blank

Reportase Gambang Syafaat Edisi November 2024: “Ijazah Gen Z”

Manusia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, tetapi tidak melalui jalan yang akan membawa mereka ke suatu titik pemahaman atas dirinya sendiri. Manusia salah sangka atas manusia. Diri manusia menjadi tak kunjung mencapai kesadaran atas diri manusia. Manusia melangkah dengan keangkuhan untuk memahami dan menaklukkan segala sesuatu di luar diri mereka, menguras alam, mengeruk bumi, menguasai sesamanya, sehingga tidak punya peluang untuk mengurusi pemahaman atas dirinya sendiri. Manusia yang sempat mengenal informasi tentang “barang siapa mengetahui dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya”, sampai sekian abad tetap berada dua langkah di belakang posisi “mengetahui Tuhannya”, karena yang ia sangka “dirinya” ternyata bukanlah dirinya — Emha Ainun Nadjib

Generasi Z adalah generasi yang terbuka terhadap berbagai hal, seperti isu sosial dan lingkungan, multikulturalisme, dan kemajuan teknologi canggih saat ini. Forum Majelis Masyarakat Maiyah Gambang Syafaat bulan November 2024 pada malam yang cerah ini bersama jamaah dari kalangan generasi muda, generasi tua, juga berbagai wilayah daerah setempat yang datang bersama keluarga, kekasih, dan teman sebaya dengan penuh semangat untuk sinau bareng maiyah. Tema yang dibahas menyinggung Generasi Z (Gen Z) dengan generasi sebelumnya yang berbagi pandangan tentang tantangan kehidupan masa kini dan masa depan. Tema ini menjadi pengantar forum diskusi Gambang Syafaat yang berjudul Ijazah Gen Z.

Anak muda dan generasi tua memiliki peran aktif dalam hidup bermasyarakat. Semua penggiat Gambang Syafaat selalu siap seperti biasa, mengoptimalkan secara teknis dan lapangan agar tidak ada kendala satupun nantinya. Optimis dengan yang dikerjakan, penggiat kembali kepada Allah dengan berserah diri pada jalannya acara ketika para jamaah sudah hadir dan merapatkan diri untuk berkumpul dan duduk di alas terpal yang sudah tersedia berhadapan dengan para narasumber, di bawah atap tenda yang terpasang dan diselimuti suasana gelapnya malam yang membawa angin dingin.

Mas Wahyudi dan Mas Ihfan membawa jamaah dengan lantunan munajat yang hikmat. Lantunan munajat dengan menyerukan sholawat untuk menyapa dengan menyebut nama Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan membuat kehadiran Gusti Allah di seluruh alam semesta semakin nyata. Pada suasana yang hangat ini, bersama dengan semua jamaah Kang Jion memimpin doa sebagai bentuk kesadaran manusia juga pengingat kepada Allah, dan sekaligus mengawali forum diskusi Gambang Syafaat. Mbak Diyah dan Mas Ihfan sebagai moderator forum diskusi untuk sesi pertama. Dwiko & Friends membuka diskusi pada malam ini dengan suara merdu Mbak Indah yang mendendangkan lagu “Lamunan” diiringi dengan alat musik yang dimainkan. Para jamaah pun terbawa suasana dalam musik yang dialunkan.

Forum diskusi dimulai dengan salah satu jamaah yaitu Mas Farhan yang memposisikan diri sebagai generasi tua dan memberi tanggapan tentang generasi sebelum Gen Z yang memiliki effort atau usaha lebih untuk mendapatkan hal-hal yang menjadi kebutuhan, sedangkan keinginan tidak mudah didapatkan. Namun generasi Z sekarang ini dengan mudahnya mendapatkan hal yang menjadi kebutuhan dan keinginan dengan adanya kemajuan teknologi yang mudah di akses. Kemajuan teknologi seperti media sosial ada sisi positif dan negatifnya, dan anak muda mempunyai pilihan untuk menggunakannya dengan baik.

Mbak Ira menambahkan dengan fenomena yang terjadi pada generasi muda saat ini yaitu Gap Generation, adalah anak muda yang terdampak dari media sosial yang mudah diakses sehingga mereka terpengaruh budaya yang bukan budaya asli Indonesia dan kurangnya kurikulum pendidikan tentang budaya. Anak muda memiliki cara yang berbeda dengan generasi sebelumnya dalam mencari informasi dan mempelajari yang belum diketahui. Generasi sebelumnya dapat belajar kepada guru dan kepada orang yang lebih tua. Mas Sabrang MDP dalam podcast-nya bersama Habib Ja’far mengatakan anak muda sekarang untuk belajar mereka terbilang yatim piatu, karena mereka tidak bisa belajar dari siapapun.

