Reportase Gambang Syafaat Edisi September 2024
“Menyelingkuhi Rasulullah Muhammad SAW”
Tema “Menyelingkuhi Rasulullah Muhammad SAW” mencoba mengungkap sebuah fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan modern, di mana banyak orang yang mengaku mencintai Rasulullah, tetapi justru bertindak berlawanan dengan ajaran dan teladan yang beliau wariskan. Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang menyelingkuhi Nabi Muhammad SAW? Apakah orang lain, atau justru kita sendiri sebagai umatnya? Tentu kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW tidak akan pernah menyelingkuhi kita, karena cintanya adalah cinta sejati yang tidak tergoyahkan. Beliau tidak pernah ingkar terhadap umatnya, bahkan terus memohonkan syafaat bagi mereka. Namun, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita benar-benar mengikuti jejak dan tuntunan beliau, atau justru sering menyimpang dari jalan yang beliau gariskan?
Selingkuh dalam konteks hubungan dengan Nabi Muhammad SAW bukanlah sekadar menyekutukan Allah atau melakukan perbuatan syirik. Perselingkuhan spiritual juga dapat terjadi ketika manusia lebih mengutamakan harta, jabatan, dan kekuasaan daripada mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Jabatan dan harta, meskipun bukan hal yang salah, dapat menjadi godaan yang besar jika tidak digunakan sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Nabi. Cinta sejati kepada Rasulullah SAW tidak hanya diucapkan secara lisan, tetapi harus dibuktikan melalui tindakan nyata, yaitu dengan meneladani akhlak mulia beliau, tidak menjadikan kekayaan dan kedudukan sebagai tujuan utama dalam hidup, dan tidak mengabaikan tanggung jawab moral dan spiritual sebagai umat Islam.
Sebagai umatnya, kita telah diwarisi dua hal yang sangat berharga, yaitu akhlakul karimah (akhlak yang mulia) dan uswatun khasanah (teladan yang baik). Kedua warisan ini merupakan bekal utama bagi kita untuk menjalani hidup yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Rasulullah telah menunjukkan contoh sempurna tentang bagaimana kita harus berperilaku, tidak hanya kepada Allah, tetapi juga kepada sesama manusia. Namun, apakah akhlak kita sudah sesuai dengan kepribadian beliau? Apakah kita telah meneladani sifat-sifat beliau dalam setiap tindakan kita?
Kepribadian Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan akronim STAF (Sidiq, Tabligh, Amanah, Fatanah) adalah pedoman yang jelas. Sidiq berarti selalu membenarkan yang haq, Tabligh adalah kemampuan untuk menyampaikan dan mewartakan kebenaran, Amanah berarti dapat dipercaya dan menjauhi sifat khianat, serta Fatanah adalah kecerdasan dalam mencari kebenaran sejati, yaitu tauhid yang tidak menyimpang. Keempat sifat ini harus menjadi pedoman kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Akhlak yang baik adalah akhlak yang matching atau selaras dengan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW, yang dengan itu kita bisa disebut sebagai umatnya yang sejati.
Seiring bertambahnya usia, setiap manusia mencari jati diri yang unik, berusaha untuk berbeda dari individu lainnya. Namun, dalam pencarian ini, kita harus tetap mengingat teladan Nabi Muhammad SAW. Meskipun kita mungkin mengekspresikan diri dengan cara yang berbeda, prinsip-prinsip dasar akhlak Nabi harus tetap menjadi fondasi dari perilaku kita. Jika kita tidak mampu memberi manfaat kepada orang lain, setidaknya jangan menjadi sumber masalah atau kerugian bagi mereka. Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk menjadi rahmat bagi alam semesta, maka kita harus berupaya untuk selalu bermanfaat bagi sesama.
