Mukadimah Gambang Syafaat Edisi Juli 2024
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ كَٱلْأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ
Artinya:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” – Surat Al-A’raf ayat 179
—
Definisi akal menurut Mbah Nun adalah alat untuk berpikir, mengenali, memetakan, dan menemukan relasi. Namun, terdapat perbedaan antara akal dan otak yang sangat penting. Akal sebagai potensi rohaniah menunjukkan bahwa ia bukan sekadar fungsi neurologis, tetapi memiliki dimensi spiritual. Konsep akal sebagai ‘ujung jari Tuhan’ yang mentransfer cinta dan anugerah ilahi menambahkan dimensi transendental pada pemahaman kita tentang akal. Ini menyiratkan bahwa penggunaan akal yang benar seharusnya membawa kita lebih dekat kepada Tuhan, bukan menjauhkan kita.
Surat Al-A’raf ayat 179 memberikan peringatan yang tegas tentang bahaya tidak menggunakan anugerah Allah – termasuk akal – dengan semestinya. Ayat ini menggambarkan kondisi orang-orang yang memiliki hati tetapi tidak memahami, mata tetapi tidak melihat, dan telinga tetapi tidak mendengar. Hal ini bisa diinterpretasikan sebagai kritik terhadap penggunaan akal yang tidak tepat. Hati yang tidak memahami seperti menggunakan akal tanpa sensitivitas spiritual dan moral. Mata yang tidak melihat dalam artian gagal mengamati dan merefleksikan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta. Serta telinga yang tidak mendengar, di mana ketidakmampuan untuk menyerap dan merenungkan nasihat dan kebijaksanaan.
Akal merupakan anugerah istimewa yang diberikan Allah kepada manusia yang membedakan kita dari makhluk lainnya. Namun, seperti pisau bermata dua, akal bisa menjadi alat yang membawa kita pada pencerahan atau justru menjerumuskan kita ke dalam kebingungan dan kesesatan. Analogi Mas Sabrang tentang pisau yang semakin tajam menghasilkan irisan yang semakin tipis, namun semakin jauh dari wujud aslinya, sangat relevan dalam konteks ini. Akal yang terlalu diasah dalam satu arah dapat membawa kita pada pemahaman yang sangat spesifik dan mendalam, tetapi berpotensi kehilangan gambaran utuh dari realitas yang kita coba pahami.
Dalam dunia akademis dan saintifik, kita sering melihat fenomena ini. Spesialisasi yang berlebihan dapat menghasilkan pengetahuan yang sangat mendalam dalam bidang tertentu, tetapi kadang-kadang gagal melihat keterkaitan dengan bidang lain atau implikasi yang lebih luas. Ini bisa mengarah pada apa yang disebut tunnel vision dalam pemikiran, di mana seseorang menjadi sangat ahli dalam aspek tertentu tetapi kehilangan perspektif holistik.
Mbah Nun mengungkapkan keprihatinannya tentang kurangnya penggunaan akal secara optimal di masyarakat modern. Ini bisa dilihat dalam berbagai fenomena seperti konsumsi informasi yang tidak kritis, di mana orang cenderung menerima informasi tanpa mengolahnya secara mendalam. Adanya polarisasi pemikiran, yaitu kecenderungan untuk berpikir hitam-putih tanpa mempertimbangkan situasi. Serta pengabaian konteks, saat manusia melihat peristiwa secara terisolasi tanpa memahami konteks yang lebih luas.
Konsep harmoni dan kesetimbangan pernah yang diusung oleh Mbah Nun menawarkan solusi untuk mengatasi disfungsi akal. Konsep ini melibatkan pemikiran holistik, yaitu melihat setiap pengalaman sebagai bagian dari rangkaian yang lebih besar. Perlunya integrasi pengetahuan untuk menghubungkan berbagai bidang ilmu untuk pemahaman yang lebih komprehensif. Serta adanya keseimbangan antara akal dan hati, dalam arti menggunakan baik pemikiran rasional maupun intuisi dan empati. Dan yang terakhir adalah refleksi terus-menerus dengan cara mengevaluasi dan mempertanyakan pemahaman kita sendiri.
Disfungsi akal bukan hanya masalah kognitif, tetapi juga spiritual dan eksistensial. Ia menyangkut bagaimana kita memahami diri kita sendiri, orang lain, alam semesta, dan hubungan kita dengan Tuhan. Mengatasi disfungsi ini membutuhkan pendekatan yang holistik, melibatkan tidak hanya pengembangan kemampuan berpikir kritis, tetapi juga kultivasi kesadaran spiritual dan kepekaan moral. Dengan memahami keterbatasan dan potensi akal, kita dapat menggunakannya dengan lebih bijaksana, tidak hanya untuk memahami dunia secara lebih baik, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan mencapai keharmonisan dalam hidup.
Sumber:
Emha Ainun Nadjib. 21 Agustus 2015. Akal Itu Ujung Jari Tuhan. Diakses dari Caknun.com
Helmi Mustofa. 04 Juni 2016. Memahami Kedudukan Akal dalam Islam. Diakses dari Caknun.com
Rony K. Pratama. 27 Januari 2020. Biasakan Berpikir Rangkaian.
Sabrang Mowo Damar Panuluh. 29 September 2018. Garis, Bidang, Ruang. Diakses dari Caknun.com
Sabrang Mowo Damar Panuluh. 09 Oktober 2018. Tajamnya Akal. Caknun.com.