Forum diskusi berlanjut dengan salah satu penggiat Gambang Syafaat yaitu Kang Jion memberikan tanggapan terhadap fenomena yang terjadi, baik anak muda maupun generasi tua perlu menerapkan security diri yaitu membentengi diri atas pengaruh hal-hal yang buruk. Mbak Diyah menutup diskusi sesi pertama dengan memberikan contoh terhadap isu global warming, isu lingkungan yang terjadi saat ini. Generasi muda (Gen Z) melakukan tindakan yang kemungkinan bisa dicontoh generasi sebelumnya yaitu menerapkan penggunaan tumbler dan sedotan bukan dari bahan plastik yang berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan di masa mendatang.

Pendapat dan pandangan yang berbeda kerap terjadi antar generasi, baik generasi muda dengan generasi tua (sebelumnya), bahkan akan terjadi juga kepada generasi muda selanjutnya. Generasi tua kerap mengaitkan nilai-nilai masa lalu sebagai nasihat untuk mengarahkan generasi muda. Sementara Gen Z (anak muda) dengan kecanggihan teknologi yang mereka kuasai, dapat membawa harapan baru dalam menghadapi problematika yang kompleks. Kompleksitas permasalahan tema bulan ini menyentuh pertanyaan mendalam: Apa yang bisa dilakukan Gen Z untuk perkembangan peradaban hidup manusia? Dan apa yang perlu Gen Z berikan kepada anak-anak mereka dari yang mereka pelajari dari generasi sebelumnya? Dalam proses ini, generasi muda selalu dihadapkan pada tugas besar, yaitu mewarisi, menjaga, dan mengembangkan zaman mereka. Kalimat ini merupakan rangkuman mukadimah tema Gambang Syafaat bulan ini.

Sesi kedua forum diskusi selanjutnya masih dengan Mas Ihfan dan Mbak Diyah sebagai moderator. Menghadirkan empat narasumber, yaitu: Pak Saratri, Habib Anies, Mas Agus, dan Gus Aniq. Empat pembicara yang membawa perspektif dan kaca pandang yang berbeda membawa jamaah pada kesadaran diri sebagai manusia yang tidak lupa sebagai manusia, yaitu menuju kesejatian manusia. Ilmu analisa narasumber yang tajam diharapkan mampu membuka cara pandang pikiran jamaah dalam mengolah akal dan hati yang mempunyai tugas sebagai manusia.

Belajar dari Masa Lalu, Menatap Masa Depan
Stereotip bahwa Gen Z adalah generasi yang manja ditantang dengan beragam pendapat, seperti yang disampaikan oleh Pak Saratri. “Kita semua seperti pelaut yang tangguh—lahir dari badai, bukan dari laut yang tenang”, ujarnya, menggambarkan bahwa setiap generasi harus menemukan jalannya sendiri dalam menghadapi tantangan hidup, tanpa melupakan sejarah. Generasi tua, lanjutnya, telah menghadapi kerumitan dan bertahan dengan kemandirian, sementara generasi muda kini menikmati kemudahan teknologi.

Generasi Z atau Gen Z adalah anak-anak yang dilahirkan oleh generasi sebelumnya. Generasi yang lahir dan besar di era teknologi canggih. Generasi Z dinilai lebih cerdas dibanding dengan generasi sebelumnya, maka generasi ini penting untuk perkembangan peradaban Indonesia di masa mendatang. Tantangan hidup di era informasi teknologi yang mudah diakses oleh anak muda akhirnya menjadi kendala di dalam diri mereka. Banyaknya informasi yang mereka ketahui dari internet dan media sosial menyebabkan terkurungnya mereka dalam penilaian diri sendiri. Mereka perlu adanya kerjasama dengan generasi tua dengan kecenderungan memelihara. Sehingga ketika dihadapkan dengan keadaan hidup dengan kompleksitas permasalahan yang rumit mereka mampu menghadapinya. Kelak ketika mereka sudah saatnya terjun ke masyarakat, mereka akan berhadapan dengan lebih banyak orang dengan cakupan kompleksitas masalah yang lebih luas.

Pendidikan di Era Teknologi
Diskusi kemudian beralih ke bagaimana pendidikan berkembang. Kurikulum modern diharapkan mampu mengarahkan siswa untuk belajar secara kritis dan mandiri. “Generasi sekarang punya akses luar biasa terhadap informasi melalui internet dan YouTube”, tambah Pak Saratri. Namun, ini menjadi tantangan bagi para pendidik untuk memastikan bahwa akses informasi ini tidak membuat siswa kehilangan kemampuan memilah dan mengolah pengetahuan. Ada dua pengetahuan yang bisa diajarkan kepada siswa/ anak. Pengetahuan terstruktur bisa diajarkan oleh guru yang berada di lingkungan sekolah dan pengetahuan praktikal bisa diajarkan kapan saja tidak perlu di sekolah sehingga orang tua berperan di dalam pendidikan anak. Pengetahuan struktur dan ditambahi dengan pengetahuan praktikal akan menjadi pengetahuan ilmu yang berguna untuk siswa/ anak dan tidak menjadi sia-sia. Jika ada yang kurang di sekolah, jangan menuntut sekolah untuk mengisi kekurangan, orang tualah yang mengisi kekurangan itu.

