Tema tulisan pada kesempatan ini, yang dipersembahkan untuk millad Mbah Nun ke-70 Tahun membuat hati dan pikiran kami bercakrawala. membuat kami bersyukur sangat bahagia namun juga sendu dan haru. Apalagi yang ingin ditulis? Apalagi yang ingin dituangkan? Bukankah selama ini Mbah Nun selalu bersama kita di berbagai kesempatan? Bahkan, bukankah para anak cucu maiyah selalu bermimpi beliau dikala tertidur dalam gelap dan temaram? Bukankah setiap kita melihat sesuatu, dan mendengar sesuatu lalu ingat bahwa sesuatu itu yang pernah disampaikan Mbah Nun juga? Lalu bermuara pada ilmu yang beliau sampaikan bahwa kalau bisa kita melihat sesuatu atau berpikir sesuatu lalu semakin ingat dan mendekat kepada Allah dan kanjeng Nabi. Kita mengenal khazanah itu semua dari Mbah Nun. Ya, sepertinya para anak cucu maiyah menyetujui pertanyaan-pertanyaan itu semua.
Mbah Nun pernah dawuh di Padhang Mbulan, kalau tidak salah pendengaran saya, beliau dawuh yang intinya dalam bahasa indonesia “Saya makan di hotel kemarin kalian ya mengetahui sendiri, yang saya pesan dan makan ya hanya tempe tahu penyet dan sambal, aku mikir kalian semua anak cucuku sudah bisa makan semua apa belum”. Dari redaksi ;yang saya dengar tersebut sudah bisa kita rasakan bahwa beliau pin juga memikirkan kita, menangisi kita di waktu-waktu beliau dan jadwal belaiu yang sangat padat. Sudah tentu yang beliau lakukan selama ini dan memasuki usia angka 70 ini adalah untuk kita semua.
Saya memohon maaf dan menyampaikan salam kepada seluruh jamaah maiyah. Bukankah 70 Tahun itu angka yang lama? Bukankah itu angka yang senja? Bukankah itu sudah menjelang Maghrib? Bukankah kita ini dianugerahi Allah untuk menangi Mbah Nun? Sampai kapan kita ini bersama Mbah Nun? Sampai kapan kita bisa memeluk dan mencium tangan beliau? Sampai kapan kita bisa mendengar pendar-pendar ilmu dan hikmah dari beliau secara langsung dan tidak langsung? Merasakan atmosfer duduk melingkar bersama dengan Mbah Nun, tanpa pamrih, tanpa protokoler ketat seperti pejabat parlente. Dari semua itu kita mengenal kebersamaan, merasakan kedekatan satu sama lain. Merasakan ukhuwah insaniyah, mengetahui makna dan mengerti memanusiakan manusia. Dari Mbah Nun kita mendapat banyak hal. Hal yang semakin dicari semakin tak kunjung habis. Hal yang tak berbatas. Menembus dimensi-dimensi paternalistic, berselancar dan menghindar dari ombak-ombak formalitas. Menendang aturan-aturan baku yang membelenggu. Pikiran kita diajak beliau untuk zig-zag mengalahkan sekat-sekat dan kesempitan pengetahuan. Mbah Nun mengajak mendobrak kedangkalan berpikir, memecah kesempitan nalar. Kira-kira sampai kapan Mbah Nun & Kita bersama? Ya Allah, Astagfirullah.
Saya pernah duduk sendiri di tengah alun-alun kota Angin, sekitar tahun 2017. Di situ saya membawa majalah yang saya peroleh dari “Padhang Mbulan”. Cover majalah itu bergambar foto mbah Fuad dan tentu saja bersama foto para beliau marja’ maiyah. Saya pandangi cover majalah tersebut hampir setengah jam. Tiba-tiba air mata berkaca-kaca dan bergumam “Alhamdulillah Ya Allah, di usia yang masih muda ini, saya menangi Mbah Fuad, Mbah Nun dan para Marja’ Maiyah”. Hingga ketakutan dan kekawatiran yang berusaha saya buang dan tendang pada saat itu dijawab oleh waktu. Mbah Fuad, Mbah K.H Muzamil, Syeikh Nur Samad Kamba Allahuyarkham Alfatihah. dari hal itu tadi saya merasakan bahwa hati kita digembleng oleh Mbah Nun untuk memasuki alam hikmah dengan suasana, dengan kata dan perbendaharaan kalimat yang lebih indah dari puisi, Lebih manis dari madu. lebih sendu dari alunan nada biola yang mengalun dan menjerit. Itulah suasana dan nuansa indah yang tidak pernah bisa kita tuliskan dengan kata-kata. Beliau mengajak kita merasakan sesuatu yang tidak dan belum pernah kita rasakan sebelumnya.
Bukan maksut berlebihan dan tidak mengkhultuskan. Kita hari ini sangat butuh sesepuh yang bisa menjawab ratusan pertanyaan dengan satu jawaban padanan kata dan tulisan. Kita butuh sesepuh yang kapanpun bisa kita ajak mengusap lelah dan peluh. Kita rindu eyang sepuh yang tak pernah menjauh. Kita kangen dengan sosok embah yang memberi alternative jawaban dari rumit dan lucunya kehidupan. Embah yang selau mendoakan, embah yang selalu membuat kita merasakan kedekatan walau terhalang jarak dan waktu. Embah yang memberi semangat dan nyala cahaya disaat hidup kita sedang redup. Kita butuh embah yang mengajak kita tertawa disaat kita menderita. Kita butuh embah yang memeluk dan merangkul kita disaat kita ditendang oleh kejamnya sifat jahat yang merasuki sesama manusia.
Anak cucu maiyah masih akan terus dan tetap setia berusaha menghikmahi perjalanan beliau. Kita ini siapa? Kita ini apa? Kok berani-beraninya dan lancang merasa bersama Mbah Nun. Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu bergelayutan mengacaukan pikiran kita. Tapi diantara lamanya perjalanan Mbah Nun menapaki angka 70 ini, beliau sering menyampaikan bahwa kita adalah anak cucunya dan selalu membersamai, menemani kita. Jadi sebelum munculnya tema ini, Mbah Nun lebih dulu merepresentasikan makna dari tema tulisan kita ini. Sekali lagi kita sangat butuh Embah yang imajiner dan beliau melampaui usianya. Mbah Nun hidup melebihi orang yang berusia 70. 70 hanya angka, karena beliau mampu membuka cakrawala yang mungkin hanya beliau yang bisa menceritakannya. Beliau tak segan dan mampu menyampaikan keadaan negeri ini dengan bahasa jenaka. Bahasa dan gaya bicara yang jauh dari keterdugaan kita. Namun anehnya kita ikut mengangguk dan tertawa. Beliau bicara tanpa membuat kita pusing memeras otak. Namun kadang pula bicara membuat kepala kita hampir pusing tujuh keliling. Siapa lagi yang bisa mengajak kita seperti itu? Sekali lagi, hanya sosok mbah, Mbah Nun & kita Insha Allah sampai bila-bila masa.
Beranda Lincak