blank

Mas Helmi Mustofa dalam seperempat abad Gambang Syafaat mengawali pembahasannya dengan menggali nilai spiritual dari mencintai sesama, seperti dari Mbah Nun menggambarkan kepada anak cucu maiyah yang selalu berkumpul bersama untuk sinau bareng karena saling mencintai. Merujuk pada hadis qudsi riwayat Bukhari, Nabi Muhammad SAW menyebut bahwa orang-orang yang mencintai karena Allah SWT, di dalam Allah SWT, dan untuk Allah SWT (al-mutahabbuna fillah) termasuk dalam tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah SWT pada hari kiamat. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat merajut cinta tidak hanya dirasakan di dunia, tetapi juga memiliki dimensi akhirat yang kekal. Melalui ukhuwah yang tulus dan fokus pada persaudaraan atas dasar cinta kepada Allah, seseorang sedang mempersiapkan dirinya untuk layak menerima kebahagiaan surgawi.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللةُ عَنْهُ عَنْ نَبِيّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللّهُ تَعَالَى فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَظِلَّ اِلاَّ ظِلُّهُ…”
“Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw bersabda: Ada tujuh (golongan orang beriman) yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya (yaitu)…”
Lebih lanjut, Mas Helmi menjelaskan bahwa merajut cinta dalam konteks Maiyah adalah bentuk latihan spiritual. Cinta yang tulus bukan hanya soal hubungan interpersonal, tetapi juga urusan al-ghaibiyah—hal yang tidak kasat mata namun nyata dalam keyakinan. Misalnya, cinta kepada Allah SWT, negara, dan keluarga adalah bentuk cinta yang masing-masing harus diberikan secara penuh atau 100%. Analogi struktur gelembung yang saling bertumpuk menggambarkan bagaimana berbagai jenis cinta ini harus harmonis dan saling mendukung. Keikhlasan dan kegembiraan hati dalam mencintai menjadi fondasi penting untuk menjadikan seseorang pantas memperoleh ridha Allah SWT.
Mas Helmi juga menekankan pentingnya ketepatan dalam memilih siapa yang kita cintai, termasuk belajar mencintai guru-guru yang membimbing kita. Dalam maiyah, cinta kepada sesama adalah manifestasi dari cinta kepada Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam prinsip al-mutahabbuna fillah. Kegiatan seperti Gambang Syafaat bukan hanya menjadi ajang berbagi cinta, tetapi juga ladang untuk menanam benih ukhuwah yang akan berbuah kebaikan di dunia dan akhirat. Rajutan cinta ini mengingatkan bahwa manusia diciptakan tidak hanya untuk mencintai yang kasat mata, tetapi juga untuk mengimani dan menghidupi nilai-nilai ilahiah.
Sebagai simbol rasa syukur atas perjalanan panjang selama seperempat abad, acara dilanjutkan dengan prosesi potong tumpeng yang akan diwakili oleh Pak Ilyas, salah satu narasumber yang telah setia membersamai Gambang Syafaat selama belasan tahun, bersama Mas Ihfan selaku ketua Gambang Syafaat. Potongan tumpeng ini bukan hanya wujud perayaan, tetapi juga pengingat akan keikhlasan, kebersamaan, dan cinta yang telah dirajut oleh seluruh elemen Gambang Syafaat. Seusai prosesi ini, suasana akan semakin hangat dengan penampilan spesial dari Kiai Kanjeng, yang akan membawa jamaah dalam alunan musik penuh makna, sekaligus menjadi medium refleksi dan diskusi melalui rangkaian lagu yang telah dipersiapkan dengan baik.

Alunan Musik Penuh Cinta bersama Kiai Kanjeng
Suasana menjadi syahdu ketika panggung Kiai Kanjeng mulai mengalun lembut dengan lagu pembuka, Padang Bulan karya Franky Sahilatua. Lagu ini membawa kenangan akan harmoni alam dan keindahan hidup yang sederhana, membuka ruang bagi jamaah untuk menghayati makna cinta dalam kebersahajaan. Suasana kian menyentuh hati saat Kang Setheng menyuarakan puisi Ummati, Ummati. Setiap kata yang terucap, menggugah kesadaran tentang cinta Nabi Muhammad kepada umatnya—cinta yang melampaui dimensi duniawi.
