“Cinta itu suatu keadaan di dalam jiwa manusia. Suatu situasi yang bergulung-gulung di batas kedalaman jiwamu. Sedangkan mencintai adalah keputusan sosial. Mencintai adalah perilaku, langkah perbuatan kepada yang bukan dirimu. Bentuknya tidak lagi seperti yang ada di dalam dirimu. Ia sebuah dinamika aplikasi ke luar diri, bisa berupa benda, barang, jasa, pertolongan, kemurahan, dan apapun sebagaimana peristiwa sosial di antara sesama manusia.
Engkau bisa mencintai meskipun tanpa cinta. Karena perbuatan mencintai bisa engkau ambil energinya dari nilai-nilai sosialitas yang bermacam-macam. Bisa kasih sayang kemanusiaan, bisa kenikmatan bebrayan, bisa toleransi, empati, simpati, partisipasi dan apapun. Atau engkau ambil landasan dari Tuhan: aku tetap mencintainya, menjalankan kebaikan kepadanya, meskipun di dalam dirimu sudah tak tersisa rasa cinta yang eksklusif kepadanya.”
Mempelajari Cinta Dan Belajar Mencintai – Emha Ainun Najdib
Penghujung tahun 2024 tepatnya di bulan Desember, Gambang Syafaat memasuki usia ke-25 tahun atau bisa diistilahkan dengan seperempat abad. Seperempat abad adalah jeda waktu yang cukup panjang untuk menakar perjalanan cinta dalam maknanya yang paling mendalam. Ia bukan sekadar angka, tetapi refleksi dari sebuah perjalanan yang terjalin oleh benang-benang persaudaraan, pengalaman, pengorbanan, dan pengabdian. Dalam konteks komunitas, seperti Gambang Syafaat, usia ini adalah simbol kedewasaan; fase di mana cinta telah melewati transaksionalitas dan mulai menembus dimensi ketulusan. Layaknya seorang penenun yang sabar, setiap helai benang yang dirajut adalah bukti kasih yang bertumbuh—tidak hanya pada sesama, tetapi juga pada Sang Pencipta dan seluruh ciptaan-Nya. Cinta seperempat abad ini menjadi perwujudan dari harmoni antara kebersamaan dan kerendahan hati, sebuah perjalanan yang tidak hanya mengukur jarak waktu, tetapi juga kedalaman makna.
Persiapan perayaan Seperempat Abad Gambang Syafaat Merajut Cinta dimulai jauh sebelum acara berlangsung. Pada tanggal 24 Desember 2024, tenda telah didirikan di area replika Ka’bah Masjid Agung Jawa Tengah oleh sedulur penggiat dan relawan yang meluangkan waktu untuk saling bergotong-royong demi terwujudnya acara. Meskipun awan mendung selalu menyelimuti ketika proses persiapan berlangsung, namun tak bisa memudarkan semangat membara sedulur semua. Persiapan berlanjut pada tanggal 25 Desember dengan mempersiapkan ruang transit, panggung, warung gambang, dan pengaturan peralatan sound serta instrumen musik Kiai Kanjeng, yang telah tiba lebih awal. Para personel Kiai Kanjeng bertolak dari Yogyakarta selepas Dzuhur dan tiba di Semarang ba’da Ashar dengan iringan hujan yang menemani perjalanan mereka. Setelah beristirahat sejenak, dilanjutkan dengan sesi sound check dengan masih diiringi hujan yang mengguyur area lokasi. Namun hujan ini justru menciptakan suasana hangat, ditemani alunan musik yang akan menjadi suguhan utama malam hari.
Kesibukan persiapan ini terekam dalam bidikan kamera dokumentasi, para penggiat dan relawan mengabadikan momen-momen penting untuk kemudian disebarluaskan ke media sosial. Setiap detail ini menandakan bahwa malam peringatan Seperempat Abad Gambang Syafaat Merajut Cinta akan membawa suasana yang penuh semangat, ceria, dan gembira. Selepas Maghrib, para jamaah untuk mulai berdatangan. Banyak dari mereka yang singgah di Warung Gambang untuk membeli minuman hangat maupun dingin, jajanan, atau merchandise edisi spesial milad yang sudah dipajang sedari sore. Para jamaah bersama dengan teman, keluarga, dan rombongannya mulai berkumpul di area yang telah disediakan, angin dingin yang berhembus seakan mengarahkan para jamaah untuk berkumpul dan siap menyambut malam yang penuh refleksi dan kebersamaan.
