Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, adalah pepatah yang popular di telinga masyarakat. Pepatah tersebut menunjukkan arti bahwa seorang anak pasti memiliki kemiripan seperti orang tuannya. Anak yang lahir dari orang tua pebisnis biasanya anaknya menjadi pebisnis juga, bapaknya politikus pasti anaknya mengikuti jejaknya, bapaknya tokoh agama anaknya menjadi tokoh agama, ibunya guru anaknya guru, dan lain sebagainya. Realitas sosial mengenai kesamaan profesi tersebut menjadi suatu yang sering ditemui. Namun, sesungguhnya tidak hanya mencakup mengenai profesi saja, tetapi juga kemiripan kondisi fisik, sifat, watak, kebiasaan, dan lain sebagainya.
Konsep yang identik dengan pepatah tersebut adalah konsep nasab atau keturunan. Pemahaman nasab ini sesungguhnya dimensi personalitas pada manusia. Seorang manusia tidak bisa memilih di mana, kapan, dan dari rahim ibu mana manusia lahir, semua itu sepenuhnya adalah kehendak Tuhan. Artinya konsep nasab ini adalah suatu ketentuan Tuhan yang mau tidak mau harus diterima oleh seorang manusia. Biasanya paradigma masyarakat menganggap seorang anak presiden, pejabat, pebisnis sukses, dan tokoh agama adalah seorang anak yang bernasab baik. Sementara seorang anak tukang becak, pemulung, buruh harian, preman, pelacur, dan pembunuh adalah seorang yang bernasab buruk. Jika disimpulkan dari berbagai paradigma masyarakat melihat baik dan buruknya nasab adalah pada aspek kekayaan dan status sosial.
Padahal Tuhan dalam menilai seorang hambanya berdasarkan ketakwaan kepada-Nya, bukan dari kemuliaan nasab. Seorang yang terlahir memiliki nasab baik sesungguhnya semua itu adalah amanat dan tanggung jawab yang diberikan Tuhan kepadanya. Privilege yang melekat padanya bisa menjadi pisau bermata dua, tergantung seorang berproses menggunakan privilege yang dimilikinya. Banyak contoh orang yang memiliki privilege nasab yang baik tetapi memiliki nasib yang buruk, karena salah dalam memaknai privilege nasab. Misalnya para pejabat yang korupsi, para tokoh agama yang berbuat asosial, orang kaya yang pelit, seorang ilmuwan yang licik, dan lain sebagainya. Realitas di atas menjadi refleksi bagi mereka yang sombong dan arogan dengan kemuliaan nasab yang dimiliki. Sesungguhnya Tuhan melihat hambanya dari proses yang dikerjakannya, wallahu bashirun bimaa takmalun.
Sementara itu, biasanya paradigma masyarakat terhadap orang yang barnasab buruk adalah sesuatu yang negatif. Paradigma masyarakat tersebut disebabkan berbagai pepatah dan pola nilai budaya yang bergulir di masyarakat. Tentu hal tersebut sulit bagi mereka yang lahir dari keluarga yang kurang baik untuk berkembang. Mereka harus menanggung dosa masa lalu yang dilakukan oleh pendahulunya. Tetapi selain itu, seorang yang bernasab kurang baik biasanya memiliki daya juang yang tinggi karena termotivasi untuk memutus nama buruk yang melekat pada keluarganya dan mengubahnya menjadi kemuliaan melalui dirinya. Misalnya pebisnis sukses Chairul Tanjung, dia terlahir dari keluarga miskin dan susah, tetapi atas kemauan dan semangatnya dia dapat mengubah nasibnya menjadi pengusaha sukses.
Realitas masyarakat pada umumnya adalah dengan nasab buruk biasanya menjadi manusia yang kurang berhasil dalam kehidupan. Tetapi tidak sedikit pula mereka yang memiliki nasab buruk dapat mengubah anggapan dan kedudukan menjadi suatu kemuliaan. Sesungguhnya hal terpenting untuk berproses menjadi orang yang bernasib baik adalah sikap penerimaan diri, kesadaran diri, dan kemauan untuk berkembang. Walaupun seorang tersebut lahir dari nasab yang buruk jika memiliki ketiga hal tersebut maka akan cenderung mengalami kemuliaan. Tuhan pun berfirman Innallaaha laa yughayyiru maa biqaumin hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim, sesungguhnya Tuhan tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Pada akhirnya, seorang yang terlahir memiliki kemuliaan nasab adalah suatu tanggung jawab dan amanat yang diberikan Tuhan. Kemuliaan nasab bukan sebagai ajang kesombongan dan gila hormat, tetapi memaksimalkan kemuliaan tersebut untuk berproses dalam mencapai nasib yang maslahat bagi sesama. Sementara bagi mereka yang nasabnya kurang beruntung, jadikan itu sebagai motivasi sebagai energi untuk berproses dalam mengusahakan nasib yang baik dan maslahat. Sesungguhnya Tuhan melihat apa yang dikerjakan hambanya dalam menjalani proses untuk mencapai tujuan yang baik. Maka maksimalkan segala upaya dalam setiap proses-proses untuk menjadi seorang yang mulia dan bermanfaat bagi manusia lain.