Hari-hari di akhir ini negeri kita tengah disubukkan oleh berbagi peristiwa politik yang jauh dari peristiwa kenegarawanan. Karenanya, Cak Nun juga menulis tentang peristiwa ini dalam sepuluh tulisan di www.caknun.com. Sebelum itu, kalau menengok ke belakang, Gambang Syafaat juga pernah mengangkat tema kajian tentang “Nusantara gemah ripah loh jinawi”. Dalam pengantarnya Cak Nun waktu itu menegaskan, untuk “sekadar” menuju ke arah itu, pasti, masalahnya tinggal di-tauhid-i sebagai rahmat Allah atau tidak oleh kumpulan manusia yang menjalani kebudayaan. Akan tetapi kalau parameter atau titik tuju pembangunan dan perkembangan peradaban ummat manusia adalah (hanya, sebatas) “toto tentrem kerto raharjo”: setan, jin, dajjal juga sanggup meminpin manusia utk mencapainya — tanpa mereka sendiri memerlukannya, demikian lanjut Cak Nun.
Pakailah bahasa modern masa kini: kalau sukses kehidupan adalah pencapaian materialisme, ketertataan demokrasi, kerukunan antar manusia, stabilitas politik, jalan raya lancar, harga kendaraan bisa dijangkau, kuliner semarak, rakyat bisa makan, punya rumah, bisa menyekolahkan anak dan membayar rumah sakit — Dajjal sangat pakar untuk itu. Para koruptor, penipu rakyat, peminpin2 palsu tidak sukar membangun “toto tentrem kertoraharjo“. Amerika Serikat juga TTKR untuk rakyatnya, tapi landasannya perampokan internasional. Belanda TTKR berkat menjajah nenek moyang kita. Bahkan Firaun semillenium TTKR.
Dengan Gemah ripah loh jinawi (kekayaan alam) Indonesia yg melimpah, pelaksanaan toto tentrem kerto raharjo (negara dan pemerintahan) tidak sukar dicapai. Tetapi sukses materialisme seperti itu sebersinar apapun belum dan tidak sama dengan “baldatun thoyyibatun wa (terutama) Robbun Ghofur“. Amerika juga toto tentrem kerto raharjo, tapi itu hasil ngrampok: bukan baldatun thoyyibatun dan Robbun tidak ghofur (mengampuni).
Baldatun thoyyibatun wa (terutama) Robbun Ghofur
Konsep baldatun thoyyibatun wa (terutama) Robbun Ghofur, hanya akan terjadi jika presiden, raja, ratu, atau para perdana menteri sebuah negara memiliki watak kepemimpinan Allah. Mereka boleh menjadi penentu kebijakan, inisiator, penggerak rakyatnya jika ”berwatak” malik (raja) yang dilandasi sifat dan watak Allah lainnya, rahman-rahim, qudus, salam, muhaimin, dst. Konsep robbun ghofur atau negara yang dirahmati Allah indikatornya jelas, outcome kebijakan negara tercermin dari sejahteranya rakyat lahir batin yang berimbas ke alam semesta, karena watak Allah direalisasikan, sehingga tercipta kondisi mukmin (rakyat aman hartanya, martabatnya, dan keamanan nyawanya).
Ujungnya keselamatan (salam) menjadi rahmatan lil `alamin, dan ini hanya bisa dicapai jika kepemimpinan khalifah juga diikuti oleh rakyatnya, yang masing-masing berposisi pula sebagai khalifah atas dirinya sendiri. Pemimpin yang memiliki watak khalifah akan menterjemahkan kebijakannya di atas landasan pokok yang tidak boleh ditinggalkan, yakni sadar se-sadar-sadarnya bahwa bumi (negaranya) adalah ”milik mutlak” Allah, dan kita hanya dititipi.
Sudah pasti konsep penitipan ini dapat kita tamsilkan, kalau kita dititipi motor oleh teman kita, maka ketika mengembalikan tidak ada satu pun yang kurang dari motor itu, misalnya kita ambil spionnya, kita ambil beberapa kaleng bensinnya, dst. Prinsip penitipan akan membuat presiden atau pemimpin untuk tidak main-main dengan bumi milik Allah itu.