Kemudian Habib Anies menambahkan dimensi spiritual dalam pendidikan, mengingatkan bahwa “Manusia tidak hanya dibentuk oleh ilmu analitis, tetapi juga intuisi yang mengakar sejak kecil.” Pendidikan yang efektif, menurutnya, harus menanamkan nilai kemanusiaan dan spiritualitas untuk memperkuat karakter. Karakter bisa dihubungkan dengan sikap yang diambil pada permasalahan yang dihadapi. Sikap yang diambil masing-masing anak muda ini bisa berbeda, ketika dihadapkan pada permasalahan yang sama, sikap yang diambil apakah menjadi seorang korban atau mengambil sikap apa yang harus dilakukan menjadi pelaku bahkan mencari lahan untuk perang. Sikap ini bisa menjadi penyeimbang permasalahan hidup anak muda sehingga membiasakan diri dengan kompleksitas yang rumit dan membentuk karakter kuat secara alami.

Kehidupan Manusia dan Teknologi
Manusia tidak didominasi dengan manusia generasi sebelumnya maupun generasi muda. Pembagian generasi hanya menjadi pembeda berdasar pada tahun kelahiran, yang kemudian ada penamaan generasi tua dan generasi muda. Namun semua generasi bernilai sama untuk perkembangan peradaban hidup manusia di masa mendatang. Allah menciptakan manusia hanya sebagai manusia. Bahwa manusia tidak ada generasi X, Y, Z dan lainnya melainkan hanyalah sebagai manusia. Sama halnya ketika Allah menciptakan jin, malaikat, iblis. Mas Agus menyatakan, dalam diri manusia memiliki tiga unsur yaitu jiwa, badan, dan rohani. Buatlah dirimu hidup dengan makanan, maka jiwa membutuhkan makanan, badan membutuhkan makanan dan rohani juga membutuhkan makanan. Membutuhkan makanan maka akan berpikir menjadi pemangsa, seorang pemangsa pasti mencari pangan dengan berbagai cara karena memiliki hasrat berdasarkan panca indera.

Gus Aniq menyoroti bagaimana teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI), berpotensi membentuk masa depan generasi muda. Namun, ia mengingatkan bahwa teknologi tidak seharusnya menggantikan nilai-nilai kemanusiaan. “AI tidak boleh menjadi penguasa, tetapi pendukung. Yang lebih penting adalah membangun Authentic Intelligence—keseimbangan antara fisik dan ruhaniah”, jelasnya. Gus Aniq juga menyinggung fenomena globalisasi dan hilangnya nilai-nilai lokal. “Matinya kepakaran” akibat akses mudah ke internet menjadi perhatian. “Kreativitas imajinatif yang hilang akan membuat kita kehilangan jati diri”, ungkapnya. Maka perlu untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai tradisional.

Distopia atau Harapan?
Diskusi berlanjut pada isu kemanusiaan di era modern. Habib Anies mengungkapkan kekhawatirannya terhadap peradaban yang terlalu bergantung pada materi, bahkan mengandalkan obat-obatan untuk mengontrol manusia. Ia mengingatkan pentingnya membangun kembali fondasi rohani dengan Tuhan. Sikap optimisnya manusia tetap mencintai Tuhan dan manusia mencintai manusia, sikap ini yang harus dirawat antara generasi tua dan generasi muda untuk peradaban hidup manusia mendatang. Mas Agus juga menambahkan ketika hidup kita tidak hanya tinggal diam. Kita harus menancapkan akar, menaburkan biji, dan merindukan Cahaya; mengutip filosofi alam. Mas Agus menekankan bahwa setiap manusia, baik dari Gen Z maupun generasi sebelumnya, memiliki tanggung jawab membangun peradaban baru yang lebih manusiawi.

Krisis Identitas Diri dan Jalan Kembali
Menghadapi kehidupan yang ada di masyarakat bijaknya generasi muda perlu mengenali diri sendiri terlebih dahulu. Mengenali diri sendiri seringnya terjadi ketika berhasil menguasai atas segala sesuatu yang sudah dianggap ‘sudah selesai’ dipelajari. Mbah Nun menekankan manusia itu perlu berproses, bergelut, berjuang untuk menjaga diri dan menjadi manusia. Ketika dihadapkan dengan situasi tertentu, akibat itu terjadi tanpa sebab yang pasti. Kemudian bagaimana nasib peradaban Indonesia ditangan generasi muda yang sulit mengenali diri mereka sendiri. Karena dengan mengenali diri sendiri, manusia akan menjadi makhluk yang memiliki tujuan hidup, dengan tujuan hidup yang jelas pasti akan ada skala prioritas dalam hidup. Membuat evaluasi diri hari ini menjadi lebih baik dari hari kemarin dan mempersiapkan untuk masa mendatang.

