blank

الۤمّۤۚ ۝١
Alif Lām Mīm.
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَۛ فِيْهِۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ ۝٢
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَۙ ۝٣
(yaitu) orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka,
وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ ۝٤
dan mereka yang beriman pada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad) dan (kitab-kitab suci) yang telah diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan adanya akhirat.
اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ۝٥
Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.


Diawali dengan konsep hamba (عبد / ’Abd) dalam bahasa Arab, yang terdiri dari tiga huruf yaitu ‘ain, ba’, dan dal. Setiap huruf ini membawa makna simbolis yang menguraikan inti dari posisi hamba. Huruf ‘ain melambangkan esensi atau inti; ba’ melambangkan asal-usul dari realitas, yang menunjukkan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah; dan dal melambangkan penunjuk atau bukti adanya hasil dari realitas tersebut. Konsep ini menggambarkan bahwa hamba adalah seseorang yang terhubung dengan asal-usul penciptaannya, serta membawa makna dan tujuan sebagai hasil dari keterkaitan dengan realitas ilahi.

Salah satu metode untuk menafsirkan ayat dalam Surat Al-Baqarah tentang “iman kepada hal-hal yang ghaib” adalah dengan metode ta’wil, yaitu memahami ayat dengan melihat asal makna huruf-hurufnya. Sebenarnya, frasa tersebut lebih tepat diterjemahkan sebagai “mengimankan dengan perangkat yang ghaib”. Hal ini berarti manusia beriman dengan berbagai perangkat yang tidak terlihat, yang merupakan pengaruh-pengaruh ilahi dalam kehidupan. Perangkat ini meliputi:

– Perangkat Allah sebagai sumber segala pengaruh,
– Perangkat malaikat sebagai fungsi dan pelaksana pengaruh tersebut,
– Perangkat kitab sebagai panduan teknis dalam beribadah dan hidup sesuai kehendak Allah,
– Perangkat nabi/utusan Allah sebagai contoh langsung (role model) dalam menerapkan nilai-nilai ilahi,
– Perangkat dampak akhir sebagai konsekuensi logis dari tindakan manusia, dan
– Perangkat pengelolaan kadar (takaran) Allah, yang memberikan manusia kendali dalam menjalankan takdir yang diberikan.

Beberapa poin menarik lalu muncul mengenai konsep penghambaan manusia dan pilihan dalam menentukan arah pengabdiannya. Pertanyaan utama yang diajukan adalah, apakah manusia benar-benar memiliki pilihan untuk tidak menghamba pada sesuatu? Menghamba di sini bisa berarti tunduk pada sesuatu yang dianggap penting, entah itu Tuhan, dorongan nafsu, atau keinginan-keinginan fisik. Argumen ini menyiratkan bahwa manusia selalu berada di bawah kendali suatu kekuatan atau dorongan, entah eksternal atau internal, yang memengaruhi keputusan dan tindakannya. Dengan kata lain, manusia mungkin tidak memiliki pilihan untuk “tidak menghamba” sama sekali, karena hidup selalu melibatkan prioritas dan pengabdian pada sesuatu di luar dirinya.

Selanjutnya, mana yang paling optimal untuk dihamba? Pertanyaan ini mengarahkan pada pencarian bentuk penghambaan yang paling bernilai dan menguntungkan bagi pertumbuhan pribadi manusia. Menghamba pada Tuhan mungkin bisa menjadi pilihan yang lebih optimal dibanding menghamba pada nafsu atau dorongan material, karena hal-hal tersebut cenderung lebih temporer dan sering kali tidak memuaskan secara mendalam. Dalam konteks ini, penghambaan yang paling optimal adalah yang selaras dengan tujuan dan kebutuhan esensial manusia.

Menghamba pada Tuhan bukanlah sekadar dogma atau doktrin keagamaan, melainkan keputusan logis. Dengan melihat realitas kehidupan, menghamba pada Tuhan dianggap sebagai pilihan yang masuk akal karena Tuhan dipandang sebagai sumber utama dari keberadaan dan tujuan hidup. Sebagai hamba, manusia diberikan peluang terbesar untuk tumbuh melalui pengabdian kepada Tuhan, karena Tuhan menciptakan manusia dengan potensi-potensi yang hanya bisa terwujud melalui kepasrahan dan pengabdian. Penghambaan ini, jika dijalani dengan kesadaran dan logika, bukan hanya menjadi aspek religius semata, tetapi juga sebuah pilihan yang masuk akal untuk menjalani hidup yang penuh makna.