Negara-negara yang ”toto tentrem kertorahardjo” seperti Amerika dan sekutunya, tidak berpegang pada prinsip khalifah ini, mereka justru merasa bahwa bumi ini milik diri sendiri dan Allah dianggap tidak ada atau ditiadakan. Karenanya ”wajar” jika mereka mengekploitasi bumi semaunya, dan bumi lain (misalnya lembah Tembagapura Papua), boleh dikeruk semaunya. Demikian juga negara lain, Timur Tengah, boleh diadu domba dan dibunuh rakyatnya untuk diambil minyaknya. Agama lain, boleh difitnah agar pecah negaranya, dan mudah dikibuli rakyat dan presidennya.
Jelas dan pasti, mereka toto tentrem kertorahardjo, karena merampok gemah ripah loh jinawinya bumi lain (yang dianggap bukan kesatuan utuh alam semesta titipan Allah). Konsep mereka bukan robbun ghafur tapi sekadar materialisme. Karenanya bisa jadi presiden negara tertentu menyodorkan diri untuk dirampok demi kepentingan pribadi atau golongan. Dalam Pembukaan UUD 45 negara ini jelas menyodorkan konsep : “Negara berdiri atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”.Dari konstruksi rumusan tersebut nampak bahwa Negara bukan perjanjian antarindividu (apalagi partai politik) atau perjanjian timbal balik (vertrag), namun merupakan sebuah kesepakatan satu tujuan (gesamt-akt). Akibat lebih jauh, dalam pengertian tersebut tidak ada yang namanya “pemerintah” dan “yang diperintah”, namun yang ada hanyalah rakyat dan “penyelenggara negara atas nama rakyat”.
Jalan yang ditempuh para penguasa negara bukan menuju itu, tapi lewat sistem kapitalisme, yang intinya pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Penguasa/pemerintah, seringkali berada dalam pusaran “calo” kapitalisme inti, baik untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Ide utama kapitalisme seperti “modernisasi”, “pertumbuhan”, “efisiensi”, “beranak-pinaknya modal”, “teknologi”, dst, banyak membawa korban karena adanya kesenjangan sosial, ketidakmerataan, kemiskinan, baik karena monopoli, oligopoli, dst, sampai akibat stabilitas politik yang sangat ketat.
Penguasaan sumberdaya alam, relokasi pabrik, dan praktek-praktek perdagangan selalu dikontrol dari pusat kapitalisme inti. Keuntungan dan sumber-sumber kekayaan disedot habis-habisan ke mereka, sementara rakyat berada dalam posisi marginal. Karenanya, pusat kapitalisme inti selalu campur tangan dalam setiap pemilihan kepala negara. Untuk melemahkan satu negara banyak cara yang mereka tempuh, tergantung “kebudayaan kekuasaan” suatu bangsa. Bangsa-bangsa yang pemerintahnya lembek akan mudah di brain washing, lewat serbuan media massa, intel-intel yang memecah belah bangsa, bahkan konon ada lembaga internasional yang tugasnya “mbujuki” para pejabatnya untuk doyan korupsi. Tujuannya agar ada posisi tawar dan lemah pemerintahannya. Kasus sapi impor, Century, jatuhnya Bung Karno, dst jelas terkait dengan kapitalisme inti. Lewat diplomasi kebudayaan pun, Barat mampu menguasai kita, lewat restoran cepat saji, gaya hidup, budaya ngepop,dst.
Jelas bahwa konsep rabbun ghafur lebih menjanjikan karena akan membawa rakyat dan alam semesta ini dalam ampunan Allah. Artinya kebahagiaan yang dicapai tidak hanya tataran material, namun spiritual. Material, uang, harta, kekayaan, bukan tujuan hidup di dunia, namun hanya sekadar alat. Sialnya, dalam menterjemahkan “rabbun ghafur” ini banyak kalangan Islam yang “terjebak” untuk membuat Negara Islam, seperti prinsip khilafah dst.