“Apa yang diyakini sebagai ilmu murni yang berdikari telah mengenali dengan sendirinya ternyata masih ada ilmu-ilmu yang bisa dicari untuk mencapai kebenaran dari kebenaran yang tidak mutlak, karena kebenaran hanya milik Allah”, ungkap Habis Anis. Generasi muda (Gen Z) bisa menggunakan metode pembelajaran dengan keeksistensian dirinya digantung pada sesuatu yang lebih abadi dibanding pada yang bersifat sementara. Hal ini beresiko pada ketersinggungan yang tumbuh dengan seiring waktu menggunakan keseimbangan (pandang diri dengan kedaulatan diri) yang outputnya anak muda bisa mengenali diri sendiri dalam mencari identitas diri.

Sesi kedua ini diselingi dengan Dwiko & Friends dengan tembang berjudul “Gugur Gunung” yang dipersembahkan kepada Mas Agus dari simpul Gugur Gunung Ungaran. Tembang Gugur Gunung memiliki arti Gotong Royong, secara harfiahnya tembang tersebut mengajak kita bersama-sama dan saling bahu-membahu dalam membersihkan atau menata lingkungan. Bahkan mengingatkan akan budaya bangsa yang mengutamakan gotong royong, bersama bekerja rukun tanpa sekat apapun yang menghalangi, yang tulus bekerja untuk kemuliaan negara atau kemajuan bangsa.

Diskusi dilanjut dengan beberapa pertanyaan dari para jamaah. Salah satu jamaah bertanya mengutip dari Fahrudin Faiz yang salah satu masalah utama Gen Z yaitu krisis identitas. Generasi ini sering terkejut oleh hal-hal kecil dalam hidup, seperti menyadari cepatnya waktu berlalu. Sebaiknya Generasi Z harus kembali ke orisinalitas diri dengan melambat untuk mempelajari siapa kita dan apa tujuan hidup kita. Diskusi ini menyimpulkan bahwa tugas setiap generasi adalah membuka tabir kemanusiaan, merawat hubungan antar generasi, dan membangun peradaban yang mencintai Tuhan serta manusia. “Anak muda didorong untuk menjadi duta perdamaian global, dengan sikap saling menghormati dan belajar satu sama lain”, ungkap Mas Agus kepada jamaah.

Pertanyaan kedua, dari Mas Rafi tentang menormalisasikan hal buruk, seperti fenomena yang terjadi pada anak muda sekarang ini sudah mengenal dugem dan perilaku buruk yang lain, sikap apa yang tepat untuk kejadian itu sehingga tidak berdampak pada generasi selanjutnya. Kita perlu menilai dari sisi positif dan negatif tentang suatu hal, terkadang hal yang terlihat buruk bagi diri kita bisa menjadi pelajaran baik untuk orang lain. Hanya perlu dengan pola pikir kritis dan mandiri untuk mengetahui mana yang baik dan buruk untuk diri kita.

Pertanyaan lain dari jamaah yang lain, Mas Slamet Santoso memberikan pernyataan ada sekelompok orang atau suku “habib”, dia mengakui awalnya sebagai muhibbin garis keras yang diajarkan cinta habaib, lambat laun menemukan kejanggalan yang di dalamnya ada pembelokan sejarah. Pertanyaan kritis ini hanya ada di maiyah, wajar jika mencintai seseorang berlebih akan merasa dikecewakan apabila dikhianati. Maka perlulah mencintai dan membenci secukupnya, lihat saja pada karya dan akhlaknya agar selalu dalam koridor hanya cinta kepada Allah dan Tuhanku hanya Allah.

Forum diskusi Gambang Syafaat berakhir tengah malam yang selalu dengan khidmadnya di setiap pemaparan para narasumber maupun diskusi. Tawa dan canda selalu menyelimuti berjalannya forum diskusi. Shohibu baiti dan doa bersama menjadi penutup diskusi forum Gambang Syafaat bulan November ini, dan dengan pesan optimisme “Jadilah manusia yang hidup dengan kemanusiaannya”. Di tengah arus informasi yang deras, manusia perlu memiliki kekuatan mental untuk tetap berpijak pada nilai-nilai yang sejati. Generasi tua dan muda dengan segala perbedaan dan keunikan masing-masing, tidak boleh terjebak dalam konflik antar generasi. Sebaliknya, keduanya harus bergandengan tangan untuk menghadapi tantangan masa depan bersama.

“Peradaban bukan milik satu generasi. Ini adalah tanggung jawab kita semua.”