“Tak bisa kubayangkan ada cinta yang lebih suci dari mulut Nabi yang meronta “Ummati, Ummati pada detik-detik menjelang mati
Tak bisa kubayangkan ada jiwa yang lebih murni dari manusia yang surganya pasti namun kerendahan hatinya tak tertandingi
Tak bisa kubayangkan ada manusia sejati yang Tuhan membuatnya bisa membelah rembulan tapi mencuci pakaian dan menjahit sandalnya sendiri”
Selanjutnya, lagu Jaman Wis Akhir mengubah atmosfer menjadi lebih dinamis. Dengan lirik yang merefleksikan keguncangan zaman, jamaah diingatkan untuk tetap kokoh di tengah badai zaman yang penuh tantangan. Lagu ini menjadi jembatan menuju Jalan Sunyi, sebuah karya yang mengajak setiap orang untuk menemukan kedamaian dalam kesunyian yang penuh perenungan. Tidak berhenti di situ, Lir Ilir yang dipadukan dengan Sholawat Badar menghidupkan semangat religius dalam bentuk yang meriah namun tetap khusyuk.
Pada momen berikutnya, Pakdhe Joko Kamto membacakan Sajak Musik Brubuh, dari kumpulan puisi Nyanyian Gelandangan. Dengan suara lantang namun penuh penghayatan, ia menelanjangi realitas kehidupan dan cinta dari sudut pandang orang-orang kecil yang sering terabaikan. Lalu, Bismillah yang dibawakan Mas Doni menjadi titik perenungan kembali, membawa ketenangan sekaligus harapan dalam setiap not dan liriknya. Setelahnya, puisi Nyanyian Gelandangan oleh Kang Setheng kembali mengetuk hati para jamaah dengan bahasa yang sederhana namun mendalam.
“Wahai bintang gemintang
Kami telah ditipu oleh arah arah arah
Utara dan selatan hanyalah arah
Yang pada lingkaran bumi
Mereka menyatu dalam satu pelukan
Wahai sampai di manakah jejak kami
Kaki kanan melangkah ke depan
Kaki kiri ke belakang
Perjalanan kami tak berketentuan
Keinginan luar dan keinginan dalam kami
Saling berbenturan!”
Tidak hanya soal lagu dan puisi, sesi dialog antara Mas Doni dan Mas Helmi menyentuh kisah cinta yang unik dan penuh makna antara Mbah Nun dan Kiai Kanjeng. Biasanya, Kiai Kanjeng terutama Mas Doni akan memikirkan judul lagu apa yang cocok untuk mengiringi materi yang disampaikan oleh Mbah Nun dalam sebuah kajian secara impromptu. Sudah terdapat 3 judul lagu di benak Mas Doni, namun belum sempat disampaikan ke Mbah Nun. Tiba-tiba Mbah Nun menoleh ke Mas Doni dan langsung berkata “Don, nomer loro” atau “Don, nomor dua”. Memang jika cinta sudah berlangsung dalam waktu yang lama serta teruji oleh waktu dan perjalanan yang panjang; bukan tidak mungkin cinta membawa pengalaman batin yang unik dan tidak terduga.
Mas Azied berkata bahwa Gambang Syafaat adalah simpul yang paling cepat disapih oleh Mbah Nun, namun justru memberikan output yang baik karena bisa berdaya dan tidak memiliki ketergantungan pada sosok Mbah Nun. Mba Ira salah satu jamaah mengibaratkan Gambang Syafaat seperti pelampung di lautan. Memang bukan kapal yang besar dan nyaman, namun ini adalah sebuah bentuk titian agar kita tidak tenggelam dan justru bisa menjadi harapan.
Kemudian, alunan Baina Katifaihi dan Sayang Padaku yang menghangatkan hati, diikuti oleh Rampak Osing yang membangkitkan semangat budaya. Lantunan Ya Thoybah, One More Night dari Maroon 5, hingga Tombo Ati menghadirkan kombinasi yang memadukan spiritualitas dan hiburan dengan harmoni yang unik. Menjelang akhir acara, Mas Helmi memberikan pesan mendalam bahwa cinta duniawi pun bisa diarahkan pada nilai-nilai akhirat, asalkan dilakukan dengan keikhlasan. Pesan tersebut menjadi pengantar menuju Mahalul Qiyam, yang menutup malam itu dengan penuh keharuan dan doa bersama, memberi rasa seakan menenun cinta yang telah dijalin ke dalam satu simpul kebersamaan.