Mas Sabrang MDP mengangkat beberapa poin penting tentang keberadaan akal sebagai salah satu aspek ghaib yang secara ironis sering diabaikan meskipun kita menggunakannya setiap hari. Akal sebagai hal ghaib merujuk pada kenyataan bahwa akal tidak dapat diindra, namun fungsinya nyata melalui kemampuan kita berpikir, menganalisis, dan memahami. Meski begitu, banyak yang meragukan validitas akal dalam menghasilkan bukti karena sifatnya yang tak terlihat. Padahal, ada bukti empiris (bukti nyata yang dapat diamati) dan bukti formal (bukti yang diperoleh melalui penalaran logis), yang keduanya dapat memberikan makna. Mas Sabrang menekankan bahwa makna itu sendiri adalah sesuatu yang ghaib—sesuatu yang tidak berwujud namun sangat menentukan nilai dan persepsi kita terhadap dunia.

Kemampuan akal untuk bereposisi setiap hari juga menjadi perhatian. Akal memiliki kemampuan unik untuk mengubah sudut pandang, dan inilah yang membuatnya sangat berharga dalam interaksi manusia. Jika kita tidak melatih diri untuk bereposisi atau berganti perspektif, pikiran cenderung menjadi kaku dan mudah mengeluarkan penilaian atau tuduhan yang tidak berdasar. Oleh karena itu, fleksibilitas akal dalam merespons situasi secara objektif dan dinamis sangat penting untuk membangun pemahaman yang mendalam dan adil.

Konsep Theory of Mind juga disinggung sebagai aspek penting dalam berinteraksi dan memahami sesama. Theory of Mind, yakni kemampuan untuk membayangkan atau menempatkan diri dalam kondisi orang lain, memungkinkan kita memahami alasan atau kondisi yang memotivasi seseorang bertindak atau berpikir dengan cara tertentu. Dengan mencoba melihat dari perspektif orang lain, kita dapat menghindari asumsi yang berlebihan dan lebih memahami latar belakang emosional maupun rasional seseorang.

Perangkat ghaib dalam diri manusia mengacu pada aspek-aspek non-fisik seperti akal, keyakinan, dan intuisi. Perangkat ghaib inilah yang berperan penting dalam memproses iman atau keyakinan, namun di sisi lain juga bisa menjerumuskan jika tidak diolah dengan baik. Sumber penghambaan atau keyakinan sejati berasal dari perangkat ghaib ini, namun ketika tidak diarahkan dengan bijak, perangkat yang sama bisa mengarahkan seseorang pada pikiran dan tindakan yang merugikan. Pandangan ini menyoroti pentingnya menggunakan akal dengan keseimbangan dan kesadaran agar menjadi perangkat yang konstruktif, bukan destruktif, dalam membangun kehidupan spiritual dan sosial.

Mas Sabrang MDP menyoroti bagaimana kesempatan dapat memengaruhi perilaku seseorang, khususnya dalam konteks pilihan antara berbuat baik atau buruk. Namun, ia memberi contoh menarik dengan karakter Kumbakarna dalam epos Ramayana. Kumbakarna, meski mengetahui perilaku Rahwana, tetap memilih membela negaranya dalam situasi perang, yang dapat menimbulkan pertanyaan: apakah tindakannya ini benar-benar bisa dianggap jahat? Di sini, kesetiaan kepada bangsa dan tanggung jawab moral menjadi aspek yang rumit dalam menilai suatu perilaku. Mas Sabrang tampaknya ingin menyampaikan bahwa konteks di balik tindakan seseorang harus dipahami sebelum langsung memberikan penilaian baik atau buruk.

Poin berikutnya menekankan pentingnya tanggung jawab pribadi agar perilaku kita tidak justru membawa dampak buruk bagi bangsa, khususnya Indonesia. Artinya, tindakan dan keputusan sehari-hari memiliki potensi untuk memberikan dampak signifikan bagi arah perkembangan sosial dan budaya suatu negara. Oleh karena itu, menjaga energi dan mengarahkan perhatian kepada orang-orang yang tepat dan dapat dipercaya adalah penting. Mengalokasikan energi kepada lingkungan atau individu yang dapat berkontribusi positif memungkinkan seseorang untuk memaksimalkan dampaknya secara konstruktif.

