“Beredar sang bumi mengelilingi matahari”, adalah penggalan lagu nan populer pada zamannya dari raja dangdut H. Rhoma Irama. Alhamdulillah sampai saat ini di tahun 2022 bumi masih berputar, hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan tahun pun telah berganti. Ada rasa yang mungkin melintas di benak kita jangan-jangan menjelang bulan puasa kita akan dibatasi “gerak aktifitas” oleh regulasi sehingga tidak bisa mengekploitasi hasrat “peribadatan’’ yang pada umumnya di bulan bulan puasa meningkat. Apalagi bila diteruskan event tahunan pada bulan Syawal dengan tradisi mudiknya bagi orang udik, pulang kampung bagi yang punya kampung halaman maupun tradisi dan pernak pernik aktifitas lain yang sudah mendarah daging menjadi budaya, yang semua adalah kearifan lokal nusantara. Sudah dua tahun kita tidak merasakan suasana bulan puasa maupun bulan Syawal seperti sebelum adanya pandemic.
Mudah-mudahan tahun ini dengan ridlo Allah SWT kita bersama-sama memasuki bulan puasa dengan suasana yang semarak seperti tahun-tahun tanpa pandemic. Kita kangen ramainya masjid dan mushala untuk melaksanakan kegiatan keagamaan, baik anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapak–bapak tanpa adanya pembatasan–pembatasan maupun aturan yang kadang direspon dengan pandangan yang berbeda dari kalangan masyarakat muslim sendiri. Waktu adanya aturan pembatasan kita masih ingat dari soal masjid ditutup, jamaah jum’at ditiadakan,shalat jamaah dirumah masing-masing, shalat tarwih dan tadarus dibatasi, dan lain sebagianya. Menjadi isu yang kadang mem-face to face-kan dengan soal keimanan seseorang, malah kadang menjadi pemantik perpecahan diantara jamaah menyikapi pembatasan kegiatan yang melibatkan banyak orang. Juga merambah kepada budaya mudik di bulan Syawal yang notabenenya sudah menjadi suatu rangkaian perayaan hari raya Idul Fitri. Pada waktu itu umumnya merasa jengah dengan pembatasan bepergian sehingga tidak bisa lagi berkunjung kepada orang tua, sanak saudara,kerabat, handai taulan, sahib dan teman. Walaupun era sekarang komunikasi dan silaturahmi bisa dilakukan dengan media virtual: zoom, googlemeet, maupun videoWhaataps, tapi semua itu belum cukup untuk memuaskan bila dibandingkan bisa bertemu secara langsung untuk melepas kangen.
Suasana bulan puasa dan Syawal dua tahun lalu, diam-diam telah “mendikte” kita juga. Apakah kita tetap merasakan gembira dalam suasana yang tidak seperti biasanya, atau jangan-jangan merasakan kehilangan suasana gembira kita setiap datang bulan puasa? Pertanyaan yang bisa dijawab oleh diri kita sendiri. Gembira dalam KBBI dapat diartikan suka, bahagia, bangga, senang. Dan kegembiraan bulan puasa yang seperti apa sih yang harus kita rasakan? Bila mengingat masa kanak kanak, gembira dibulan puasa identik dengan banyaknya makanan, buka dan saur bersama, mainan petasan, kembang api, ramai-ramai ke masjid/mushola. Beranjak remaja gembiranya saat sore tiba bertebaran dijalanan dengan istilah ngabuburit, kemudian setelah dewasa dan menjadi orang tua tentunya kegembiraan tidak berhenti pada hal-hal tsb. Suasana kebatinan bulan puasa oleh Allah SWT dijadikan bulan yang penuh berkah, dibukanya pintu-pintu syurga, dibelenggunya syaitan yang berefek pada kegairahan beribadah, ini menjadi sinyal yang harus ditangkap dalam hati kita, sehingga akan selalu mengisinya dengan menjalankan ritual spiritual sesuai dengan tuntunanNya. Ditengah-tengah zaman yang menawarkan kegembiraan fisikal, juga kadang membungkus dengan kegemerlapan, kebendaan, ke-glowing-an, penampilan, kenikmatan dan berbagai sajian makan, maupun hal-hal yang hedonis. Dan itu semua tanpa disadari telah bersenyawa dengan kehidupan kita pada umumnya tak terkecuali di bulan puasa, hinga bisa terjebak pada kegembiraan semu pada bulan puasa.
Baginda Rosulullah dalam salah satu sabdanya “Bagi Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagian ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya” (HR. Bukhari). Kalau kita telisik dari hadist tersebut menunjukkan ada sisi kebahagian yang sifatnya fisik yakni saat berbuka puasa, tidak hanya beraneka ragam makanan dan minuman disiapkan tapi juga berbagai aktifitas dilakukan untuk menunggu datangnya adzan mangrib. Itu kita rasakan sebagai kebahagian karena telah menyelesaikan satu hari puasa. Adapun kebahagiaan yang kedua mengandung makna ruhaniah/ukhrowiyah yang sebenarnya menjadi tujuan akhir dari semua amal peribadatan kita yaitu kebahagiaan saat berjumpa dengan Tuhan Allah SWT. Ini mengandung arti lebih pada tataran kualitas puasa yang akan kita jalankan, terlebih dalam suatu hadist qudsi dijelaskan bahwa ibadah puasa adalah ibadah khusus atau “intim” karena untukKu, Akulah yang akan memberi pahalanya, ‘Kata Allah’.
Dengan mengetahui esensi kebahagiaan bagi orang yang berpuasa, tentunya kita akan berusaha untuk menggapainya tidak hanya berhenti pada kebahagian yang sifatnya fisikal namun berorietasi pada kebahagiaan yang sifatnya ruhani. Hingga kelak saat berjumpa dengan Sang Kekasih Yang Maha Kuasa dapat merasakan kebahagiaan yang un-limited bahkan belum pernah kita rasakan didunia ini, Bersua dengan Rabb dan diganjar dengan syurgaNya. Semoga saat ini kita termasuk orang-orang yang masih merasa bahagia dengan datangnya bulan puasa, bahagia karena masih diberikan kesempatan menjalankan amalan yang hanya diperuntukan kepada Allah SWT, Amiin.