Apapun profesi atau peran kita dalam hidup, karakteristik Nabi Muhammad SAW harus selalu hadir dalam tindakan kita. Dalam setiap langkah kita, entah itu sebagai pemimpin, pengajar, pekerja, atau orang tua; nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kecerdasan, dan kemampuan menyampaikan kebenaran harus menjadi landasan. Dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa kita benar-benar mengikuti jejak Rasulullah dan tidak menyelingkuhi ajaran dan cintanya yang suci.
Salah satu hal yang menarik dari kehidupan Nabi Muhammad SAW adalah cerita tentang masa mudanya. Beliau sudah dikenal sebagai sosok yang jujur, amanah, dan pekerja keras sejak usia muda. Sebelum menerima wahyu dan diangkat menjadi nabi, kepribadian mulia Nabi sudah sangat menonjol dalam kehidupan sehari-harinya. Beliau tidak pernah terlibat dalam perbuatan negatif, dan selalu dihormati oleh masyarakat Mekah karena integritas dan sifat Al-Amin yang dimilikinya. Akhlak mulia ini bukan hanya sebuah warisan ilahi yang tiba-tiba, melainkan hasil dari perjalanan panjang kontemplasi, observasi, dan interaksi dengan lingkungannya. Kejujuran Nabi Muhammad SAW, yang menjadi salah satu ciri khasnya, muncul dari proses perenungan mendalam tentang kebenaran dan kehidupan.
Dalam hal kekayaan, Nabi Muhammad SAW menunjukkan contoh yang sangat luar biasa. Beliau tidak pernah memonopoli kekayaannya, bahkan ketika beliau memiliki kekayaan yang cukup melalui pernikahannya dengan Khadijah. Nabi justru menggunakan kekayaannya untuk membantu yang membutuhkan dan menyumbangkan sebagian besar hartanya untuk kepentingan masyarakat. Perilaku ini sangat berbeda dengan banyak tokoh-tokoh zaman sekarang yang lebih cenderung menumpuk kekayaan untuk diri sendiri. Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengutamakan harta atau menjadikannya sebagai tujuan, melainkan alat untuk berbuat baik dan membantu sesama.
Lebih dari itu, ketika Nabi Muhammad SAW berdakwah, beliau tidak pernah menerima bayaran atas dakwahnya. Dakwah yang beliau lakukan didasari oleh rasa tanggung jawab kepada umat, bukan karena motivasi material. Hal ini sangat kontras dengan banyak ulama dan tokoh agama saat ini, yang terkadang menjadikan dakwah sebagai profesi yang menghasilkan uang. Nabi Muhammad SAW berdakwah karena panggilan ilahi, tanpa pamrih, dan tanpa mengharapkan imbalan, sesuatu yang harus kita contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Mengutip konsep Proxemics dari Edward Hall (1966), jarak antara peristiwa dan makna merupakan sesuatu yang harus diperhatikan dalam memahami sejarah dan tradisi. Jarak 1500 tahun yang memisahkan zaman Nabi Muhammad SAW dengan masa kita sekarang, adalah jarak peradaban yang sangat signifikan. Namun, meskipun ada jarak waktu yang begitu panjang, hal ini tidak boleh menjadi alasan untuk menjauhkan kita dari nilai-nilai dan ajaran yang beliau tinggalkan. Peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW tetap relevan hingga kini, hanya saja maknanya perlu diinterpretasikan sesuai dengan konteks zaman modern.
Meskipun kita hidup di zaman yang berbeda dan jauh dari kesempurnaan, kita tetap harus berusaha untuk membawa karakteristik utama Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu ciri utama yang harus kita teladani adalah ketidakmampuan beliau untuk melihat umatnya menderita. Nabi Muhammad SAW memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap penderitaan orang lain. Beliau tidak hanya merasakan kasih sayang biasa, tetapi memiliki sifat Raufur, yaitu kasih sayang yang mendalam, serta Rahim, yang berarti penuh belas kasih. Kedua sifat ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah tinggal diam ketika melihat umatnya dalam kesulitan; beliau selalu berusaha membantu dengan sepenuh hati.
