan latar belakang untuk menghadiri GS. Saya lihat para jamaah GS bukanlah orang-orang seperti Habaib, Ustadz, atau Kyai dengan ilmu agama yang tinggi. Saya lebih sering melihat Jamaah dari latar belakang beragam. Ada Mahasiswa, tukang becak, pedagang kaki lima, karyawan swasta, guru, dosen dan sebaginya. Mereka hanya merindukan tempat mencari ilmu. Tempat yang memberikan ketenangan dan kebahagiaan dalam mempelajari ilmu agama.