blank

Sedikitnya Ada dua makna dari Artificial Iman. Pertama, Iman Buatan lalu Kedua, Iman Palsu. Jika dimaknai iman buatan sepertinya tidak berkonotasi buruk karena kata “buatan” membutuhkan “sang pembuat” siapa pelaku “pembuat” iman? yaitu Allah.
Beda halnya ketika dimaknai iman palsu karena kata Artificial artinya palsu. Kalau mau jujur siapa diantara kita yang saat ini imannya sedang tidak palsu. Sholat sunah sebelum subuh atau masuk kerja tepat waktu? Pahala sholat sunah tidak tampak tapi telat masuk kerja potong gaji, itu tampak. Lebih takut melanggar peraturan perusahaan atau pabrik daripada peraturan agama. Lebih mengutamakan wajib hadir lima menit sebelum jam kerja daripada hadir lebih awal mengisi shof paling depan.
Itu semua bagian dari kepalsuan iman yang kita jalani saat ini. Kita lebih iman kepada urusan dunia daripada akhirat, itu real no debat. Bahkan mereka yang setuju dengan argumentasi ini tetap melakukan kepalsuan tersebut entah sampai kapan. Sepele tampaknya tapi mengutamakan yang tidak utama adalah tindakan yang keliru. Pola pikir kita memang awalnya diarahkan ke arah sana (mengejar duniawi) namun saat ini sudah tidak lagi diarahkan, tapi kita mengarahkan diri sendiri dengan sadar mengikuti pola yang sudah terbentuk entah berapa tahun lamanya.
Prilaku gampangke adalah budaya yang semakin marak dan cepat nulari kancane karena memang efek dari perilaku ini adalah kenyamanan “awalnya sih coba-coba tapi jadi keterusan deh”.
Jadi kepalsuan iman itu ndak perlu dimaknai yang duwur-duwur dan rumit-rumit. Tindakan keseharian kita yang lebih memprioritaskan aturan yang dibuat manusia dibanding aturan yang diperintahkan Allah itupun termasuk kepalsuan iman, tapi “grade nya rendah” (kata mereka yang melakukan).
Atau mungkin perilaku gampangke semacam ini karena Allah itu Rahman Rahim? Bagaimana kalau Allah tidak Rahman Rahim? Apa kira kira masih berani menomorduakan peraturan Allah? Apa perlu kita berprinsip Allah itu tidak Rahman Rahim supaya kita tidak berani menyepelkan setiap aturan yang dibuat-Nya ?
Apa mungkin kita ini sudah terlalu berani berpribahasa “Air susu dibalas dengan air tuba” kepada Allah? Wallahualam bissawab.