Orang tua kita telah memberi kita rumah. Setelah berhasil mengusir tikus, curut, cicak yang seenaknya saja menggondol lauk kita, buang air di kakus kita, beranak pinak di kasur kita beberapa waktu yang lalu. Orang tua kita berpesan agar kita membangun pagar. Pagar itu harus kokoh, kuat dan rapat.
Untuk apa pagar itu? Tentu saja pagar dibangun agar tidak semua orang yang lewat melihat tingkah polah kita di dalam rumah. Apa gunanya rumah tanpa pagar. Atap, tiang, lantai memang penting, tetapi pagar juga penting. Hari-hari ini kita kehilangan pagar sehingga saat kita bertengkar dengan isteri, tetangga menyaksikan bahkan turut nimbrung. Karena rumah kita yang tidak berpagar tetangga kita mampu melihat isi dapur kita, bahkan isi kulkas kita. Kita seperti hidup di dalam akuarium. Kita tidak mampu bersembunyi dari penglihatan orang lain.
Untuk apa kita punya rumah, untuk apa kita berkeluarga ketika setiap orang boleh masuk bahkan mengatur-ngatur dimana meja harus diletakkan, lampu harus dipasang. Anak-anak kita lebih percaya dengan apa yang ‘orang-orang’ itu katakan dibanding perkataan kita?
Entahlah. Ini rumah apa pasar. Kita lupa dan tidak mampu lagi mendefinisikan antara rumah dan pasar. Kita sedang berbicara tentang globalisasi dan rumah adalah Negara kita. Globalisasi itu memaksa kita menjadi gelandangan di negeri sendiri. Orang-orang luar masuk membawa modal mereka, mendirikan pabrik-pabrik dan kita hanya menjadi buruhnya yang dibentak-bentak. Yang lebih ironis dari itu adalah, kita menjadi pasar dari produk yang mereka buat.
Alah-alah. Kita ini untuk sekedar mendefinisikan cantik, ganteng saja harus didekte. Setiap hari kita diteror bahwa kulit kita yang coklat ini buruk, hidung kita yang tidak mancung ini tidak keren, dan rambut kita yang hitam itu terlalu biasa. Kemudian mereka jualan saleb pemutih kulit agar kulit kita seputih mereka, cat rambut agar rambut kita semerah mereka, operasi hidung agar semancung mereka.
Jualan, laba, dan kaya. Hal inilah yang menjadi pertimbangan kita untuk mengambil segala keputusan, untuk mengukur keberhasilan. Kita saksikan menjelang datangnya bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Kita benar-benar menjadi pasar. Marhaban ya iklan.
Globalisasi mendorong seluruh dunia satu kebudayaan. Mengutip Markesot bertutur lagi: “Globalisasi adalah dibukanya pintu-pintu dunia sehingga bulatan kehidupan di muka bumi ini campur menjadi satu. Globalisasi ialah dirobohkannya sekat-sekat yang semula memisahkan suatu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya. Globalisasi adalah berperannya sarana-sarana informasi dan komunikasi sehingga semua manusia di dunia saling bersentuhan, bergaul, mempengaruhi satu sama lain. Take and give. Mengambil dan memberikan. Menerima dan menyodorkan.”
“Nilai-nilai dari negara kuat, modal kuat, ekonomi kuat, militer kuat, disodorkan kepada yang lemah. Barat mempengaruhi Timur. Utara menentukan Selatan. Atas mengatur Bawah. Pusat menggiring Pinggiran. Film-film Hollywood diputar di TV Surabaya, tapi ludruk dan jaran kepang tak perlu dipertunjukkan di Los Angeles.” (Emha Ainun Najib – Markesot bertutur lagi).
Dan Negara harusnya menjadi pagar bangsa agar arus global itu tidak bebas masuk bukan malah mempersilahkan, menunjukkan bahkan mengundang orang-orang dari berbagai penjuru untuk “memperkosa” ibu pertiwi. Gambang Syafaat edisi 25 Desember 2016 akan belajar tentang ini.