Gus Aniq dalam acara seperempat abad Gambang Syafaat (25/12) membuka diskusi dengan syahadat tiga kali, sebuah pengakuan tauhid yang mengundang keberkahan Allah SWT di komunitas Gambang Syafaat atas upaya merajut cinta agar menjadi rajutan-rajutan yang kuat penuh dengan keihklasan dan kekuatan ilahiyyah. Dalam refleksinya, firman Allah dalam hadits qudsi yang disampaikan Nabi Muhammad SAW menggambarkan Allah SWT sebagai perbendaharaan yang tak tampak, yang ingin dikenal oleh makhluk-Nya. Keinginan Allah ini berakar pada cinta, sehingga Allah SWT menciptakan makhluk dan memberi mereka pengenalan tentang diri-Nya. Dalam konteks ini, Allah SWT dengan cinta-Nya menjadi dasar keberadaan seluruh ciptaan. Hal ini menunjukkan bahwa cinta bukan hanya emosi manusiawi, tetapi prinsip fundamental yang menghubungkan seluruh ciptaan dengan Sang Pencipta.
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَاَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقًا فَعَرَفُوْنِيْ
“Aku adalah perbendaharaan yang samar / tidak tampak. Maka aku cinta yang dikenal. Maka kemudian Aku pun menciptakan makhluk yang Aku beri pengenalan kepada mereka dengan-Ku, dan dengan-Ku lah mereka mengenali aku.”
Lebih jauh, Gus Aniq menekankan pentingnya meneladani Nabi Muhammad SAW sebagai jalan utama untuk mengenal Allah. Nabi Muhammad SAW merupakan perantara yang membawa rahmat Allah SWT kepada makhluk, dan melalui beliau, manusia memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang cinta Ilahi. Konsep segitiga cinta Maiyah, yang terdiri dari hamba yang berharap rahmat dari Allah SWT, Allah SWT memberikan rahmat-Nya kepada Nabi Muhammad SAW, dan Nabi Muhammad SAW yang memberikan syafaat kepada makhluk, menjadi fondasi dalam memahami hubungan cinta ini. Siklus ini mencerminkan harmoni cinta Ilahi yang terus berputar dan menyelimuti kehidupan makhluk-Nya.
Gus Aniq juga menggambarkan bahwa cinta Allah kepada makhluk-Nya penuh dengan benih cinta dan kemesraan. Ia mengaitkan kata hubbun (cinta) dan habbun (benih), menunjukkan bahwa cinta Allah adalah benih kehidupan yang memberikan keberkahan kepada bumi. Dalam konteks Gambang Syafaat, benih cinta ini diharapkan menjadi benih langit dan bumi yang menumbuhkan harmoni. Manifestasi cinta Ilahi ini mengajarkan bahwa segala upaya manusia untuk mencintai harus bersumber dari cinta Ilahi yang lahir dari kata Allah SWT بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ yaitu dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atau Allah Maha Welas Asih. Cinta yang sejati tidak hanya mempererat hubungan antarmanusia, tetapi juga menyelaraskan hubungan manusia dengan Sang Pencipta dan seluruh ciptaan-Nya.
Keikhlasan Sebagai Benang dalam Rajutan Cinta
Pak Joko, sebagai pengurus Museum Ronggowarsito, menyoroti hubungan kolaboratif antara museum dan Gambang Syafaat yang berlangsung pada tahun 2022. Museum, sebagai tempat penyimpanan jejak sejarah dan budaya, menjadi ruang kontemplatif yang selaras dengan semangat Gambang Syafaat untuk merajut cinta. Menurut Pak Joko, upaya merajut cinta membutuhkan suasana yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk duniawi, sebagaimana menempuh jalan sunyi. Dalam keheningan ini, terdapat ruang untuk refleksi dan fokus, sehingga cinta dapat tumbuh dengan keikhlasan yang mendalam. Hal ini, beliau analogikan dengan cinta seorang ibu yang tulus dan tanpa pamrih, menjadi inspirasi bagi manusia untuk mencintai tanpa ekspektasi.
Lebih jauh, Pak Joko menekankan pentingnya berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan kebenaran. Kebaikan, baginya, bersifat universal dan mempersatukan, sementara kebenaran sering kali bersifat subjektif dan memunculkan perpecahan. Dalam konteks ini, Gambang Syafaat melalui kegiatan-kegiatannya telah menunjukkan bahwa cinta yang dirajut dengan keikhlasan mampu melampaui batas perbedaan. Perbedaan, menurut Pak Joko, bukanlah penghalang, melainkan anugerah dari Tuhan sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Museum Ronggowarsito, dengan keragaman koleksinya, menjadi representasi simbolik dari kebersamaan yang lahir dari perbedaan tersebut.
Pak Joko mengakhiri dengan menggambarkan bahwa perjalanan merajut cinta adalah proses panjang yang tidak instan. Dalam proses ini, dibutuhkan keikhlasan untuk menerima perbedaan dan fokus pada kebaikan yang lebih besar. Seperti rajutan yang membutuhkan konsentrasi pada setiap tenunan helai benangnya, cinta juga membutuhkan kesadaran penuh untuk menghargai setiap langkah kecil. Gambang Syafaat, dengan jalan sunyinya, mengajarkan bahwa cinta sejati tidak lahir dari ambisi, tetapi dari pengabdian yang tulus dan kemauan untuk terus berbuat baik.