blank

‘Mengabdi dan berqurban. Qurban itu suatu metoda untuk mendapatkan kedekatan. Adjective-nya taqarrub. Pelakunya Muqarrib. Posisinya menjadi Qarib. Kalau lebih dekat Namanya aqrab. Atau akrab. Qurban adalah metodologi sosial untuk memperoleh sesuatu yang sebelumnya belum dekat kemudian menjadi lebih dekat.” – Mbah Nun

Pada bulan Juni 2024, Majelis Ilmu Maiyah Gambang Syafaat kembali menggelar rutinan dengan mengangkat tema yang relevan dan mendalam “Qorban Demokrasi”. Hadir sebagai narasumber utama adalah Gus Aniq, Pak Saratri, dan Pak Ilyas, di mana masing-masing membawa perspektif unik yang memperkaya diskusi. Nuansa spiritual yang kental dihadirkan melalui lantunan munajat yang khusyuk oleh Kang Jion, Mas Ihfan, dan Mbak Ayunda, menjadi pembuka yang menyentuh sekaligus doa bagi kelancaran dan kebermanfaatan majelis. Aspek kesenian tak luput mewarnai acara, dengan penampilan musik dangdut oleh KSK Wadas dan monolog TRIK karya Putu Wijaya yang dibawakan oleh Teater Gema, mampu menambah kedalaman makna dari tema yang diusung. Sebagai pengantar diskusi, Mbak Diyah, Mbak Arum, dan Mas Nur memberikan mukadimah yang memantik pemikiran dan menjadi pijakan awal bagi dialog yang akan berlangsung. Majelis ini tidak sekadar forum ilmiah, tetapi juga ruang kontemplasi di mana konsep qurban dan demokrasi dijalin dalam diskusi yang komprehensif.

Dalam konteks keagamaan, khususnya Islam, penting untuk memahami perbedaan mendasar antara istilah ‘korban’ dan ‘qurban’. ‘Korban’, yang sering diartikan serupa dengan ‘victim’ dalam bahasa Inggris, mengandung konotasi negatif sebagai tumbal atau sesuatu yang direlakan secara terpaksa. Di sisi lain, ‘qurban’ memiliki makna yang jauh lebih dalam dan positif. ‘Qurban’ berasal dari bahasa Arab yang berarti mendekatkan diri. Dalam praktik keagamaan, qurban merupakan bentuk ibadah yang bertujuan untuk mendekatkan diri antara makhluk dan Allah SWT. Tindakan berqurban dilakukan dengan keikhlasan dan kerelaan, bukan keterpaksaan seperti yang mungkin tersirat dalam kata ‘korban’.

Salah satu contoh paling terkenal dari konsep qurban dalam sejarah Islam adalah kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Penting untuk dipahami bahwa dalam peristiwa ini, Ismail tidak ‘dikorbankan’ melainkan ‘diqurbankan’. Perbedaan ini sangat signifikan dalam memahami esensi dari tindakan tersebut. Nabi Ibrahim, ketika menerima perintah dari Allah untuk menyembelih putranya, mengedepankan nilai keikhlasan yang luar biasa. Keikhlasan ini bukan hanya ditunjukkan oleh Ibrahim sebagai seorang ayah, tetapi juga oleh Ismail sebagai seorang anak. Kisah ini mengajarkan bahwa tingkat keikhlasan yang tinggi dapat mengalahkan godaan iblis, yang selalu berusaha menggoyahkan iman manusia. Kisah Ibrahim dan Ismail ini bukan sekadar cerita sejarah, tetapi memiliki relevansi yang mendalam dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Pertanyaan krusial yang perlu direnungkan adalah: Apakah kita, sebagai umat, siap untuk melepaskan ‘Ismail’ dalam diri kita? ‘Ismail’ di sini bisa diartikan sebagai hal-hal yang sangat kita cintai atau hargai dalam hidup.

Agama Islam, dengan berbagai simbol dan ritualnya, selalu mengedepankan esensi keikhlasan. Keikhlasan ini bukan hanya dalam konteks ibadah formal, tetapi juga dalam setiap aspek kehidupan. Jika seorang Muslim berhasil mencapai level keikhlasan yang tinggi, diyakini bahwa Allah akan menggantinya dengan ketentraman hidup. Ini bukan berarti bahwa tantangan akan hilang, tetapi lebih kepada kemampuan untuk menghadapi tantangan tersebut dengan hati yang tenang dan yakin. Al-Qur’an Surat As-Saffat ayat 102 menceritakan dialog antara Ibrahim dan Ismail, dan mengandung banyak nilai yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Artinya:
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

Dalam konteks Indonesia, praktik demokrasi sering kali lebih mengarah pada sistem voting atau pemungutan suara, daripada musyawarah mufakat yang sebenarnya lebih sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an Surat As-Saffat ayat 102. Fenomena ini mencerminkan adanya kesenjangan antara ideal demokrasi dan realitas pelaksanaannya di masyarakat. Sekitar 50% penduduk Indonesia merupakan lulusan SD yang bekerja di sektor informal. Kondisi ini berpotensi mempengaruhi pemahaman dan partisipasi mereka dalam proses demokrasi yang ideal. Sedangkan kelas menengah, yang seharusnya menjadi motor penggerak demokrasi, cenderung lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan ekonomi harian. Hal ini mengakibatkan sikap apatis terhadap kehidupan demokrasi yang ideal.

