Betapa menakutkannya kata-kata bagi kekuasaan. Untuk itu kata-kata harus dibungkam dan dibinasakan. Bagi penguasa dalih pembungkaman kata-kata adalah memelihara ketertiban, menjaga kondusifitas agar pembangunan berjalan baik. Maka kata-kata harus dipilih dan diseleksi sesuai keinginan penguasa biar merdu didengar. Pembungkaman kata-kata adalah cara dari pelanggengan kekuasaan. Agar kekuasaan berumur panjang dan jika bisa diwariskan ke anak cucunya.
Bagi yang melontarkan kata-kata, kata-kata adalah cara menyampaikan pendapat, mengabarkan bahwa ada penindasan di bawah, ada yang berjalan tidak benar. Kenyataan buruk adalah kabar sumbang dan harus disembunyikan bagi penguasa. Ia harus disembunyikan di halaman belakang.
Maka tidak jarang kita mendengar acara pembacaan puisi dan pementasan teater dicekal. Emha Ainun Nadjib, Mbah Nun prihatin dengan pelarangan itu. Hal itu dia sampaikan ketika Teater Koma pimpinan Riantiarno yang mementaskan “Sumpek and Tay” dilarang pentas. (Panji Masyarakat, 11-20 Juni 1989).
“Saya menyampaikan simpati dan ikut prihatin. Dan kalau Anda (Riantiarno, dkk) memperhatikan sekeliling, pada sisi-sisi yang bermacam-macam masyarakat dan Negara kita niscaya Anda jumpai “sumpek and tay” beratus-ratus jumlahnya.” Ungkap Mbah Nun.
Secara sekilas, “Sumpek and tay” adalah judul pementasan berbahasa Cina tetapi sebenarnya artinya adalah sumpek atau pengap dan tai adalah kotoran manusia. Meskipun belum ditonton dan dipentaskan, bagi penguasa yang baperan maka ini dilarang. Karena sumpek atau sempit dan pengap ini bisa diartikan keadaan Negara pada waktu itu sedang pengap dan tahi adalah ungkapan cemooh bagi penguasa yang baper.
Mbah Nun mengatakan bahwa jika kita melihat di sisi kehidupan lain di masyarakat (tidak hanya sastra dan pementasan teater) hal semacam ini banyak terjadi. Maksudnya pemasungan juga terjadi dimana-mana terhadap masyarakat.
Mbah Nun juga mengalami hal serupa. Ia juga terkena cekal pementasan pembacaan puisinya. “Acara baca puisi saya di IKIP Negeri Semarang (18 April 1989) dan IKIP Negeri Surabaya (29 April 1989) ditunda sampai hari kiamat tiba.” Kata Mbah Nun. Jika pelarangan pentas “Sumpek and Tay” disampaikan oleh pemerintah berikut alasannya, tidak demikian dengan pelarangan atas acara pembacaan puisi terhadap Mbah Nun.
Mbah Nun menambahkan “Pada kasus saya panitia tidak menyampaikan alasan pelarangan sehingga masyarakat cenderung menyalahkan saya.”
Di kesempatan lain, Majalah Femina mendokumentasikan (6-12 Oktober 1994) hasil wawancara dengan Mbah Nun dengan judul “Saya tidak mogok karena cekal.” Disana Mbah Nun menanggapi enteng tentang pencekalan yang dihadapinya. Pencekalan tidak membuat dirinya mogok berkarya. Pencekalan adalah hal biasa dan bagian dari kehidupan, katanya. Dia katakan, “Pernah saya disuruh turun padahal saya sudah berada di panggung. Saya turun, masuk ke warung, ngopi santai saja.”
Apa yang dilakukan Mbah Nun adalah tawaran, sebagaimana disampaikannya dalam Terus Mencoba Budaya Tanding, kebenaran itu harusnya bersifat kolektif dan itu hanya bisa dilakukan dengan budaya tanding, semua komponen melakukan tawaran dan terjadinya dialog.
Kata Mbah Nun, “Karena sering menulis karangan yang retorik, orang mencap saya pemberontak. Saya bukan pemberontak. Saya hanya tidak setuju dengan banyak hal. Lalu saya menawarkan apa yang menurut saya baik, hanya memberi usul, kok.”