Secara harfiah, ridha lebih dipahami sebagai rasa suka rela, restu, dan kegembiraan atas suatu hal kepada qadha dan qadar Allah SWT. Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan; “Barang siapa tidak ridha kepada ketetapan dan takdir-Ku, hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku.” (HR At Tabrani). Sepengetahuanku, dengan dangkalnya ilmu (ngapunten) ridha adalah ikhlas yang istiqamah, mengalir terus menerus sepanjang hayat. Karena untuk sampai pada titik ikhlas dibutuhkan perjalanan panjang. Ikhlas berarti kelapangan hati, penerimaan terhadap apa pun saja yang terjadi dalam hidup. Sudah pasti, bukan hanya menerima dengan lapang dada kegembiraan, keberhasilan, kesuksesan atas segala capaian. Namun, juga kemampuan melepaskan rasa terluka, kecewa, duka dan segenap penderitaan yang sudah jelas akan sulit diimplementasikan dalam kehidupan. Kecuali orang-orang zuhud yang telah selesai dengan segala urisan dalam dirinya.
Sebagai manusia biasa yang tidak memiliki keistimewaan sejak lahir dalam hal spiritual, bukan manusia pilihan atau linuwih, merasa tidak terbebani ketika tertimpa musibah dan kehilangan, hampir mustahil. Kecuali beberapa yang dianggap tak berakal. Tetapi, memfungsikan akal untuk mentadaburi kehidupan yang penuh penderitaan memang salah satu tugas manusia. Saya ingat bagaimana dulu Mbah Nun pernah mengutip ayat dalam Al Quran, “Afala ta’qilun (apakah kamu tidak berakal?) Afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir?) Afala yatabbarun apakah mereka tidak merenung?)”.
Indikasinya jelas, Allah memerintahkan manusia berpikir dan kreatif terhadap bahan yang sudah disediakan. Terlepas bahan itu akan diolah menjadi apa dan pemanfaatan akan fungsinya. Secara spiritual, bahan itu bisa saja perasaan, emosi, cinta, mentalitas, keteguhan, ketangguhan, kekuatan batin dalam mengelola apa yang tengah menimpa. Maqam manusia biasa memang tak sama dengan maqam para wali yang diberi karomah. Tetapi kita bisa menerapkan sikap ketahanan terhadap persoalan hidup, tetap tergantung dari kecerdasan mengolahnya, mengambil hikmah dari setiap musibah.
Terdengar klise dan tidak relate memang, jika mampu secepat mungkin mengambil hikmah dari setiap musibah. Butuh kesadaran atau dunung dalam falsafah Jawa untuk merasa baik-baik saja dan menyimpulkan bahwa apa yang tidak kita senangi, yakni penderitaan pasti menyimpan kebahagiaan dibaliknya. Harus ada yang mendasari untuk sampai pada titik ridha. Setelah perenungan mendalam, atau istilah dalam yoga meditasi, pencapaian kesadaran terhalus dalam diri manusia, akan terbit satu keutuhan rasa, pemahaman akan suatu hal, hingga rasa rela, ridha, restu dan ketenangan terpancar sebagai sikap. Ridha juga mengambil penerimaan kita sebagai manusia yang mau menerima setiap kekurangan dalam diri. Termasuk, bagaimana bentuk rambut, bentuk hidung dan badan, jenis kelamin, terlahir dari keluarga berlatar belakang apa, tercipta sebagai ras mana, tinggal di negara apa, yang semua itu berasal dari Allah SWT dan kita tinggal menerima saja.
Dalam forum Sinau Bareng Maiyah, Mbah Nun berkali-kali mengingatkan jamaah Maiyah untuk senantiasa ridha terhadap apa saja yang menimpa hidup kita, terhadap yang kita niatkan dan lakukan sehingga Allah pun menjadi ridha pada kita. Meski, seperti yang saya singgung di atas, ridha bagi manusia biasa adalah pembelajaran seumur hidup. Banyaknya himpitan masalah acapkali membuat kita tertekan dan hanya menginginkan jalan keluar terbaik. Termasuk memohon jalan keluar kepada Allah dengan kepasrahan. Tapi maqamnya belum ridha terhadap kesulitan yang harus diselesaikan jika tidak dibarengi dengan keikhlasan hati dan sepenuhnya menerima segala yang datang sudah ada benang merahnya.
Ridha menjadi capaian bagi orang-orang yang memiliki kesadaran mendasar bahwa segalanya bermuara pada Allah. Yakin bahwa Allah tidak akan menguji hamba-Nya melebihi kemampuannya. Kita tahu kapasitas menghadapi beragam tahapan tantangan hidup, paham meletakkan persoalan dan menyadari perannya juga peran Allah dalam kehidupan.