Mereka lupa bahwa rabbun ghafur tidak dapat dicapai melalui pembentukan “Negara Islam”, namun seberapa jauh nilai-nilai Islam itu diinstitusionalisasikan dalam sebuah Negara. Silakan bikin Negara republik, kerajaan, atau apapun namanya, sejauh nilai-nilai itu diterapkan secara sungguh-sungguh, maka insya Allah akan baldatun thayyibatun wa robbun ghafur.
Dalam sejarahnya, Rasulullah juga tidak membuat “Negara Islam” namun menerapkan nilai-nilai Islam (terutama) di Madinah untuk membentuk masyarakat “madani”. Hasilnya, meski banyak agama dan aliran (Islam, Kristen, Yahudi, Majusi, dst), “negeri” Madinah baldatun thayyibatun wa robbun ghafur. Rasulullah menerapkan watak Allah dalam memimpin Madinah, yakni janji-janji beliau menenteramkan (muhaimin) dengan Piagam Madinah-nya, demikian pula kesantunan beliau dengan menerapkan prinsip rahman dan rahim, sangat membantu kepemimpinannya diterima semua pihak, dan menata semua infrastruktur (bari` dan mushawwir), dst.
Di Jawa
Di Jawa nilai-nilai Islam sebenarnya sudah banyak bertebaran. Konsep Negara orang Jawa adalah memayu hayuning bawono, tidak saja dalam tataran materialisme, namun juga dengan alam semesta. Konsep ekonomi Jawa juga mencerminkan usaha untuk menuju Allah dengan istilah “tuna sathak bathi sanak, urip mung mampir ngombe, urip mung sakdremo nglakoni, Gusti Allah ora sare”, dst, sampai usaha merawat alam seperti “ruwatan bumi”, “ruwatan sengkolo”, dan sterusnya.
Nampak jelas bahwa konsep di Jawa tidak memisahkan ini “masalah agama”, dan ini “masalah negara”. Konsep tersebut juga menempatkan Allah SWT sebagai hal yang primer. Dalam istilah “tuna sathak bathi sanak”, Nampak bahwa mencari harta bukan tujuan namun akibat dari kerja keras (jihad), dan yang penting kehangatan silaturahmi juga tercipta. Dengan kata lain, dalam ajaran Jawa dan Islam silakan jadi ”kapitalis”, namun itu bukan tujuanmu. Justru manusia diturunkan untuk menjadi khalifah yang memanajemen alam semesta, namun semua harus kembali kepadaNya.
”Ideologi” urip mung mampur ngombe, menegaskan bahwa materialisme atau kapitalisme bukan tujuan hidup manusia yang paling dasar, dan bukan tujuan hidup yang sejati, karena belum menggabungkan diri kepada keesaan Allah. Jika orang sudah sampai tataran ini, pasti dia akan menggunakan harta yang ia cari dengan keras itu untuk tujuan menggabungkan diri Allah. Konkretnya, pasti ia akan membelanjakan hartanya di jalan Allah, diantaranya untuk menyantuni fakir miskin, yatim piatu dan tujuan sosial lainnya.
Dalam Islam, ”kapitalisme” yang tidak ditujukan kepada Allah wujud konkretnya adalah menumpuk-numpuk harta. Dalam Surat Al Humazah ayat 1-4. Dimana dikatakan: Celakalah, azablah untuk tiap-tiap orang pengumpat dan pencela. Yang menumpuk-numpuk harta benda dan menghitung-hitungnya. Ia mengira, bahwa hartanya itu akan mengekalkannya (buat hidup di dunia). Tidak, sekali-kali tidak, sesungguhnya dia akan ditempatkan ke dalam neraka (hutamah).
Itulah sekelumit kearifan lokal bangsa kita. Usaha kita selanjutnya adalah terus menggali khazanah ini untuk mewujudkan baldatun thayyibatun wa robbun ghafur.