Sekitar pukul 20.00 WIB, acara dimulai dengan lantunan munajat dari para penggiat Gambang Syafaat, seperti Kang Jion, Mas Ihfan, Mas Wahyudi, Mbak Ayunda, dan Mbak Anjani. Munajat tersebut mengantarkan suasana menjadi penuh khidmat. Mas Ihfan dan Mbak Diyah kemudian membuka forum dengan menggambarkan perjalanan panjang Gambang Syafaat selama 25 tahun. Usia seperempat abad ini diibaratkan sebagai fase kedewasaan, di mana komunitas telah melewati berbagai tantangan, pembelajaran, dan pembuktian diri. Namun, usia ini juga menjadi momentum introspeksi untuk meninjau kembali visi, nilai-nilai inti, dan arah masa depan. Pertanyaan seperti “Sudah sejauh mana kita berjalan?” dan “Ke mana kita akan melangkah selanjutnya?” menjadi refleksi awal dari perayaan ini, menegaskan bahwa usia 25 tahun bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih bermakna.
Cinta Sejati dan Transaksionalitas atas Cinta
Pak Ilyas memulai sesi diskusi dengan kritik tajam terhadap sifat transaksional dalam kehidupan, termasuk dalam dunia akademis. Beliau mengungkapkan bahwa cinta tidak pernah meminta imbalan, melainkan tumbuh dari kedalaman hati yang tulus. Pak Ilyas mencerminkan ini dalam hubungannya dengan maiyah di Gambang Syafaat, bahwa beliau sedang merajut cinta sejati di maiyah karena tidak ada balasan yang diharapkan, baik imbalan dalam bentuk apapun pada setiap prosesnya. Dalam pandangannya, jika seseorang menjalani hidup dengan terus-menerus menghitung balasan atas jasa, maka cinta itu kehilangan makna sejatinya. Pesannya jelas, cinta yang sejati tidak tunduk pada mekanisme transaksi, tetapi bertumpu pada pengorbanan tanpa syarat.
Lebih jauh, Pak Ilyas mengatakan bahwa cinta berkembang berdasarkan apa yang kita amati dan alami setiap hari. Dalam dunia akademis, cinta yang sejati terhadap ilmu pengetahuan seharusnya bukan sekadar untuk mengejar imbalan, prestasi, atau pengakuan, tetapi sebagai upaya untuk memperluas wawasan dan kontribusi kepada umat manusia. Cinta semacam ini membutuhkan kesadaran akan nilai-nilai yang lebih besar daripada diri sendiri. Beliau mengingatkan agar manusia tidak mengajak Tuhan “berhitung,” misalnya dalam menjalankan amal seperti salat, puasa, dan zakat hanya demi balasan pahala. Dengan begitu, manusia akan mencapai pada cinta kepada Allah dan Allah dengan cinta-Nya kepada manusia.
Pak Ilyas juga memberikan ilustrasi menarik tentang cinta melalui kisah Dasamuka dan Sinta. Meski dikenal sebagai simbol kejahatan, Dasamuka menunjukkan cinta yang tulus kepada Sinta, bahkan tanpa pernah menyentuhnya. Pak Ilyas menilai bahwa ada potensi cinta sejati dalam setiap manusia, bahkan dalam hati mereka yang terlihat melakukan kejahatan. Dengan ini, beliau menyampaikan pelajaran mendalam, cinta sejati bisa ditemukan dalam bentuk yang tidak terduga, dan manusia harus belajar melihat cinta di balik berbagai topeng kehidupan. Pemahaman ini mengajak kita untuk merenungkan cinta yang inklusif dan melampaui batas-batas persepsi moral kita.