blank

Filosofi Mepes Dur Angkara berasal dari tradisi Jawa yang kaya akan nilai-nilai moral dan spiritual. Ungkapan ini secara harfiah berarti menekan atau mengendalikan sifat angkara murka, yaitu hawa nafsu destruktif seperti amarah, keserakahan, dan keangkuhan. Konsep ini tidak hanya berakar pada kebudayaan lokal, tetapi juga mendapat legitimasi dari berbagai tradisi spiritual dan agama.

Mepes Dur Angkara mengajarkan bahwa pengendalian diri adalah kunci untuk mencapai harmoni, baik secara pribadi maupun dalam kehidupan sosial. Tetapi, bagaimana konsep ini relevan dalam konteks modern, di mana dinamika kehidupan sering kali memicu sifat angkara murka?

Secara historis, Mepes Dur Angkara adalah bagian dari norma sosial yang berkembang untuk menjaga stabilitas komunitas. Dalam masyarakat agraris Jawa, pengendalian diri menjadi penting untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, serta antarindividu dalam komunitas. Filosofi ini diwariskan melalui berbagai bentuk ekspresi budaya, seperti pepatah, sastra, dan tradisi adat. Pepatah seperti “Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake” menegaskan pentingnya mengatasi konflik tanpa kekerasan.

Relevansi Mepes Dur Angkara tidak hanya terbatas pada budaya lokal tetapi juga memiliki paralel dengan ajaran agama. Dalam Islam, misalnya, konsep pengendalian diri sejalan dengan jihad akbar, yaitu perjuangan melawan hawa nafsu. Surah Al-Ankabut ayat 45 menegaskan bahwa salat mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar. Latihan spiritual seperti salat mengajarkan kedisiplinan, ketenangan, dan pengendalian emosi yang esensial untuk menekan sifat buruk.

Namun, tantangan modern menempatkan nilai-nilai ini dalam ujian yang berat. Salah satu relevansi praktis Mepes Dur Angkara dalam kehidupan modern adalah dalam konteks pengendalian emosi. Ketika seseorang menghadapi provokasi, filosofi ini mengajarkan untuk meredam amarah dan merespons dengan bijaksana. Mepes Dur Angkara menawarkan kerangka moral untuk menghadapi konflik interpersonal tanpa harus melibatkan kekerasan atau dominasi.

Lebih dari itu, filosofi ini relevan dalam mengendalikan keserakahan yang merugikan. Dalam masyarakat kapitalis, hasrat untuk memiliki lebih banyak sering kali mengesampingkan etika dan tanggung jawab sosial. Konsep ini juga perlu dikontekstualisasikan agar relevan dengan tantangan zaman, seperti krisis lingkungan, polarisasi sosial, dan budaya instan.

Pada akhirnya, Mepes Dur Angkara adalah filosofi yang tidak hanya melibatkan aspek etika dan spiritual, tetapi juga menawarkan solusi praktis untuk kehidupan sehari-hari. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh konflik dan keserakahan, nilai-nilai ini mengingatkan kita akan pentingnya harmoni dan keseimbangan. Dengan menghidupkan kembali filosofi ini dalam kehidupan modern, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih damai, adil, dan manusiawi. Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita sebagai individu dapat menginternalisasi nilai-nilai ini dan menjadikannya landasan untuk bertindak?