Pertanyaan dari seorang jamaah, Mbak Ira, di tengah-tengah pembahasan mengenai adaptasi Pak Saratri di lingkungan kampus yang tidak ideal mencerminkan bahwa tantangan dalam mewujudkan nilai-nilai ideal tidak hanya terjadi dalam konteks demokrasi, tetapi juga dalam dunia pendidikan. Pak Saratri menghadapi kendala dalam mengembangkan ilmu karena terhalang dana dan birokrasi. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara idealisme akademik dan realitas institusional. Pandangan bahwa ilmu seharusnya dikembangkan dengan dasar cinta, bukan dana atau uang, sejalan dengan konsep keikhlasan yang dibahas sebelumnya dalam konteks qurban.

Pilihan Pak Saratri untuk terlibat dalam Maiyah sebagai upaya saling menasihati dalam kebaikan mencerminkan pencarian alternatif di luar sistem formal yang dianggap tidak ideal. Ini dapat dilihat sebagai bentuk ‘qurban’ modern, di mana seseorang rela melepaskan kenyamanan sistem yang mapan demi mencari esensi keilmuan dan kebaikan. Pandangan bahwa agama menjadi motor penggerak akal pikiran, dengan kunci Islam adalah iqra (membaca) dan berpikir, sangat relevan dengan konsep keikhlasan dan qurban yang dibahas sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai agama dapat menjadi fondasi untuk menghadapi tantangan modern, termasuk dalam konteks demokrasi dan pendidikan.

Disusul dengan pernyataan Pak Ilyas bahwa orang yang datang ke Maiyah adalah mereka yang merasa frustrasi dalam lingkup terkecil dan terbesar kehidupannya, merefleksikan kebutuhan masyarakat akan ruang untuk mencari makna dan solusi di tengah kompleksitas kehidupan modern. Ini dapat dihubungkan dengan konsep ‘melepaskan Ismail’ yang dibahas sebelumnya, di mana orang-orang mencari cara untuk berqurban atau melepaskan sesuatu demi mencapai ketenangan spiritual. Penjelasan tentang tiga periode qurban memberikan konteks historis yang lebih luas terhadap konsep qurban yang telah dibahas sebelumnya. Masa Nabi Adam AS, di mana kisah Habil dan Qabil menunjukkan pentingnya niat dan kualitas dalam berqurban. Masa Nabi Ibrahim AS yang menegaskan kembali pentingnya keikhlasan dalam menghadapi ujian. Serta masa Nabi Muhammad SAW yang memberikan panduan praktis tentang qurban melalui hadits.

Perbedaan antara ibadah jasad (salat) dan ibadah material (qurban) menunjukkan bahwa dalam Islam, keseimbangan antara aspek spiritual dan material sangat penting. Ini relevan dengan diskusi sebelumnya tentang keikhlasan dalam berqurban, yang tidak hanya melibatkan tindakan fisik tetapi juga kesediaan hati seperti yang disebutkan dalam Surat Al Kautsar ayat 2.

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ

Artinya:
“Maka, laksanakanlah sholat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!”

Gus Aniq mengambil alih pembahasan dengan sebuah cerita menarik. Raja Namrud, sebagai contoh penguasa otoriter, mewakili antitesis dari nilai-nilai keikhlasan dan qurban yang telah dibahas sebelumnya. Praktik menumbalkan bayi atau anak kecil dalam peradaban Namrud merupakan bentuk ekstrem dari ‘korban’ yang bertentangan dengan konsep ‘qurban’ dalam Islam. Ini menegaskan kembali perbedaan fundamental antara ‘korban’ dan ‘qurban’ yang telah dibahas sebelumnya.

Mimpi Nabi Ibrahim tentang wajah dan tubuh yang bergonta-ganti antara Ismail dan domba menunjukkan kompleksitas komunikasi ilahiah. Cara Nabi Ibrahim untuk memverifikasi mimpinya membawa kita pada konsep kedaulatan spiritual. Kemampuan Nabi Ibrahim untuk memfungsikan indrawinya dengan baik mencerminkan tingkat kedaulatan spiritual yang tinggi. Berbeda dengan kebanyakan manusia sekarang yang mengalami disfungsi hati, jiwa, penglihatan, dan pendengaran. Hal ini menunjukkan bahwa masalah-masalah sosial dan politik yang dihadapi masyarakat modern mungkin berakar pada krisis spiritual yang lebih dalam. Harapan agar manusia memiliki kedaulatan berupa daya pikir dan daya kritis sejalan dengan konsep ‘iqra’ dan berpikir dalam Islam yang telah dibahas sebelumnya. Ini menegaskan pentingnya pendidikan dan pengembangan intelektual dalam konteks spiritual.

Perumpamaan rakyat sebagai hewan ternak dalam Surat Al-A’raf ayat 179 dapat dikaitkan dengan tantangan demokrasi di Indonesia. Ini menyoroti pentingnya kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam proses demokrasi untuk menghindari eksploitasi oleh pihak-pihak yang berkuasa. Padahal manusia diharapkan memiliki kedaulatan berupa daya pikir dan daya kritis, namun rakyat juga sering diibaratkan sebagai hewan ternak yang dagingnya bisa dimanfaatkan kapan saja.

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ كَٱلْأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ

Artinya:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Shohibu baiti dan doa bersama menjadi penutup rutinan Majelis Ilmu Maiyah Gambang Syafaat Edisi Juni 2024. Tema “Qorban Demokrasi” telah membuka wawasan yang mendalam tentang hubungan antara konsep qurban dalam Islam dan tantangan demokrasi di Indonesia. Diskusi ini mengungkapkan perbedaan mendasar antara ‘korban’ dan ‘qurban’, serta menekankan pentingnya keikhlasan dalam ibadah dan kehidupan sehari-hari. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail menjadi cermin keikhlasan tertinggi, dan mampu memberikan pelajaran tentang kedaulatan spiritual yang relevan dengan konteks modern.