Nabi Muhammad SAW juga memainkan banyak peran penting yang memberi pengaruh besar bagi umat manusia. Dalam pre-eksistensi, Muhammad SAW dikenal dengan Amr Muhammati, sebuah konsep di mana beliau dipersiapkan oleh Allah sejak awal sebagai figur pembawa ajaran ilahi. Sebagai Nur atau cahaya, beliau adalah manifestasi dari ilmu Allah yang memancar kepada umat manusia, memberikan pencerahan dalam kehidupan mereka. Peran beliau sebagai Demi Urgos, yaitu agen atau duta kehormatan, menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah duta Allah yang membawa misi untuk memandu manusia menuju jalan yang benar. Terakhir, sebagai Arketipe, Nabi Muhammad SAW menjadi suri teladan yang universal. Kehidupan dan perilaku beliau adalah model atau pola yang dapat ditiru oleh semua umat manusia, tidak terbatas pada konteks waktu atau tempat.
Manusia memiliki dua jenis kesadaran, yaitu kesadaran penetap dan kesadaran penyinggah. Kesadaran penetap cenderung membuat manusia terfokus pada kehidupan duniawi dan mengabaikan keberadaan akhirat. Orang yang memiliki kesadaran penetap melihat dunia ini sebagai satu-satunya realitas dan hidup seolah-olah akhirat tidak pernah ada. Sebaliknya, kesadaran penyinggah dimiliki oleh orang-orang beriman yang menyadari bahwa hidup di dunia hanya sementara. Mereka memahami bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, dan hidup mereka di dunia hanyalah persinggahan menuju kehidupan akhirat yang kekal.
Hilangnya kesadaran, baik secara penetap maupun penyinggah, menjadi awal mula seseorang melakukan tindakan “selingkuh” terhadap ajaran Nabi Muhammad SAW. Ketika kesadaran tergantikan oleh dorongan eksternal, seperti godaan harta, jabatan, atau status sosial, manusia mulai terseret ke arah yang lebih buruk. Bahkan, manusia bisa menjadi lebih rendah daripada hewan ternak yang diperbudak oleh keinginan duniawi. Nabi Muhammad SAW dikenal dengan gelar Al-Amin oleh orang-orang Quraish, yang mengakui kejujuran dan integritas beliau. Namun, ketika beliau menyampaikan kebaikan dan ajaran yang dapat menggoyahkan posisi sosial mereka, kaum Quraish menolak dengan keras. Ini menunjukkan bagaimana kesadaran sosial yang penetap—yang hanya terfokus pada dunia—bisa menolak kebenaran.
Dalam kehidupan modern, kesadaran penetap sering disupply oleh sains dan teknologi yang menginginkan segalanya serba instan. Hidup manusia terfokus pada kemudahan, kemewahan, dan kenikmatan duniawi, yang membuat mereka lupa akan tugas spiritual dan komitmen kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk menghindari tindakan “menyelingkuhi” Nabi, kita perlu meredefinisi cinta kepada beliau, yakni dengan selalu melihat kelebihan dan kebaikan yang beliau ajarkan, bukan kekurangan dalam diri kita atau orang lain. Cinta yang sejati adalah cinta yang mampu mengarahkan kita untuk memperbaiki diri dan mendekatkan kita pada nilai-nilai yang beliau bawa.
Selain itu, tahiyat akhir dalam salat mengandung frasa “Assalamu’alaika”, yang seolah-olah menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW berada di depan kita dan menyaksikan setiap perbuatan kita. Ini mengingatkan kita bahwa Nabi Muhammad SAW selalu hadir dalam hidup kita, baik secara spiritual maupun melalui ajaran yang beliau tinggalkan. Dengan merasakan kehadiran beliau, kita dapat lebih menjaga perilaku dan tindakan kita agar senantiasa selaras dengan nilai-nilai yang diajarkan Nabi, sehingga kita tidak lagi terjerumus dalam tindakan “menyelingkuhi” beliau.