Sebagai spesies, manusia memiliki naluri dasar makhluk hidup yang sama sebagaimana spesies-spesies lain di alam ini. Naluri bertahan hidup dan mempertahankan keberlanjutan kumpulannya.
Manusia berjuang mempertahankan hidupnya selama mungkin bahkan ingin menjadi abadi melampaui kematian.
Untuk memenuhi naluri dasar itu, secara fisik-materi, manusia mencerdasi kondisi dirinya dan lingkungannya dengan kemampuan adaptasi. Juga mengalami proses regenerasi dengan jalan reproduksi, untuk menjamin kumpulannya tetap eksis.
Untuk memenuhi kebutuhan bertahan dan keberlanjutan, ada beberapa jalan, salah satunya dengan cara menikah. Di dalam Islam, pemenuhan naluri reproduksi tanpa jalur pernikahan disebut dengan ‘falaysa minniy’- bukan dari bagian ummatku.
Singkatnya, menikah adalah regenerasi cara Nabi.
Naluri bertahan dan berlanjut pada manusia tidak hanya berhenti di fisik. Ada keinginan menjadi abadi secara immateriil, yakni makna.
Maka layaklah kita tengok hadits nabi tentang tiga hal yang akan terus mengalir setelah manusia mengalami kematian. Ilmu manfaat, anak sholeh dan amal jariyah. Yang kalo boleh disederhanakan ketiga unsur tersebut adalah jalur kebermanfaatan.
Secara teks, hadist tersebut bisa jadi hanya berhenti pada transaksional kredit, pahala. Namun lebih luas, menyampaikan bahwa ada jalan untuk memenuhi naluri bertahan hidup abadi manusia secara makna. Manusia akan bertahan hidup abadi dengan karya kebaikan, kebermanfaatan.
Islam memberi semacam tawaran, bahwa untuk abadi secara fisik, tidaklah mungkin, maka mewariskan ciri dan memori kepada keturunanya dengan menikah adalah solusi. Namun, Islam juga memenuhi hasrat keabadian dengan tawaran keabadian makna/nilai, melalui cocok tanam kebaikan dan kebermanfaatan.
Wallahu a’lam.