Kita harus masuk ke dalam dunia di mana tolak ukurnya adalah kelebihan kita sendiri. Ini berarti menilai diri dan bertindak berdasarkan bakat dan potensi yang telah diberikan Tuhan, serta menjadikannya sebagai hadiah untuk masyarakat. Fokus ini mendorong kita untuk memberikan yang terbaik kepada sesama sebagai bentuk rasa syukur atas rahmat yang dimiliki. Dalam hal interaksi sosial, Mas Sabrang MDP mengusulkan pendekatan yang bijaksana: daripada berusaha menyadarkan orang lain, berikanlah inspirasi. Tujuannya adalah agar orang lain bisa melihat, belajar, dan terinspirasi melalui teladan, bukan paksaan. Menyadarkan sering kali menghadapi resistensi atau penolakan, tetapi inspirasi yang tulus dan alami dapat mendorong orang lain untuk berubah secara sukarela dan lebih mendalam.

Dalam kaitannya dengan ketauhidan, Mas Sabrang mengangkat teori Neil deGrasse Tyson tentang pembuktian keberadaan Tuhan, meskipun manusia tidak pernah secara langsung bertemu dengan Tuhan. Neil deGrasse Tyson, seorang astrofisikawan, menyoroti keterbatasan persepsi manusia dalam memahami sesuatu yang tak terjangkau pancaindra. Argumen Tyson adalah bahwa tidak semua yang eksis bisa dibuktikan melalui pengalaman langsung, sehingga manusia sering kali menggunakan simbol atau konsep tertentu untuk mewakili gagasan tentang keberadaan yang maha agung.

Sebenarnya banyak konsep-konsep yang kita ketahui dan konsep-konsep yang berada di luar jangkauan pengetahuan kita. Konsep yang tak terjangkau ini sering kali disimplifikasi dan diberi nama “Tuhan” atau istilah lain yang menunjuk pada sesuatu yang luar biasa. Dalam konteks ini, Tuhan merupakan simbol dari yang Maha atau yang paling tinggi, yang kemudian dipersonifikasi atau diberi atribut tertentu seperti sifat kasih, keadilan, atau kekuasaan. Penggunaan simbol-simbol ini membantu manusia untuk merasakan hubungan dengan yang tak terhingga, sekalipun pemahaman kita terhadapnya sangat terbatas.

Mas Sabrang juga membahas berbagai istilah seperti God, god, deity, atau dewa, yang dalam berbagai budaya dan agama merujuk pada entitas yang dipandang sebagai kekuatan ilahi atau yang maha kuasa. Istilah-istilah seperti Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, atau Semar adalah contoh manifestasi lokal dari konsep ketuhanan yang dipuja dalam konteks budaya tertentu di Nusantara. Di dunia Barat, God sering kali dipahami sebagai sosok yang dapat dilihat atau didefinisikan dalam bentuk yang lebih konkret, berbeda dengan konsep ketuhanan dalam Islam yang menekankan ketidakterjangkauan Tuhan oleh akal dan penglihatan manusia, serta sifatnya yang absolut tanpa gambaran fisik.

Diskusi ini memperlihatkan bagaimana perbedaan budaya dan agama membentuk cara pandang terhadap konsep ketuhanan. Dalam Islam, Tuhan adalah entitas yang tak dapat dilihat atau dipahami secara utuh oleh manusia, melainkan hanya dapat diketahui melalui sifat-sifat-Nya. Pandangan ini mengarahkan pada kepercayaan akan keberadaan yang maha mutlak tanpa perlu perwujudan fisik, sehingga iman menjadi jembatan antara yang diketahui dan yang tidak diketahui.

Majelis kali ini membuka perenungan mendalam tentang konsep ketuhanan dan spiritualitas, khususnya dengan mengupas makna hamba dan kaitannya dengan aspek-aspek ghaib seperti iman dan akal. Tema besar ini diangkat untuk mengingatkan bahwa agama tidak sekadar mengajarkan dogma, melainkan memberikan pedoman hidup yang kompleks namun bernilai tinggi bagi setiap orang yang beriman. Kesadaran kita akan aspek-aspek ghaib adalah bukti bahwa manusia selalu berada dalam hubungan dengan hal-hal yang tidak terlihat, seperti akal dan makna, yang meskipun tak berwujud namun sangat mempengaruhi perilaku dan nilai-nilai kita.

Manusia harus mampu melihat konsep ketuhanan sebagai hal yang jauh lebih luas dan kompleks daripada sekadar simbol. Mengabdi kepada Tuhan bukan sekadar pengetahuan atau keyakinan yang dangkal, tetapi sebuah kedalaman yang dibentuk oleh pengalaman, akal, dan keimanan yang berkembang sepanjang hidup. Manusia yang beriman tidak hanya menghambakan diri kepada Tuhan melalui ritual, tetapi juga dengan menjaga keseimbangan akal dan iman agar keduanya saling mendukung dalam menjalani kehidupan.