Sejak membaca pamflet undangan menulis di Gambang Syafaat, saya seketika menggerutu, “Adakah iman yang dibuat-buat? Iman, kok, artifisial!” Demikian ini saya cerna berulang kali sehingga saya tergugah dan muncul rasa penasaran untuk menyelaminya lebih dalam. Rupanya Gambang Syafaat pada edisi juni-juli meluncurkan tema “Artificial Iman.”
“Oh, soal iman buatan, to?” tanya saya dalam hati. Tapi bukankah iman itu artinya percaya, hal ini tentu berimplikasi akan adanya upaya, proses pembuatan sehingga sampai pada titik percaya, meyakini sepenuhnya. Atau mungkin iman artifisial yang menunjukkan maksud lain yakni, iman yang penuh dengan manipulasi, iman yang tidak sesungguhnya, tidak nyata dan penuh kepalsuan. Atau artificial iman dimaksudkan sebagaimana yang sedang menjadi tren dewasa ini, seringkali menyebut dengan istilah artificial intellegence (AI) atau kecerdasan buatan dalam dunia teknologi modern. Maka, menjadi suatu hal yang menarik untuk dipelajari, tetapi bukan soal artificial intellegence dan sekitarnya, sebab saya terlalu naif untuk mengulasnya dan dikarenakan saya menyesuaikan dengan tema bahasan kali ini.
Bagian yang menjadikannya menarik adalah tentang iman itu sendiri. Pertama, bahwa iman bagi saya merupakan persoalan penting dalam sebuah agama, dalam Islam terdapat enam rukun iman yang mencakup iman kepada Allah, para Rasul-Nya, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat dan takdir-Nya. Kedua, bahwa iman adalah hal yang paling intim yang terkandung dalam setiap diri seorang hamba. Dan Ketiga, ternyata saya masih berkutat dan memiliki keterkaitan dengannya.
Ketiga-tiganya menggambarkan keadaan bahwa setiap manusia yang memeluk agama Islam masing-masing memiliki iman. Terlepas dari kenyataan bahwa iman kita semua mengalami pasang surut yang membuat kita terkadang taat menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya juga terkadang luput tidak menjalankan perintah-Nya dan bahkan melanggar larangan-Nya.
Berkaitan dengan iman artifisial, iman yang tidak nyata dan penuh kepalsuan ini, saya jadi teringat tentang kisah Abdullah bin Ubay bin Salul bersama para pengikutnya yang terkenal dengan sebutan kaum munafik pada masa Rasulullah SAW ketika hijrah dari Mekah ke Madinah. Saat itu, banyak penduduk Madinah masuk Islam dari kalangan suku ‘Aus dan Khazraj dan beberapa orang Yahudi. Kemudian menyusul Abdullah bin Ubay dan pengikutnya menyatakan masuk Islam. Akan tetapi mereka ingkar, hati mereka yang penuh dengan kebencian punya tujuan lain, yakni: menghancurkan Islam dari dalam dengan melakukan berbagai cara dan tipu daya.
Sekiranya mereka beriman dengan iman yang benar, tentulah mereka tidak melakukan perbuatan tercela. Mereka melakukan ritual-ritual ibadah semata hanya untuk mengelabui mata umum kaum muslimin, sehingga mereka bukanlah termasuk orang-orang yang beriman. Kaum munafik ini lebih bahaya daripada orang-orang yang secara terang-terangan menentang dan menolak masuk Islam, sebab mereka bagaikan musuh dalam selimut, mereka menipu Allah dengan iman artifisial. Akibat dari perbuatan mereka itu, cepat atau lambat akan menimpa diri mereka sendiri, hanya saja mereka tidak menyadarinya.
Cara berpikir kita di situ bukan mengacu pada nilai bahwa Abdullah bin Ubay itu orang munafik, juga bukan mengacu untuk mendiskreditkan seseorang ataupun sekelompok orang tentang baik dan buruk, benar dan salah. Pola seperti ini sama dengan kita mencari kambing hitam. Kita cenderung berpikir begini, “Abdullah bin Ubay itu loh penjahatnya!” Terlebih jika kita punya amarah terhadapnya, mungkin sudah mencacinya habis-habisan.
Cara berpikir yang semacam ini pada akhirnya dengan atau tanpa disadari menjadi kebiasaan dalam keseharian kita. Kita bisa dengan mudah menyelamatkan diri dengan segera menyebut bahwa mereka itulah kaum dengan iman artifisial, artinya berbeda dengan kita. Kalau kita ini beriman dengan sungguh-sungguh, mereka tidak. Kita tidak munafik, kita tidak mengelabui mata umum, kita tidak menipu Allah dengan iman artifisial, kita mustahil melakukan hal semacam itu.
Akan tetapi, benarkah iman artifisial para kaum munafik itu hanya ada pada mereka dan sama sekali tidak ada dalam diri kita? Jangan-jangan kita sendiri tidak jauh beda dengan mereka, kita hanya belum sadar bahwa kita sesungguhnya tidak begitu asing dengan peristiwa demikian. Jangan-jangan kita sendiri termasuk juga golongan orang munafik itu dan memang bukan suatu hal yang langka dalam praktik kehidupan kita sehari-hari? Atau kita tetap kukuh menolak mengambil bagian dari mereka? Namun, bagaimana kita menghubungkan sebab-akibat kesejarahan setiap peristiwa manusia? Apakah perlu para kaum munafik itu kita berikan cermin terlebih dahulu ke hadapan mereka supaya bercermin? Apa memang tidak cukup menjadikan peristiwa demikian sebagai satu cermin yang terpampang di hadapan wajah kita? Akhirnya, saya sendiri jadi merasa cemas, apa gerangan yang sesungguhnya terjadi, sedang dan akan terjadi?
Kemudian, difirmankanlah ayat-ayat dalam surah al-ashr yang kini hampir setiap muslim menghafalnya. “Puisi” yang amat tegas, esensial, mutlak dan merupakan suatu pakem yang menggariskan hakikat hidup manusia, (1) Demi masa (2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian (3) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. Betapa pengaturan firman-Nya ini merangkum seluruh garis peristiwa manusia dalam suatu masa, mengandung suatu manhaj yang menyeluruh tentang umat manusia, sebuah konstitusi islami dalam kehidupan seorang muslim. Meminjam dawuh Imam Syafi’i, “Seandainya saja al-Qur’an tidak diturunkan, niscaya satu surah ini cukup menjadi petunjuk manusia. Karena di dalamnya terkandung seluruh pesan-pesan al-Qur’an.”
Semarang, 5 Juli 2023
Beranda Lincak