Kalau kita ingin mendefinisikan secara serius, apa sih perbuatan baik? Bisa jadi tidak akan terjadi kesepakatan bahwa suatu perbuatan di stempel baik oleh semua orang. Kalau saya memberi predikat orang baik, setidaknya variabel simplenya adalah orang tersebut telah membuat saya gembira. Tentu gembiranya macem-macem, saat misalnya saya ngantuk dan dipersilahkan tidur, serta disodori bantal, itu sudah cukup membuat saya gembira. Saat pas tidak punya uang dikala lapar, lalu ada yang mengajak makan, tentu saya mengatakan orang yang mentraktir saya itu orang baik. Berbagai dimensi kegembiraan, sangat beragam. Itu contoh simple memberi stempel terhadap individu, dengan analogi yang sama, bisa kita kategorikan kelompok/komunitas, apakah mereka baik atau tidak atas dasar dimensi kegembiraan yang dipancarkan. Landasan definisi ini adalah efek kemanfaatan/pancaran kegembiraan, dalam bahasa agama khoirunnaas anfauhum linnaas, sebaik baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya, yang menabur-nabur kegembiraan.
Definisi diatas didasarkan pada sudut pandang “pihak kedua”. Saya berposisi sebagai orang yang diberi kebaikan dan kemudian menstempel “pihak pertama” menjadi orang baik atau bukan. Lalu bagaimana jika kita mencoba mendefinisikan dari sudut pandang “pihak pertama”? Tentu sama saja, terkonfirmasinya bahwa kita telah berbuat baik adalah didasarkan pada umpan balik dari “lawan interaksi”. Menjadi rumit ketika “lawan interaksi” bukanlah pihak yang mudah dibaca responsinya, atau malahan lawan interaksi merespon tidak seketika. Misalnya kita berinteraksi dengan tumbuhan yang responsinya membutuhkan waktu lama, atau berinteraksi dengan jin penunggu rumah kita yang responsinya melintasi “bahasa” dan “ekspresi”. Tidak bisa tidak, kita harus membuat landasan definisinya, dan yang paling mungkin adalah Al amalu bi niyyat. Saat kita melakukan sesuatu pastikan bahwa kita berniat baik, bismillah nandur apik, responsi atau efek dari pihak kedua bukanlah jangkauan kita.
Saat kita nandur apik, dengan niat bismillah, tidak bisa serta merta tanduran kita “tukul-tumbuh”. Tanah saja ada yang subur , ada yang tidak subur. Jadi kalau kita telah berbuat baik dengan tetangga, setiap akhir pekan kita mengirimi martabak, atau kita telah dengan lelah setiap bulan “nggelar cangkruk”, itu sudah nandur, sesubur apa tanah yang kita tanduri, serahkan kepada “Gusti sing mboten sare”.
Perbuatan baik, kalau boleh saya bedah, dibagi dua. Pertama perbuatan baik tersebut sebagai aksi. Kedua, perbuatan baik muncul sebagai ‘ikutan’ atau dengan kata lain, perbuatan baik kedua adalah sebagai reaksi atau responsi.
Mengapa repot-repot saya membedakannya, saya sedang mencoba meneliti kata “amal sholeh’. Perbuatan baik mana dari dua jenis –perbuatan baik sebagai aksi dan perbuatan baik sebagai reaksi- yang dimaksud dengan “amal sholeh”? Disebutkan dalam ajaran agama bahwa setiap perbuatan baik orang yang beriman, bagaikan tanaman padi yang terdiri dari 7 tangkai, dan setiap tangkai tumbuh 100 bulir. Bereaksi baik tidaklah sulit, sebab secara naluriah/alami ketika kita diberi kegembiraan, kita ingin “nyaur”. Kalau di pagi hari kita dikirimi bubur ayam oleh rekan kerja kita, tentu siang harinya kita ingin mentraktirnya pecel. Karena amal sholeh diberikan balasan yang begitu besar, sepertinya perbuatan baik yang dimaksud adalah perbuatan baik yang berdasarkan dari dorongan diri, perbuatan baik sebagai aksi.
Dan itu tidak mudah.
Jika kita tidak bisa memprakarsai kebaikan, tidak meproduksi perbuatan baik, ber aksi baik, setidaknya kita menjadi orang yang merespon kebaikan dengan kebaikan, menjadi orang yang ber reaksi baik. Kalau tidak bisa jadi petani, jangan jadi tanah tidak subur. Mudah ditulis, kadang tidak otomatis dilakukan bukan?